Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi telah direkomendasikan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada semua tingkat keparahan asma eksaserbasi. Pemahaman mengenai peran kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dalam asma eksaserbasi penting diketahui agar tatalaksana yang diberikan tepat.[1]
Asma bronkial merupakan penyakit saluran napas kronik. Global Asthma Report 2018 melaporkan setidaknya 339 juta orang hidup dengan asma. Studi yang dilakukan oleh Dougherty et al. pada tahun 2009 melaporkan di Amerika Serikat, setiap tahunnya terdapat 15 juta kunjungan rawat jalan, 2 juta kunjungan kegawatdaruratan dan 500.000 rawat inap untuk manajemen asma akut. Hanya 20% dari pasien dengan asma eksaserbasi yang membutuhkan perawatan di ruang gawat darurat atau rawat inap. Pasien inilah yang menyumbang 80% dari direct cost.[2]
Pada penelitian yang dilakukan oleh Suruki, et al terhadap eksaserbasi asma di Inggris dan Amerika Serikat, pasien dengan severe controlled asthma mengalami eksaserbasi dibawah 0,5 kali per tahun, sedangkan pada severe uncontrolled asthma tingkat eksaserbasi melonjak tajam menjadi 1 kali pertahun. GINA 2019 tidak merekomendasikan pemberian short acting beta agonist (SABA) sebagai monoterapi pada asma eksaserbasi akut, namun kombinasi SABA dengan kortikosteroid inhalasi inhalasi sebagai tatalaksana awal.[3-5]
Sekilas Mengenai Asma Eksaserbasi
Asma eksaserbasi merupakan keadaan: peningkatan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau kombinasi berbagai gejala tersebut. Asma eksaserbasi dapat disebabkan oleh infeksi saluran napas atas dan bawah, pengurangan dosis pengobatan, penggunaan obat-obatan tertentu, atau paparan alergen atau polutan. Pada pemeriksaan fisik, asma eksaserbasi dapat menunjukkan tanda berupa: penggunaan otot bantu napas tambahan, takipnea, takikardia, wheezing pada auskultasi, hingga penurunan kesadaran. Berdasarkan keparahan gejala dan tandanya, asma eksaserbasi terbagi menjadi tiga, yaitu ringan, sedang, dan berat.[2,3]
Patofisiologi Asma Eksaserbasi
Patofisiologi asma eksaserbasi disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Sifat saluran napas pasien asma bronkial lebih peka terhadap rangsangan alergen dibandingkan saluran napas orang normal. Masuknya alergen ke dalam tubuh diterima oleh antigen presenting cells, yang selanjutnya diterima oleh sel T helper. Sel T helper kemudian mengeluarkan sitokin, seperti IL-4, IL-5, dan IL-13 yang merangsang sel plasma untuk membentuk IgE dan sel radang, seperti sel mast, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, dan limfosit, mengeluarkan mediator inflamasi.[6-8]
Perubahan saluran napas akibat inflamasi pada asma eksaserbasi berupa peningkatan sekresi mukus, infiltrasi sel inflamasi, hipertropi otot polos, fibrosis submukosa, dan respon vaskuler, berupa angiogenesis, peningkatan aliran darah, dan peningkatan permeabilitas mikrovaskuler yang menyebabkan edema dinding saluran napas. Bersama dengan perubahan saluran napas akibat inflamasi lain, respon vaskuler memiliki peran yang besar dalam keparahan asma eksaserbasi, termasuk keterbatasan aliran udara dan hipereaktivitas saluran napas.[6-8]
Respon vaskuler merupakan salah satu bagian penting dalam patofisiologi asma eksaserbasi dan berperan dalam keparahan gejala klinis asma eksaserbasi. Respon vaskuler dapat terbagi menjadi perubahan fungsional, seperti vasodilatasi, hiperperfusi, peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, dan edema, serta perubahan struktural, seperti angiogenesis. Pada saluran napas pasien dengan asma, terdapat peningkatan aliran darah yang disebabkan oleh vasodilatasi akibat mediator inflamasi. Bersama dengan kongesti mikrovaskuler, vasodilatasi menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler. Permeabilitas vaskuler juga dipengaruhi oleh pembuluh darah yang dibentuk melalui angiogenesis pada inflamasi kronik saluran pernapasan dengan sifat cenderung mudah bocor, imatur, dan tidak stabil. Berbagai faktor tersebut meningkatkan permeabilitas vaskuler yang menyebabkan terjadinya edema saluran nafas pada asma.[6,8]
Peran Kortikosteroid Inhalasi pada Asma Eksaserbasi
Kortikosteroid secara umum digunakan dalam tatalaksana penyakit dengan proses inflamasi, salah satunya asma bronkial. Kortikosteroid dapat bekerja melalui dua mekanisme, yaitu jalur genomic sebagai antiinflamasi dan rapid non-genomic sebagai vasokonstriktor.
