Pedoman terbaru WHO tahun 2013, untuk menentukan diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia pada anak, dapat digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) primer. Pedoman penilaian ini bertujuan untuk mencegah misdiagnosed maupun overdiagnosed pada penanganan pneumonia anak. Namun, bagaimana ketepatan sistem penilaian ini dalam praktek sehari-hari?
Prevalensi Pneumonia pada Anak
Pneumonia merupakan infeksi pernapasan akut yang mengenai parenkim paru-paru. Saat terinfeksi, alveoli paru akan terisi dengan nanah (pus) dan cairan sehingga menyebabkan kesulitan bernapas dan keterbatasan intake oksigen. Pneumonia sendiri dapat disebabkan karena virus, bakteri, atau jamur.[1]
Hingga saat ini, pneumonia masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Walaupun beberapa intervensi yang dianggap aman, efektif, dan terjangkau telah dilakukan sehingga angka mortalitas menurun dari 4 juta anak pada tahun 1981 menjadi 1 juta anak di tahun 2013. Namun, pneumonia masih tercatat sebagai penyebab 20% kematian anak seluruh dunia.[1,2]
Data UNICEF tahun 2017 mencatat bahwa pneumonia sebagai penyebab kematian 800.000 anak usia di bawah 5 tahun di seluruh dunia, termasuk pada bayi baru lahir sebanyak 153.000 kasus. Secara global, terdapat 1400 kasus pneumonia per 100.000 anak, atau 1 kasus per 71 anak setiap tahun. Di Indonesia, menurut data UNICEF tahun 2018 terdapat 16% kematian anak di bawah 5 tahun akibat pneumonia.[3]
Gambaran Klinis Pneumonia pada Anak
Gambaran klinis pneumonia karena virus atau bakteri sulit dibedakan, dan bergantung pada berat ringannya infeksi. Secara umum gambaran klinis pneumonia pada anak adalah:
- Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare), serta kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
- Gejala gangguan pernapasan, terdiri dari batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis
- Tanda dari pemeriksaan fisik, ditemukan pekak perkusi, suara napas melemah, dan ronki, sedangkan wheezing sering ditemukan pada pneumonia akibat virus[1,2]
Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil sering kali tidak khas, oleh karena itu setiap kemungkinan adanya pneumonia pada neonatus dan bayi <2 bulan harus segera dirawat di rumah sakit. Sedangkan untuk anak usia 2−59 bulan, pada negara dengan low-middle income, indikasi rawat inap masih menggunakan klasifikasi dari pedoman WHO.[1,2]
Klasifikasi Pneumonia pada Anak Berdasarkan WHO Tahun 2013
Pedoman klasifikasi pneumonia pada anak berdasarkan WHO telah mengalami modifikasi berdasarkan bukti dan temuan penelitian selama dekade terakhir. Penelitian dilakukan pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dengan angka mortalitas pneumonia tinggi.[2]
Pada tahun 2008, pedoman yang sebelumnya terdiri dari 3 klasifikasi direvisi menjadi 2 klasifikasi, yaitu pneumonia berat dan tidak berat. Kemudian retraksi/tarikan dinding dada bawah (chest indrawing) ditetapkan sebagai pneumonia tidak berat. Pada tahun 2010, ditambahkan rekomendasi untuk mencegah dan manajemen pneumonia pada anak atau bayi yang terpapar HIV. Kemudian di tahun 2012, terdapat penambahan pedoman untuk manajemen pneumonia pada anak tanpa HIV.[5,6]
Tabel 1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Pedoman WHO 2013 pada Bayi dan Anak Berusia 2−59 bulan dengan Batuk dan Sulit Bernapas
Klasifikasi | Gejala dan Tanda Klinis | Rekomendasi dan Terapi |
Pneumonia berat | Ditemukan salah satu dari gejala dan tanda di bawah ini: ● Saturasi oksigen <90% ● Sianosis di bagian mulut ● Gawat napas berat ● Tidak bisa minum/menyusui sama sekali, atau sering dimuntahkan ● Penurunan kesadaran ● Kejang | Rawat inap dengan terapi antibiotik injeksi: ● Benzyl penicillin atau ampicillin, dan ● Gentamicin ● Tambahan kotrimoksazol untuk semua bayi yang terpapar atau terinfeksi HIV |
Pneumonia tidak berat | Ditemukan gejala dan tanda di bawah ini: ● Retraksi dada bagian bawah, atau ● Napas cepat (laju napas >50 kali/menit jika usia 2−11 bulan; dan >40 kali/menit jika usia 12−59 bulan) ● Tidak ada gejala pneumonia berat di atas | Rawat jalan dengan terapi antibiotik amoxicillin oral. Untuk bayi yang terpapar atau terinfeksi HIV, diterapi sebagai pneumonia berat |
Sumber: WHO, 2012.[2]
Klasifikasi pneumonia sebelumnya, untuk anak usia 2‒59 bulan, terdapat tiga klasifikasi, yaitu bukan pneumonia, pneumonia, dan pneumonia berat. Bukan pneumonia adalah anak dengan batuk pilek tanpa gejala pneumonia dan penanganan dengan terapi rawat jalan. Pneumonia adalah anak dengan napas cepat dan diberikan antibiotika oral selama 5 hari.[5,7]
