Manajemen PPOK Menurut Pedoman GOLD 2023

Oleh :
dr. Qorry Amanda, M.Biomed

Pedoman yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) pada tahun 2023 merekomendasikan beberapa perubahan dalam manajemen Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). PPOK merupakan suatu kondisi paru yang ditandai adanya sindrom respirasi kronik seperti batuk berdahak dan sesak napas yang disebabkan abnormalitas struktur jalan napas atau alveoli.

PPOK menyebabkan obstruksi jalan napas secara permanen dan bersifat progresif. Mortalitas akibat PPOK di seluruh dunia terus meningkat dan diprediksi akan terjadi 5,4 juta kematian per tahun pada tahun 2060 bila tidak terdapat perbaikan yang signifikan. Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok.[1,2]

Coughing,Asian,Elderly,Man,In,Bed.

Setiap tahun, sekelompok ahli dari seluruh dunia, yang dikenal sebagai GOLD, memberikan pembaruan saran praktis dan berbasis bukti tentang manajemen PPOK. Artikel ini akan membahas berbagai pembaruan yang ada dalam pedoman GOLD tahun 2023.[1,3]

Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Dalam pedoman ini, definisi PPOK ditekankan pada obstruksi saluran napas yang persisten dan progresif, serta heterogenitas manifestasi, etiopatologi, dan kelainan struktural yang terkait. Volume ekspirasi paksa pasca bronkodilator dalam 1 detik / kapasitas vital paksa (FEV1/FVC) ≤0,7 yang diukur dengan spirometri masih menjadi kriteria diagnostik utama dalam konteks adanya gejala pernapasan kronis, kelainan struktural saluran napas, atau faktor risiko PPOK.

PPOK didefinisikan sebagai kondisi paru heterogen yang ditandai dengan gejala pernapasan kronis (dispnea, batuk, produksi dahak) akibat kelainan saluran napas atau alveoli yang menyebabkan obstruksi aliran udara terus-menerus, dan seringkali progresif.

Dalam pembaruan ini juga diperkenalkan kriteria tambahan untuk identifikasi dan diagnosis pasien dengan peningkatan risiko PPOK. Ini mencakup pasien yang tidak mengalami obstruksi aliran udara tetapi memiliki lesi paru struktural seperti emfisema, gejala pernapasan, dan kelainan fisiologis seperti FEV1 normal rendah dan hiperinflasi. Populasi tersebut diberi label sebagai pra-PPOK atau Preserved Ratio Impaired Spirometri (PRISm).[1,3]

Definisi Eksaserbasi

Dalam pedoman ini, definisi eksaserbasi diperbarui untuk memasukkan gejala spesifik dan durasinya, serta memperkenalkan variabel klinis yang lebih objektif untuk menentukan tingkat keparahan. Inflamasi lokal dan sistemik juga telah ditekankan sebagai aspek penting dari eksaserbasi PPOK.

PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai peristiwa yang ditandai dengan dispnea atau batuk dan dahak yang memburuk dalam <14 hari dan sering dikaitkan dengan peningkatan peradangan lokal dan sistemik yang disebabkan oleh infeksi saluran napas, polusi, atau kerusakan lain pada paru.[1,3]

Terapi Farmakologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Untuk memilih terapi farmakologi yang tepat, langkah pertama yang direkomendasikan pedoman GOLD 2023 adalah menempatkan pasien ke dalam salah satu klasifikasi kelompok, yakni PPOK A, PPOK B, atau kelompok PPOK E. Pasien pada kelompok A atau B dapat mengalami 0-1 eksaserbasi akut/tahun namun tidak sampai menjalani rawat inap. Pasien pada kelompok E mengalami eksaserbasi sedang hingga ≥ 2 kali/tahun atau rawat inap ≥ 1 kali/tahun.

Uji klinis membuktikan bahwa kombinasi long acting beta-2 adrenergic dan inhaled corticosteroid (LABA+ICS) seperti pada pedoman sebelumnya tidak dapat menurunkan mortalitas pada PPOK. Kombinasi LABA+ICS yang ditambah long acting muscarinic antagonist (LAMA) justru terbukti menurunkan mortalitas dibandingkan 2 jenis kombinasi obat LAMA.[1,3]

Tabel 1. Klasifikasi Pasien PPOK Berdasarkan Sistem ABE

PPOKSistemABE

Sumber: dr. Qorry Amanda, Alomedika, 2023.[1]

Tabel 2. Rangkuman Rekomendasi Terapi PPOK Farmakologi dan Nonfarmakologi

terapiPPOK

Sumber: dr. Qorry Amanda, Alomedika, 2023.[1]

Pertimbangan Monotherapy dan Dual Therapy

Seluruh pasien PPOK non-eksaserbasi yang datang pertama kali dengan sesak napas dapat diberikan 1 jenis obat bronkodilator dari golongan LABA atau LAMA (monotherapy). Bila sesak napas tidak mereda setelah diberikan terapi bronkodilator LABA atau LAMA meskipun sudah dilakukan perbaikan pola hidup, perlu dpertimbangkan untuk naik 1 tahapan ke kombinasi LABA+LAMA sehingga menjadi dual therapy.