Jalur Genomic pada Kortikosteroid
Melalui jalur genomic, kortikosteroid bekerja melalui aktivasi reseptor glukokortikoid yang menyebabkan transkripsi DNA, sehingga kortikosteroid dapat meningkatkan sintesis protein antiinflamasi atau mengurangi sintesis protein inflamasi. Aksi kortikosteroid pada jalur genomic terjadi melalui cytoplasmic glucocorticoid receptor-α. Terdapat berbagai interaksi penting dalam kerja kortikosteroid, seperti transrepresi dan transaktivasi. Transrepresi merupakan aksi penekanan aktivitas transkripsi yang terjadi pada berbagai interaksi protein dalam kerja kortikosteroid. Di sisi lain, transaktivasi atau aktivasi transkripsi merupakan peningkatan aktivitas ekspresi gen oleh NR3C1.
Transaktivasi yang disebabkan oleh kortikosteroid mengekspresikan gen-gen tertentu, seperti DUSP1 yang menurunkan aktivasi protein kinase mitogen-activated, TSC22D3 menekan respon transkripsi NF-κB dan AP-1, ZFP36 mendestabilisasi dan secara translasi menekan inflammatory mRNAs yang mengatur ekspresi gen inflamasi. Onset kerja antiinflamasi kortikosteroid melalui jalur genomic dicapai dalam jangka waktu 4 hingga 12 jam setelah pemberian.[4,8-10]
Jalur Rapid Non-Genomic pada Kortikosteroid Inhalasi Dosis Tinggi
Meskipun efek antiinflamasi utama kortikosteroid berada pada jalur genomic, jalur rapid non-genomic kortikosteroid sebagai vasokonstriktor, pada pemberian kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, telah terbukti efektif dalam tatalaksana asma eksaserbasi. Melalui jalur rapid non-genomic, kortikosteroid inhalasi dosis tinggi bekerja lebih cepat melalui interaksi spesifik dengan reseptor kortikosteroid di membran sel atau sitoplasma maupun non-spesifik dengan membran sel dengan onset kerja dalam hitungan detik hingga menit.
Selain itu, kortikosteroid inhalasi dapat berikatan dengan reseptor lain, ion channels, enzim, atau transporter. Selain bekerja dengan cepat, efek kortikosteroid inhalasi dosis tinggi pada jalur rapid non-genomic bersifat reversibel dengan durasi singkat dan bergantung pada dosis. Jalur ini berperan pada tatalaksana asma eksaserbasi, terutama efeknya dalam mengurangi peredaran darah mukosa saluran pernapasan yang meningkat sebagai bagian dari respon vaskuler pada patofisiologi asma bronkial.[4,6]
Sediaan Inhalasi Kortikosteroid Inhalasi
Sediaan kortikosteroid inhalasi dapat berupa dry powder inhalers, pressurized metered dose inhalers, dan nebulizing suspension. Sediaan inhalasi menyebabkan deposisi obat dapat mencapai perifer paru karena ukuran partikel obat yang sangat kecil dan mempengaruhi efikasinya dalam tatalaksana asma bronkial. Semakin kecil diameter partikel obat inhalasi, semakin perifer deposisi obat. Namun pada partikel obat dengan diameter terlalu kecil (<1 µm), obat cenderung tidak mengalami deposisi paru dan ikut keluar dari saluran pernapasan saat ekshalasi.[11,12]
Berikut beberapa keuntungan dan hambatan pada setiap sediaan kortikosteroid inhalasi:
Tabel 1. Keuntungan dan Hambatan pada Setiap Sediaan Kortikosteroid Inhalasi
Sediaan | Keuntungan | Kerugian |
Nebulizer |
|
|
Metered Dose Inhaler |
|
|
Dry Powder Inhaler |
|
|
Sumber: Direkwattanachai, 2019; Liang, 2020 [13,14]
Indikasi Kortikosteroid Inhalasi Dosis Tinggi
GINA 2019, PDPI, dan IDAI merekomendasikan pemberian kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dalam satu jam pertama asma eksaserbasi. Rekomendasi ini diindikasikan pada pasien asma eksaserbasi derajat ringan, sedang maupun berat sesuai dengan gejala yang dialami. Kortikosteroid dosis tinggi, contohnya budesonide, dapat digunakan pada pasien infant, anak, maupun dewasa[15]
