Botulisme iatrogenik dapat terjadi pasca penyuntikan botox pada kedokteran kecantikan. Walaupun jarang, tetapi kondisi ini dapat mengancam jiwa. Botulisme sendiri adalah penyakit neuroparalitik yang disebabkan oleh toksin dari bakteri Clostridium botulinum, di mana paparan ini umumnya tidak disengaja, baik melalui infeksi bawaan, luka, inhalasi, makanan, dan iatrogenik.[1-3]
Sejalan dengan peningkatan aplikasi toksin botulinum (botox) dengan indikasi kosmetik atau terapeutik dalam beberapa dekade terakhir ini, terdapat beberapa kasus botulisme iatrogenik yang ditemukan.[1–3]
Penggunaan Toksin Botulinum dalam Kedokteran
Nilai medis dari toksin botulinum pertama kali dipublikasikan pada tahun 1817 oleh Christian Andreas Justinus Kerner. Toksin botulinum dinyatakan dapat melumpuhkan otot rangka dan fungsi parasimpatis, sehingga dapat digunakan sebagai agen terapeutik untuk mengkoreksi strabismus dengan menginjeksikannya ke otot mata.[3]
Sejak saat itu, aplikasi terapeutik dari toksin botulinum semakin sering ditemukan, seperti untuk strabismus, distonia tungkai, hiperhidrosis aksila dan palmar, hiperkontraksi kandung kemih, dan akalasia. Bahkan, toksin botulinum juga digunakan dalam tindakan kosmetik, yaitu untuk menghilangkan kerutan wajah dan mengecilkan otot tertentu.[3]
Sekilas tentang Toksin Botulinum
Toksin botulinum merupakan exoneurotoksin yang diproduksi oleh bakteri anaerob Clostridium botulinum. Terdapat beberapa serotipe toksin, yaitu serotipe A, B, C1, D, E, F, dan G.[1,3]
Toksin A, B, E, dan F dapat menimbulkan penyakit botulisme pada manusia, sedangkan toksin C1 dan D mempengaruhi mamalia, unggas, dan ikan. Aktivasi toksin metalloprotease intraselular pada neuron manusia yang dikultur dan durasi blokade neuromuskular menurun dalam urutan toksin A, B, F, dan E. Pada botulisme akibat makanan, infeksi serotipe A dapat menimbulkan kelumpuhan pernafasan dan perlu intubasi endotrakeal yang lebih tinggi daripada serotipe B dan E.[1,3]
Penelitian ekstrapolasi pada monyet menyatakan bahwa dosis toksik minimum intramuskular dan dosis letal botox tipe A adalah 33 U/kgBB dan 38 U/kgBB. Menurut penelitian ini, dosis botox yang diinjeksikan pada otot mata untuk mengoreksi strabismus tidak jauh berbeda antara monyet dan manusia.[1,3]
Efek Luas Toksin Botulinum
Toksin botulinum dapat menghalangi pelepasan asetilkolin dari saraf terminal, sehingga menyebabkan relaksasi otot. Efek toksin setelah injeksi dapat meluas dari struktur lokal ke struktur sekitarnya, bahkan pada otot yang terpisahkan oleh fascia dengan jarak 30−45 mm dari tempat penyuntikan.[3,5]
Efek yang lebih jauh dikaitkan dengan penyebaran toksin secara hematogen. Selain itu, penyebaran melalui transportasi aksonal retrograde ke neuron motorik tulang belakang, yang diikuti dengan transportasi anterograde ke unit motorik lainnya. Suatu penelitian elektromiografi (EMG) menunjukkan bahwa perubahan otot pada lokasi lain yang berjauhan dapat diamati 3−13 hari setelah injeksi toksin botulinum.[3,5]
Serotipe A merupakan tipe yang digunakan untuk tujuan kosmetik. Jika toksin botulinum memasuki sistem vaskular dan diangkut ke terminal saraf kolinergik perifer, sambungan neuromuskular, ujung saraf parasimpatis postganglionik, dan ganglia perifer, maka dapat menyebabkan hilangnya kekuatan otot, diplopia, blefaroptosis, suara serak, inkontinensia urin, dan kesulitan bernafas.[1]
Presentasi Klinis Botulisme Klasik (Non Iatrogenik)
Botulisme klasik umumnya dimulai dengan paralisis bilateral yang menurun mulai dari kelumpuhan saraf kranial dan berlanjut hingga ekstremitas bawah. Gejala awal adalah penglihatan kabur dan diplopia. Gejala lain yang mengikuti adalah disfagia, disartria, kelemahan ekstremitas atas dan kemudian ekstremitas bawah. Berbeda pada botulisme iatrogenik yang pada umumnya gejala mulai pada area suntikan.[6]