Pasien yang telah mendapatkan dual therapy dan belum merasakan perbaikan pada keluhan sesak napasnya, perlu dipertimbangkan untuk mengganti device inhaler/sediaan obat yang digunakan atau mengevaluasi ulang adanya kemungkinan penyebab lain sesak napas yang dirasakan pasien.[1,3]

Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

Pasien PPOK dengan eksaserbasi akut pada mulanya juga dapat diberikan salah satu jenis bronkodilator berupa LABA atau LAMA sambil dilakukan pemeriksaan jumlah eosinofil darah. Pasien PPOK eksaserbasi akut yang keluhannya tidak mereda dengan monotherapy bronkodilator dan memiliki eosinofil < 300 sel/μl bisa menggunakan dual therapy bronkodilator berupa kombinasi LABA+LAMA.

Bila kombinasi kedua bronkodilator (LABA+LAMA) tersebut juga masih belum berhasil meredakan sesak napas dan pasien diketahui memiliki eosinofil < 100 sel/μl, dapat dipertimbangkan menambahkan penggunaan roflumilast, terutama pada pasien perokok, memiliki bronkitis kronik, dan FEV< 50%. Pilihan lain adalah menambahkan antibiotik golongan makrolida, seperti azithromycin, bila pasien bukan perokok.

Bila kombinasi kedua bronkodilator (LABA+LAMA) tersebut juga masih belum berhasil meredakan sesak napas dan pasien diketahui memiliki eosinofil > 100 sel/μl, dapat ditambahkan inhaled corticosteroid (ICS) pada dual therapy sehingga menjadi kombinasi LABA+LAMA+ICS.

Pasien PPOK eksaserbasi akut yang keluhannya tidak mereda dengan monotherapy bronkodilator dan memiliki eosinofil ≥ 300 sel/μl dapat berganti menjadi triple therapy berupa LABA+LAMA+ICS. Bila kombinasi ketiga terapi tersebut juga masih belum berhasil meredakan sesak napas, dapat dipertimbangkan menambahkan penggunaan roflumilast pada pasien merupakan perokok, atau menambahkan antibiotik golongan makrolida bila pasien bukan perokok.[1,3]

Perhatian Khusus: Cara Penggunaan Alat

Selain jenis obat, jenis device atau alat yang digunakan sebagai inhaler obat juga harus diperhatikan. Pasien harus dipastikan memahami cara penggunaan alat inhaler yang diresepkan padanya seperti cara menyiapkannya, manuver yang dilakukan untuk mengeluarkan obat dari alat dan dimasukkan ke mulut secara efektif, serta perawatan yang diperlukan untuk memastikan kebersihan alat inhaler tersebut.[1]

Terapi Adjuvan

Terapi adjuvan seperti alpha-1 antitrypsin dapat digunakan untuk mengurangi progresi emfisema, terutama pada emfisema yang disebabkan faktor genetik. Terapi antitusif tidak terbukti lebih bermanfaat dibanding plasebo sementara golongan vasodilator justru dapat memperburuk oksigenasi pasien.

Pemberian N-Acetylcystein (NAC), carbocysteine, atau erdostein sebagai mukolitik dapat membantu meredakan gejala batuk pada PPOK eksaserbasi akut.[1]

Terapi Non-Farmakologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Terapi non-farmakologi memiliki banyak kesamaan dengan pedoman sebelumnya. Terapi non-farmakologi utama adalah berhenti merokok, disertai dengan gaya hidup sehat berupa aktivitas fisik dan rehabilitasi paru.

Berhenti Merokok

GOLD membuat rekomendasi berdasarkan uji klinis acak terkontrol Lung Health Study yang membuktikan bahwa berhenti merokok, bahkan bila hanya bila dilakukan selama 10 minggu, dapat menurunkan angka mortalitas secara signifikan. Diketahui sekitar 40% pasien PPOK tetap merokok meskipun telah mengetahui tentang penyakit yang dideritanya. Hal ini menjadi tantangan terkait edukasi efektif dalam usaha mengubah perilaku pasien.[1]

Rehabilitasi Paru

Program rehabilitasi paru setidaknya selama 6 minggu, 2 kali dalam seminggu, dapat dilakukan secara konvensional dengan tatap muka secara langsung atau melalui telemedicine. Rehabilitasi paru terbukti memperbaiki keluhan sesak napas, status kesehatan, kapasitas olahraga, ansietas dan depresi yang dirasakan pasien. Rehabilitasi paru juga menurunkan risiko rawat inap pada pasien yang baru mengalami eksaserbasi.