Asma eksaserbasi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu asma eksaserbasi ringan-Sedang dan Asma Eksaserbasi Berat. Pada asma eksaserbasi Ringan-Sedang ciri-cirinya adalah: Bicara dalam frase, memilih duduk daripada terlentang, tidak agitasi, frekuensi napas meningkat, tidak menggunakan otot bantu napas, frekuensi nadi 100-120 x/menit, saturasi O2 90-95% (udara ruangan), dan APE > 50% dari nilai prediksi / terbaik. Sedangkan ciri-ciri asma eksaserbasi berat, gejala yang dapat terjadi berupa: berbicara terbatas dalam kata-kata, duduk condong ke depan, agitasi, laju pernapasan lebih dari 30 kali per menit, penggunaan otot bantu napas, frekuensi nadi lebih dari 120 kali per menit, dan desaturasi dibawah 90% tanpa oksigen suplemental.[3,15]
Tabel 2. Dosis tinggi Kortikosteroid Inhalasi
Kortikosteroid inhalasi | Dosis tinggi (µg) |
Dewasa (≥ 12 tahun) | |
budesonide (DPI) | >800 |
Fluticasone furoate (DPI) | 200 |
Fluticasone propionate (DPI) | >500 |
Fluticasone propionate (HFA) | >500 |
Mometasone furoate | >440 |
Triamcinolone acetonide | >2000 |
Anak usia 6 – 11 tahun | |
budesonide (DPI) | >400 |
budesonide (nebules) | >1000 |
Fluticasone propionate (DPI) | >400 |
Fluticasone propionate (HFA) | >500 |
Mometasone furoate | ≥440 |
Triamcinolone acetonide | >1200 |
CFC: chlorofluorocarbon propellant; DPI: dry powder inhaler; HFA: hydrofluoroalkalene propellant
Sumber: GINA, 2019
Sebuah review meta-analysis dilakukan oleh Masoli, et al terhadap enam studi acak terkontrol yang meneliti mengenai respon dosis penggunaan budesonide inhalasi dalam tatalaksana eksaserbasi asma eksaserbasi pada pasien dewasa. Dari keenam studi tersebut, terdapat 1.435 subjek penelitian dengan rentang usia 12 hingga 70 tahun. Dosis budesonide inhalasi yang diteliti berada dalam rentang dosis 200 – 1.600 µg per hari. Review ini menemukan bahwa efek terapi budesonide inhalasi tercapai pada dosis 400 µg, dengan efek maksimal dicapai pada dosis tinggi 1.000 µg.[16]
Sebuah penelitian double-blind acak terkontrol dilakukan oleh Chen, et al untuk mengetahui efikasi kortikosteroid inhalasi terhadap asma eksaserbasi sedang hingga berat pada pasien anak. Studi ini dilakukan terhadap pasien anak yang mengalami asma eksaserbasi dengan nilai FEV1 pre bronkodilator 30% hingga 60% atau nilai FEV1 2 jam post bronkodilator 40% hingga 70%. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok dan menerima nebulisasi salbutamol dan ipratropium dengan tambahan nebulisasi budesonide dosis tinggi atau normal saline (kontrol). Penelitian ini mendapatkan perbedaan perbaikan nilai FEV1 dalam 1 jam dan 2 jam setelah tiga kali nebulisasi budesonide dosis tinggi dibandingkan dengan kontrol. Subjek penelitian yang menerima budesonide dosis tinggi juga memiliki tingkat remisi total yang lebih tinggi dan kebutuhan kortikosteroid oral yang lebih rendah dibandingkan kontrol. [17]
Efikasi Kortikosteroid Inhalasi Dosis Tinggi pada Asma Eksaserbasi
Kortikosteroid inhalasi telah diteliti dalam berbagai konteks mengenai tatalaksana asma eksaserbasi, seperti perbandingan dengan plasebo, perbandingan dengan kortikosteroid sistemik, dan sebagai terapi tambahan pada kortikosteroid sistemik. Klasifikasi kortikosteroid inhalasi dosis tinggi sendiri merupakan kortikosteroid inhalasi dengan dosis setara >500 µg fluticasone propionate atau >1000 µg budesonide (nebules) yang didapatkan berdasarkan pembagian dosis kortikosteroid inhalasi oleh GINA 2019.