Kelumpuhan pernafasan terjadi pada kasus yang sudah parah. Gejala gastrointestinal terlihat pada botulisme akibat makanan. Botulisme akibat makanan memiliki onset 12−36 jam, botulisme akibat luka 4−18 hari, dan botulisme inhalasi 1−3 hari.[6]
Presentasi Klinis Botulisme Iatrogenik
Onset botulisme iatrogenik umumnya terjadi 7 hari pasca penyuntikan. Suatu penelitian melibatkan 211 subjek, di mana 128 orang menerima injeksi toksin botulinum serotipe A, 1 orang serotipe B, dan 82 pasien tidak dispesifikasikan serotipe toksin botulinum. Semua pasien pada grup yang diberikan serotipe A menerima dosis <40 U/kgBB.[3]
Penelitian ini melaporkan seorang anak yang mengalami disfagia dan kelemahan setelah 10 hari pasca penyuntikan. Pasien diberikan manajemen suportif dan membaik setelah 3 bulan pengobatan. Selain itu, terdapat juga satu kasus pada anak 10 tahun dengan quadriparesis spastik, blefaroptosis, kelemahan generalisata, dan dispnea setelah 1 minggu penyuntikan. Pasien memerlukan ventilasi non-invasif, pemberian makanan melalui gastronomi, dan tata laksana suportif lainnya. Pasien mengalami perbaikan gejala setelah 6 bulan.[3]
Kelompok pasien yang mendapatkan injeksi botox untuk kosmetik lebih sering pada area kepala dan leher, sehingga gejala awal toksisitas yang paling umum adalah disfagia yang kadang memerlukan pemberian makanan melalui selang nasogastrik. Gejala lain yang mengikuti adalah penglihatan kabur, ptosis, disfagia, xerostomia, dan dispnea.[3]
Sedangkan kelompok pasien yang disuntik untuk terapeutik lebih sering pada area badan. Kelemahan otot dan disfagia menjadi gejala yang cukup umum terjadi. Disfagia pada kelompok terapeutik ini tidak memerlukan bantuan selang nasogastrik. Namun, berdasarkan studi, kebutuhan antitoksin botulisme dan dukungan ventilator serupa pada kedua kelompok.[3]
Diagnosis Botulisme Iatrogenik
Diagnosis botulisme iatrogenik terutama berdasarkan presentasi klinis dengan riwayat penyuntikan toksin botulinum. Pemeriksaan penunjang tidak selalu diperlukan, kecuali pada kasus sporadik yang kurang jelas secara klinis yang membutuhkan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain.[3]
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah tes elektromiografi (EMG), deteksi toksin, dan functional magnetic resonance imaging (fMRI).
Elektromiografi (EMG)
Nilai potensial aksi otot biasanya menurun pada botulisme. Dalam laporan kasus botulisme iatrogenik, nilai potensial aksi otot keseluruhan lebih rendah atau sedikit di bawah normal, baik dari durasi maupun amplitudo. Diikuti dengan morfologi yang tidak stabil dan polifasik, akibat adanya denervasi. Hasil EMG dengan peningkatan jitter dan blok lebih jarang ditemukan pada botulisme iatrogenik.[7]
Deteksi Toksin
Deteksi toksin pada spesimen pasien tidak tersedia secara luas dan memerlukan pengambilan spesimen secepatnya setelah muncul gejala. Bukti in vitro botulisme iatrogenik dapat ditetapkan dengan mendeteksi toksin dalam darah pasien, yaitu pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assays dan spektroskopi massa.[3]
Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI)
Menurut suatu penelitian, pencitraan fMRI otak pada 9 pasien botulisme iatrogenik mendeteksi adanya peningkatan nilai homogenitas regional di lobus posterior kiri otak kecil yang meluas hingga ke lobus anterior otak kanan. Ada juga amplitudo yang melemah dari nilai fluktuasi frekuensi rendah pada lobus anterior kanan otak kecil, yang meluas hingga ke lobus anterior kiri otak kecil dan lobus posterior kanan otak kecil.[8]
Penanganan Botulisme Iatrogenik
Selain antitoksin botulinum, terapi suportif diberikan untuk gejala botulisme, seperti tetes mata apraclonidine untuk blefaroptosis, serta terapi pernapasan jika terjadi gangguan napas.