Rehabilitasi paru secara telemedicine atau yang biasa disebut tele-rehabilitasi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pada beberapa keadaan, seperti ketika tempat tinggal pasien terlalu jauh dari pusat rehabilitasi atau ketika pasien kesulitan mobilisasi akibat keluhan sesak napas yang masih dirasakan.

Oksigenasi dengan menggunakan high nasal flow therapy dengan dosis 20-60 L/menit dapat ditambahkan pada pasien PPOK derajat berat yang masih sesak napas ketika memulai program olahraga pada rehabilitasi paru.[1]

Transplantasi Paru

Lung transplantation and lung volume reduction surgery (LVRS) terbukti meningkatkan angka harapan hidup hingga 2 tahun pada kelompok pasien PPOK yang memiliki emfisema lobus atas dan kapasitas olahraga yang rendah. Pada pasien PPOK kelompok lain, transplantasi paru terbukti memperbaiki kualitas hidup, tetapi tidak meningkatkan angka kesintasan pasien.[1]

Terapi Gizi

Indeks Massa Tubuh (IMT) dan massa lemak bebas yang rendah pada pasien PPOK berhubungan dengan luaran klinis yang buruk. Terapi gizi yang mendukung penambahan berat badan pada pasien PPOK yang malnutrisi terbukti memperbaiki kondisi klinis pasien akibat adanya perbaikan pada kekuatan otot-otot pernapasan.

Antioksidan, termasuk vitamin Cvitamin Ezinc, dan selenium, juga terbukti memperbaiki kekuatan pasien pada aktivitas sehari-hari dan status kesehatannya secara keseluruhan.[1]

Suplementasi Oksigen

Terapi suplementasi oksigen berupa long term oxygen therapy (LTOT) tidak terbukti bermanfaat bagi pasien PPOK dengan desaturasi sedang, namun berdampak pada perpanjangan angka harapan hidup pada kelompok pasien PPOK dengan PaO2 resting  ≤ 55 mmHg atau < 60 mmHg yang disertai cor pulmonale atau polisitemia sekunder. LTOT pada kelompok pasien tersebut dapat diberikan selama 19 jam dalam sehari.

Pada kondisi gawat darurat dimana pasien mengalami peningkatan derajat sesak napas pada eksaserbasi akut, target saturasi oksigen pada saat pemberian terapi suplemental oksigen adalah sebanyak 88-92%.[1]

Ventilator

Ventilasi noninvasif (NIV) dalam bentuk noninvasive positive pressure ventilation (NPPV) merupakan pilihan pertama terapi ventilator. NPPV terbukti memperbaiki angka morbiditas dan mortalitas pasien yang dirawat inap akibat PPOK eksaserbasi akut.

Pada pasien PPOK stabil, kondisi obstructive sleep apnea dapat dibantu dengan terapi continuous positive airway pressure (CPAP) untuk memperbaiki angka harapan hidup dan menurunkan risiko rawat inap.[1]

Vaksinasi

Vaksinasi pneumonia masih dianjurkan untuk semua pasien PPOK. Vaksin yang direkomendasikan GOLD 2023 adalah vaksin pneumokokus PCV-15 yang diikuti oleh PPSV-23 atau PCV-20. Bila pasien hanya menerima PPSV-23, dapat diberikan PCV-20 atau PCV-15 pada interval ≥ 1 tahun setelahnya. Baik PCV-15, PCV-20, atau PPSV-23 dapat diberikan bersamaan dengan vaksin influenza.[1]

Kesimpulan

Pedoman terapi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang dikeluarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2023 menggunakan sistem klasifikasi pasien ABE dan bukan lagi ABCD seperti pedoman terdahulu.

Pilihan terapi farmakologi yang bisa diberikan pada pasien PPOK adalah monotherapy berupa long acting beta-2 adrenergic (LABA) atau long acting muscarinic antagonist (LAMA), maupun kombinasi dual therapy berupa LABA+LAMA. Pilihan lain adalah triple therapy berupa LABA+LAMA ditambah dengan inhaled corticosteroid (ICS). Terapi tambahan lain dapat berupa inhibitor PDE-4 seperti roflumilast; antibiotik makrolida seperti azithromycin; atau mukolitik seperti carbocystein dan erdosteine.

Terapi non-farmakologi berupa berhenti merokok, rehabilitasi paru, dan vaksinasi juga menjadi hal yang penting untuk manajemen PPOK.

Referensi