Keunggulan Inhalasi Kortikosteroid Dosis Tinggi dibandingkan Kortikosteroid Sistemik
Penelitian meta-analysis oleh Rodrigo et al. pada tahun 2006 membahas 50 penelitian yang membandingkan efektivitas kortikosteroid inhalasi dengan plasebo maupun kortikosteroid sistemik pada pasien anak hingga dewasa. Berdasarkan penelitian ini, kortikosteroid inhalasi dinilai lebih signifikan dibanding plasebo dalam penilaian rehospitalisasi pasien asma eksaserbasi. Di lain pihak, pemberian kortikosteroid inhalasi dengan multiple dose lebih unggul dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi dalam mengurangi kebutuhan rawat inap. Penelitian ini melaporkan bahwa, kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara multiple dose dinilai memberikan keuntungan pada pasien dibanding plasebo maupun kortikosteroid sistemik berdasarkan readmisi pasien ke rawat inap.[4]
Berbeda dengan studi Rodrigo, meta-analysis yang dilakukan oleh Edmonds, et al.,pada tahun 2012, membahas 32 penelitian yang membandingkan efikasi kortikosteroid inhalasi dengan plasebo dan efikasi kortikosteroid inhalasi dengan kortikosteroid sistemik pada pasien asma eksaserbasi dewasa dan anak. Pada meta analisis yang dilakukan terhadap 20 penelitian yang membandingkan efikasi kortikosteroid inhalasi dan plasebo, kortikosteroid inhalasi didapatkan unggul dibandingkan plasebo dalam mengurangi kebutuhan rawat inap pasien dengan asma eksaserbasi. Hasil ini tetap konsisten pada penelitian yang membahas tentang penggunaan kortikosteroid inhalasi bersamaan dengan kortikosteroid sistemik. Namun, hasil berbeda didapatkan pada penelitian yang membandingkan kortikosteroid inhalasi dengan kortikosteroid sistemik. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara pemberian kortikosteroid inhalasi maupun sistemik dalam mengurangi kebutuhan rawat inap pasien dengan asma eksaserbasi, baik anak maupun dewasa.[18]
Sharma, et al telah melakukan penelitian mengenai perbandingan nebulisasi budesonide dengan prednisolone oral pada pasien asma eksaserbasi di sebuah rumah sakit di India. Penelitian ini dilakukan pada 80 anak usia 1 sampai 18 tahun dengan eksaserbasi asma yang tidak membaik setelah menerima tiga kali nebulisasi salbutamol. Subjek penelitian terbagi menjadi 2 grup, yaitu grup pertama menerima nebulisasi budesonide 800 µg sebanyak tiga dosis dengan jarak 1 jam diikuti 2 kali sehari dan grup kedua menerima prednisolone oral 2 mg/kgBB/hari sebanyak 3 dosis dengan jarak 1 jam diikuti dosis per 6 jam. Nebulisasi budesonide memperbaiki fungsi paru lebih baik pada 1, 2, dan 6 jam setelah dimulainya terapi dibandingkan dengan pemberian prednisolone oral. Saturasi oksigen juga menunjukkan perbaikan signifikan pada awal terapi. Namun, tidak terdapat perbedaan signifikan setelah pasien menerima terapi lebih dari 12 jam. [19]
Keuntungan Kortikosteroid Inhalasi Dosis Tinggi pada Pasien Anak
Razi, et al melakukan penelitian double-blind terkontrol plasebo terhadap pengaruh penambahan budesonide inhalasi dosis tinggi pada terapi standar asma eksaserbasi pasien anak dalam mengurangi lama rawat di unit gawat darurat rumah sakit. Subjek penelitian merupakan pasien eksaserbasi anak usia 7 hingga 72 bulan yang terbagi menjadi dua kelompok yang mendapat budesonide inhalasi 2 mg/hari atau plasebo. Penelitian ini mendapati bahwa lama rawat di rumah sakit subjek penelitian yang menerima budesonide berkurang secara signifikan dibandingkan dengan plasebo. Pengurangan lama rawat di rumah sakit menyebabkan pengurangan biaya perawatan subjek penelitian yang menerima budesonide. [20]