Antitoksin Botulinum
Pemberian antitoksin botulinum dapat menetralisir toksin yang beredar, tetapi tidak dapat membalikkan efek dari toksisitas yang sudah terjadi. Oleh karena itu, antitoksin perlu diberikan secepatnya setelah muncul gejala untuk mendapatkan efek yang maksimal.[3]
Antitoksin dapat mempercepat pemulihan dengan mengikat toksin intravaskular, meningkatkan konduksi neuromuskular melalui pelepasan asetilkolin dari saraf terminal, dan meredistribusi toksin dari reseptor.[3]
Tetes Mata Apraclonidine
Tetes mata apraclonidine 0,5% adalah agonis reseptor adrenergik 2 dan agonis reseptor adrenergik 1 yang lemah, sehingga dapat membantu mengkontraksikan otot Muller atau otot tarsal superior. Tetes mata ini diberikan sebagai manajemen ptosis kelopak mata yang terjadi akibat injeksi toksin botulinum.[9]
Terapi Pernapasan
Gangguan pernapasan adalah penyebab utama terjadinya kematian akibat botulisme. Evaluasi klinis, oksimetri nadi, spirometri, dan gas darah sangat penting untuk memantau fungsi ventilasi. Ventilasi mekanis perlu diberikan secepatnya pada pasien yang menunjukan perburukan napas.[3]
Pemulihan Pasca Botulisme Iatrogenik
Pemulihan pasca botulisme melibatkan pertumbuhan akson baru pada serabut saraf motorik dan regenerasi kompleks soluble N-ethylmaleimide sensitive factor attachment protein receptor (SNARE) yang terbelah. Masa pemulihan mencapai puncak setelah 5−10 minggu.[3]
Tidak ada kematian yang tercatat akibat botulisme iatrogenik dari penelitian yang dilakukan. Untuk botulisme noniatrogenik memiliki angka kematian keseluruhan sebesar 3−5%, tetapi lebih dari 60% kasus terjadi pada masa sebelum adanya anti toksin.[3]
Pencegahan Botulisme Iatrogenik
Botulisme iatrogenik dapat dicegah dengan memperhatikan dosis, tempat injeksi, interval waktu, dan kontraindikasi yang tepat. Dosis toksin botulinum disesuaikan berdasarkan tempat penyuntikannya, misalnya di tungkai bawah membutuhkan 300‒400 unit atau 10‒15 unit/kgBB disebar pada otot, sedangkan di garis glabella diberikan 20 dan 50 unit yang disebarkan secara merata pada 5 tempat penyuntikan.[3,4]
Interval waktu harus memperhatikan pembentukan antibodi terhadap toksin botulinum A, yang dapat menjadi alasan respons buruk setelah beberapa kali injeksi botox sebelumnya. Kontraindikasi absolut adalah penyuntikan pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas toksin botulinum.[3]
Kontraindikasi lain pada pasien dengan gangguan neuromuscular junction, seperti miastenia gravis, sindrom Lambert-Eaton, dan miopati, karena sangat rentan terhadap efek samping toksin botulinum. Injeksi botox juga perlu pengawasan klinis jika digunakan bersama dengan obat yang mengganggu transmisi neuromuskular, termasuk antibiotik aminoglikosida, streptomisin, kuinidin, dan penghambat kolinesterase.[3]
Kesimpulan
Botulisme iatrogenik adalah kondisi neuroparalitik yang terjadi pasca penyuntikan toksin botulinum (botox), baik indikasi kosmetik maupun terapeutik. Pada umumnya, gejala botulisme iatrogenik ditemukan 7 hari setelah penyuntikan.
Gejala toksisitas yang paling umum ditemukan pada botulisme iatrogenik adalah kelemahan otot di area injeksi dan disfagia. Gejala kemudian berkembang menjadi penglihatan kabur, blefaroptosis, disfagia, xerostomia, bahkan dispnea.
Selain melalui gejala klinis, pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis adalah EMG, deteksi toksin, dan pencitraan fMRI. Tata laksana utama adalah pemberian antitoksin botulinum yang diikuti dengan terapi suportif lainnya, di antaranya tetes mata apraclonidine untuk blefaroptosis dan ventilasi mekanis bila terdapat gangguan pernapasan berat.
Pasien akan mengalami pemulihan dalam waktu sekitar 2 bulan jika diberikan antitoksin. Upaya pencegahan botulisme iatrogenik adalah dengan memperhatikan khusus dosis, tempat injeksi, interval waktu, serta kontraindikasi.