Tata laksana abrasi / erosi kornea sudah tidak lagi menggunakan eye patch. Pada awalnya, rasionalisasi penggunaan eye patch pada abrasi kornea adalah untuk membatasi pergerakan kelopak mata, sehingga diharapkan dapat mempercepat penyembuhan erosi dan mengurangi keluhan nyeri yang prominen. Akan tetapi, pembuktian ilmiah terkait manfaat tata laksana eye patching sejauh ini tidak cukup menjanjikan, baik dari parameter kecepatan reepitelisasi kornea, derajat nyeri, penggunaan analgesik, kualitas hidup, maupun frekuensi munculnya komplikasi.[2]
Abrasi Kornea Traumatik
Kornea merupakan lapisan transparan berbentuk kubah (dome-shaped) yang melapisi bagian depan bola mata. Kornea memiliki peran penting dalam fungsi penglihatan karena memiliki kekuatan refraksi untuk memfokuskan cahaya yang masuk ke dalam mata. Selain peran pentingnya dalam fungsi refraksi, kornea juga memiliki fungsi proteksi terhadap bakteri dan trauma. Kornea terdiri dari lima lapisan dengan lapisan terdepan berupa epitel kornea.[1,2]
Erosi atau abrasi kornea adalah defek pada lapisan epitel kornea yang dapat disebabkan trauma maupun penyakit mata seperti keratitis. Abrasi kornea traumatik (traumatic corneal abrasion) umumnya disebabkan trauma mekanik atau karena adanya benda asing pada kornea.[2,5]
Efek Eye Patching pada Tata Laksana Abrasi Kornea
Selain tata laksana medikamentosa berupa pemberian antibiotika topikal, tata laksana eye patching secara umum sering dilakukan pada pasien abrasi kornea. Eye patching yang dilakukan adalah merekatkan penutup mata yang lunak, seperti kasa, di area kelopak mata. Terkadang eye patching juga dilakukan dengan memberikan penekanan (pressure patch) untuk mendapatkan efek imobilisasi kelopak mata yang lebih baik. Tujuan dari penatalaksanaan ini adalah untuk membatasi pergerakan kelopak mata, sehingga dapat mempercepat penyembuhan erosi dan mengurangi keluhan nyeri yang prominen di kornea.[2]
Banyak studi telah melakukan penilaian efek penggunaan eye patching pada pasien abrasi kornea, dengan hasil bahwa tata laksana eye patching sejauh ini tidak terlalu bermanfaat. Studi tersebut menggunakan berbagai parameter, antara lain terkait kecepatan reepitelisasi kornea, derajat nyeri, penggunaan analgesik, kualitas hidup maupun frekuensi komplikasi.[2]
Kecepatan Reepitelisasi Kornea
Sejumlah studi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan terkait banyaknya pasien yang sembuh (mengalami reepitelisasi kornea komplit) dalam waktu 24 jam antara kelompok yang menggunakan eye patch dengan yang tidak mendapat eye patch. Bahkan beberapa studi ada yang menunjukkan kecenderungan kesembuhan yang lebih besar pada kelompok pasien tanpa eye patch (relative risk 0.89; 95%CI 0.79 – 1.00; 531 pasien dari 7 studi).[2,3]
Studi-studi tersebut juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna terkait reepitelisasi kornea komplit dalam 48 jam dan 72 jam antara kelompok yang mendapat eye patch maupun yang tidak. Sejumlah studi menilai jumlah hari yang dibutuhkan untuk tercapainya reepitelisasi kornea komplit, dilaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok dengan eye patch dan kelompok tanpa eye patch (642 pasien dari 6 studi).[2-5]
Akan tetapi, perlu dijadikan perhatian bahwa ada perbedaan kualitatif dalam pemberian obat tambahan yang diterapkan pada masing-masing kelompok percobaan. Perbedaan tersebut termasuk penggunaan cycloplegics, analgesik dan antibiotik. Pada kelompok eye patch, antibiotik seringkali hanya diberikan sebelum pemasangan eye patch dan diulang sehari kemudian saat eye patch dibuka untuk kontrol di klinik. Sebaliknya, pada kelompok tanpa menggunakan eye patch, pemberian tetes atau salep antibiotik dapat lebih sering dan teratur di rumah.[2,5]
Derajat Nyeri
Terdapat beberapa studi yang menilai rasa nyeri serta ketidaknyamanan pasien sebagai parameter hasil terapi eye patch. Ketidaknyamanan termasuk fotofobia, lakrimasi, sensasi seperti ada benda asing di kornea, serta penglihatan yang terganggu.[2]