Sebuah penelitian dilakukan Saito, et al mengenai efektifitas nebulisasi budesonide dosis tinggi pada pasien anak dengan asma eksaserbasi ringan dan membandingkannya dengan terapi steroid sistemik. Subjek penelitian merupakan pasien usia < 3 tahun dengan asma eksaserbasi ringan yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima nebulisasi budesonide 1 mg dua kali sehari dan kelompok yang menerima prednisolone 0,5 mg/kgBB intravena tiga kali sehari. Penelitian ini mendapati bahwa pada anak < 3 tahun dengan asma eksaserbasi, pemberian budesonide 2 mg/hari selama 5 hari memiliki efektivitas terapi yang setara dengan kortikosteroid sistemik tanpa menurunkan kadar kortisol secara signifikan dibandingkan pemberian kortikosteroid sistemik.[21]
Keuntungan Kortikosteroid Inhalasi Dosis Tinggi pada Pasien Dewasa
Wilson, et al meneliti mengenai perbandingan bioavailabilitas prednisolone oral dan nebulisasi budesonide pada pasien asma ringan dan sedang. Penelitian dilakukan acak dan double-blind. Subjek penelitian merupakan 12 pasien asma usia rata-rata 34,7 tahun, dengan FEV1 rata-rata 88,3%. Subjek penelitian terbagi menjadi pasien yang menerima plasebo, nebulisasi budesonide dosis rendah (1 mg/hari), sedang (2 mg/hari), dan tinggi (4 mg/hari), atau prednisolone oral dosis rendah (5 mg/hari), sedang (10 mg/hari), dan tinggi (20 mg/hari). Studi ini menemukan supresi marker bioaktivitas sistemik yang signifikan, yaitu kortisol plasma, osteocalcin serum, dan eosinofil darah, pada pasien yang menerima prednisolone oral. Supresi marker bioaktivitas sistemik tidak didapatkan pada pasien yang menerima nebulisasi budesonide.[22]
Chian, et al melakukan penelitian mengenai perbandingan efikasi terapi lima hari inhalasi budesonide inhalasi dengan prednisolone oral dalam tatalaksana asma eksaserbasi ringan hingga berat pada orang dewasa. Penelitian dilakukan secara retrospektif terhadap 28 pasien yang mengalami asma eksaserbasi dan tidak menerima kortikosteroid dalam ≥ 1 tahun terakhir. Subjek penelitian terbagi menjadi dua kelompok yang menerima terapi lima hari inhalasi budesonide 2 mg dua kali sehari atau prednisolone 15 mg dua kali sehari per oral. Penelitian ini menemukan bahwa efikasi budesonide inhalasi setara dengan prednisolone oral dalam perbaikan gejala klinis asma eksaserbasi.[23]
Efikasi Berbagai Jenis Kortikosteroid Inhalasi
Sebuah penelitian dilakukan Mendes, et al untuk membandingkan efikasi berbagai jenis kortikosteroid inhalasi dalam efek vasokonstriktor. Penelitian ini dilakukan berdasarkan teori bahwa aliran darah saluran napas (Qaw) akan meningkat pada pasien dengan asma bronkial akibat respon vaskuler pada reaksi inflamasi, seperti vasodilatasi dan angiogenesis. Subjek penelitian dengan asma sedang dan kontrol menerima beclomethasone dipropionate, fluticasone propionate, dan budesonide untuk menilai perbandingan waktu kerja dan efek dosis kortikosteroid pada subjek penelitian. Penelitian ini menemukan bahwa fluticasone propionate dan budesonide inhalasi memiliki efek vasokonstriksi pada saluran pernapasan yang lebih baik dibandingkan dengan beclomethasone dipropionate inhalasi. Kortikosteroid inhalasi juga memiliki efek vasokonstriksi yang lebih baik bila diberikan pada pasien dengan asma eksaserbasi. Efek vasokonstriksi ini juga dipengaruhi oleh besaran dosis yang diberikan.[24]
Keunggulan dan Kekurangan Kortikosteroid Inhalasi Dosis Tinggi
Penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dalam tatalaksana asma eksaserbasi memiliki keunggulan dan kekurangannya sendiri. Keunggulan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi adalah efikasi yang setara dengan kortikosteroid inhalasi dengan keamanan yang lebih baik. Keamanan kortikosteroid inhalasi dapat dilihat dari tidak adanya supresi marker bioavailabilitas dan kortisol secara signifikan bila dibandingkan dengan kortikosteroid sistemik. Penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi juga dapat mengurangi kebutuhan biaya perawatan pasien asma eksaserbasi.[20-23]
Kekurangan penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dapat berupa keperluan penggunaan alat tertentu dalam terapi, seperti nebulizer, hoarseness, dan efek samping yang dapat terjadi. Penggunaan kortikosteroid inhalasi dapat menyebabkan efek samping lokal maupun sistemik. Efek samping lokal dapat berupa dysphonia, kandidiasis oral, batuk, dan bronkospasme. Efek samping lokal dipengaruhi oleh dosis dan penggunaan spacer. Penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, terutama dalam jangka panjang, dapat menyebabkan berbagai efek samping sistemik yang mengganggu kualitas hidup penderita asma bronkial, seperti penekanan aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA), menghambat laju pertumbuhan anak, osteoporosis, hiperglikemia, efek pada mata, infeksi saluran nafas, dan efek sparing steroid oral.[14, 25-27]
Efek samping sistemik yang disebabkan oleh kortikosteroid inhalasi dipengaruhi oleh dosis, alat yang digunakan, site of delivery, dan perbedaan respon individu terhadap pemberian obat. Efek samping sistemik bergantung pada efisiensi masuknya obat ke saluran pernapasan dan jumlah obat yang terabsorbsi ke sirkulasi, sehingga efek samping yang disebabkan oleh kortikosteroid inhalasi tidak seberat kortikosteroid sistemik.[28]
Kesimpulan
Asma eksaserbasi merupakan peningkatan gejala asma bronkial. Terdapat dua faktor utama yang memiliki peran penting dalam patofisiologi asma bronkial, yaitu inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inflamasi pada asma eksaserbasi menyebabkan perubahan pada saluran napas, antara lain peningkatan sekresi mukus, edema dinding saluran napas, infiltrasi sel inflamasi, hipertropi otot polos, fibrosis submukosa, dan respon vaskuler berupa vasodilatasi pembuluh darah pada reaksi inflamasi. Hal ini merupakan penyebab keparahan suatu eksaserbasi asma bronkial.
Terdapat dua jenis sistemik (oral atau injeksi) dan kortikosteroid inhalasi. Kortikosteroid sistemik bekerja melalui mekanisme genomic yang bekerja sebagai antiinflamasi dengan onset kerja >4 jam melalui transkripsi DNA yang selanjutnya mengurangi produksi protein inflamasi dan memproduksi protein antiinflamasi. Jalur rapid non-genomic merupakan mekanisme yang dihasilkan oleh penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yang digunakan dalam tata laksana asma eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi bekerja dalam hitungan detik-menit yang bekerja sebagai vasokonstriktor yang dapat mengurangi edema yang disebabkan oleh reaksi vaskuler (vasodilatasi) akibat inflamasi.
Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi merupakan kortikosteroid dengan dosis setara >500 µg fluticasone propionate atau >1000 µg budesonide (nebules) dan dindikasikan penggunaannya pada asma eksaserbasi, baik ringan, sedang, maupun berat, pada pasien anak mulai dari usia 3 bulan sampai dewasa. Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi juga terbukti lebih efektif dibandingkan kortikosteroid inhalasi dengan dosis lebih rendah dalam memperbaiki gejala asma eksaserbasi.Namun, efek samping yang disebabkan oleh kortikosteroid inhalasi biasanya tidak lebih berat bila dibandingkan dengan kortikosteroid sistemik.
Studi terkini juga menunjukkan bahwa kombinasi budesonide-formoterol yang digunakan seperlunya dapat mengurangi risiko eksaserbasi berat pada pasien asma ringan persisten.