Studi-studi tersebut menunjukkan rasa nyeri dengan menggunakan skala nyeri serta lama hari rasa nyeri dirasakan pasien tidak signifikan berbeda antara kelompok menggunakan eye patching dengan pasien yang tidak mendapat eye patch. Bahkan tata laksana dengan eye patching dirasakan lebih tidak nyaman oleh pasien.[3-6]
Penggunaan Analgesik
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan terkait penggunaan obat analgesik maupun dosisnya, antara kelompok pasien yang mendapat eye patch dengan kelompok yang hanya menggunakan salep mata topikal tanpa eye patch.[2,4]
Kualitas Hidup
Terdapat studi yang membandingkan kecepatan penyembuhan dan kualitas hidup pasien anak-anak dengan abrasi kornea (usia 3–17 tahun). Kualitas hidup yang dinilai adalah absen dari sekolah, gangguan istirahat (durasi tidur, insomnia), kemudahan dalam aktivitas sehari-hari (berpakaian, makan, berjalan, berlari, kegiatan di kamar mandi, bermain), kejadian kecelakaan (tersandung, terjatuh, tertabrak benda), serta menangis keras.[2,6]
Pada studi tersebut menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kenyamanan hidup pasien anak pada kelompok yang menggunakan eye patch maupun yang tidak. Perbedaan yang cukup signifikan adalah keluhan saat berjalan pada kelompok yang memakai eye patch (95% CI untuk rata-rata 0,3-2,5).[2,6]
Frekuensi Komplikasi
Frekuensi terjadinya komplikasi abrasi kornea dilaporkan sangat rendah, bahkan tidak terjadi, baik pada kelompok menggunakan eye patch maupun yang tidak. Komplikasi yang dinilai adalah gangguan refraksi, gejala nyeri persisten, abrasi kornea rekuren, ulkus kornea disertai hipopion dan konjungtivitis.[2-5]
Efek Bandage Soft Contact Lens VS Eye Patching
Terapi abrasi kornea menggunakan lensa kontak lunak (bandage soft contact lens) memiliki tujuan yang serupa dengan eye patch, yaitu menghindari gesekan mekanik antara kornea dengan kelopak mata sehingga diharapkan reepitelisasi lebih cepat dan rasa nyeri berkurang. Salah satu studi yang dilakukan di Indonesia, tahun 2015, membandingkan hasil terapi dengan eye pressure patch menggunakan kasa steril dan terapi dengan bandage soft contact lens.[7]
Pada kelompok menggunakan bandage soft contact lens, sebanyak 56% pasien sembuh dalam 24 jam pertama dan 44% sisanya sembuh dalam 72 jam. Sedangkan pada kelompok menggunakan eye pressure patch, sebanyak 62% sembuh dalam 24 jam pertama, 13% pasien sembuh dalam 72 jam, dan 25% pasien lainnya tidak datang kembali untuk evaluasi.[7]
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa rasa nyeri secara signifikan terasa lebih ringan pada kelompok pasien yang menggunakan bandage soft contact lens (p=0.000). Ketidaknyamanan juga dikeluhkan oleh pasien dengan conventional eye pressure patch menggunakan kasa, karena terganggunya aktivitas sehari-hari yang membutuhkan penglihatan binokular. Sehingga keuntungan dari bandage soft contact lens adalah dapat melindungi permukaan kornea dari gesekan, mengurangi rasa nyeri, serta tetap memungkinkan pasien untuk melihat secara binokular dalam aktivitas sehari-hari.[7]
Kesimpulan
Berdasarkan studi-studi sampai saat ini, tidak terdapat perbedaan hasil terapi abrasi kornea dengan eye patch dibandingkan terapi tanpa eye patch. Baik dinilai dari waktu penyembuhan erosi (reepitelisasi kornea) maupun derajat nyeri, penggunaan analgesik, kualitas hidup, dan frekuensi munculnya komplikasi.
Akan tetapi, pada studi-studi tersebut jumlah kasus dengan ukuran abrasi kornea yang besar (>10mm2) masih sangat terbatas, sehingga kemungkinan superioritas eye patch pada kasus-kasus abrasi kornea yang lebih berat tidak dapat dinilai. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa terapi eye patch tidak memberikan manfaat dalam tata laksana abrasi kornea traumatik sederhana, terutama yang berukuran <10mm2.[2,3]