Sedangkan pneumonia berat adalah anak dengan retraksi dada, dengan/tanpa napas cepat, dan disertai tanda-tanda bahaya seperti tidak bisa minum, malas menyusui, muntah persisten, kejang, letargi atau tidak sadar, bunyi napas stridor, dan gizi buruk. Pneumonia berat harus segera dirujuk ke rumah sakit untuk rawat inap dan mendapat antibiotik injeksi.[5,7]
Perubahan pada pedoman WHO juga terdapat pada pilihan terapi untuk rawat jalan, dari kotrimoksazol oral menjadi amoxicillin oral. Menurut penelitian telaah sistematik oleh Kabra et al, amoxicillin lebih efektif daripada pemberian kotrimoksazol.[8]
Keuntungan Klasifikasi Pneumonia pada Anak Berdasarkan WHO Tahun 2013
Modifikasi sistem penilaian WHO 2013 memudahkan tenaga medis di fasyankes primer dalam memutuskan apakah pasien perlu rawat inap atau cukup rawat jalan. Beberapa keuntungan lain dari modifikasi pedoman ini adalah:
- Penggunaan amoxicillin oral sendiri dapat digunakan untuk terapi napas cepat dan retraksi dinding dada akibat pneumonia
- Klasifikasi pneumonia dan manajemen terapi disederhanakan menjadi dua kategori, sehingga memudahkan tenaga medis dalam mengaplikasikannya
- Akses untuk penggunaan terapi antibiotik lebih mudah
- Angka kebutuhan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi menurun
- Angka rawat inap menurun sehingga risiko infeksi nosokomial menurun
- Resistensi antibiotik dapat dihindari
- Pelatihan untuk tenaga medis menjadi lebih mudah[2,3]
Kekurangan Klasifikasi Pneumonia pada Anak Berdasarkan WHO Tahun 2013
Agweyu et al melakukan penelitian pada pasien pneumonia anak yang dirawat di rumah sakit berdasarkan pedoman WHO tahun 2013. Subjek penelitian melibatkan 16.162 anak, di mana 321 anak dengan pneumonia tidak berat dan 488 anak dengan pneumonia berat meninggal.[9]
Goodman et al melakukan telaah artikel tentang luaran pneumonia pada anak didapatkan hampir semua penelitian yang menggunakan pedoman WHO 2013 memang memiliki sensitivitas yang tinggi dan mudah diterapkan tetapi spesifisitasnya sangat rendah, tidak bisa membedakan penyebab akibat virus maupun bakteri serta penentuan tanda bahaya sangat subjektif. Salah satu nya yaitu dalam hal menentukan adanya chest indrawing saja membutuhkan latihan dan pengalaman yang sesuai standar pemeriksaan fisik anak.[10]
Gejala klinis pneumonia yang menjadi perdebatan adalah kriteria retraksi dinding bawah (chest indrawing), di mana sebelumnya masuk dalam kategori pneumonia berat sehingga anak perlu dirawat inap. Namun, revisi pedoman WHO 2013 memindahkannya menjadi gejala pneumonia tidak berat dan dapat dirawat jalan. Di antara tanda klinik lainnya, chest indrawing ini sering terkait dengan luaran pneumonia yang fatal.[3,4]
Standar Baku Emas Diagnosis Pneumonia pada Anak
Pedoman WHO tahun 2013 dapat menjadi panduan diagnosis dan terapi pneumonia pada anak agar dapat menurunkan mortalitas. Namun, penggunaannya dalam praktek ternyata memiliki beberapa kesulitan.Misalnya pneumonia berat yang sulit dibedakan dengan penyakit berat lain pada anak, seperti infeksi berat, sepsis, dehidrasi berat, atau kelainan jantung.[6]
Dibutuhkan standar baku emas diagnosis pneumonia untuk menilai luaran pneumonia. Keterbatasan yang ada saat ini di antaranya penggunaan alat bantu diagnosis atau pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis pneumonia masih kurang, terutama di daerah terpencil.[6,11]
Pada studi oleh Pervaiz et al, didapatkan ketepatan diagnosis pneumonia pada anak lebih akurat saat gejala klinis digabungkan dengan pemeriksaan fisik dada termasuk auskultasi, pemeriksaan saturasi oksigen, dan USG toraks/paru. Hal ini sulit tercapai pada fasyankes primer dengan ketersediaan pemeriksaan penunjang masih terbatas.[11]
Kesimpulan
Data menunjukkan bahwa kematian akibat pneumonia berat pada anak masih tinggi, Pneumonia merupakan penyebab 20% mortalitas pada anak di bawah 5 tahun. Diperlukan identifikasi yang dini, rujukan yang cepat, dan fasilitas perawatan dan pemeriksaan penunjang yang lengkap. Namun, fasyankes di daerah terpencil yang memiliki fasilitas terbatas sering mengalami kesulitan dalam penatalaksanaan pasien.
WHO melakukan revisi terhadap pedoman klasifikasi pneumonia pada anak dengan tujuan untuk menyederhanakan klasifikasi. Pedoman yang sederhana akan mudah diaplikasikan sehingga dapat meningkatkan pemberian terapi pneumonia yang tepat dan menurunkan angka kematian.
Kelebihan pedoman WHO 2013 adalah memiliki sensitivitas yang tinggi dan mudah diterapkan, sehingga memudahkan tenaga medis di fasyankes primer dalam memutuskan apakah pasien perlu dirawat inap atau cukup dirawat jalan. Kekurangan pedoman WHO 2013 terutama penentuan tanda bahaya sangat sangat subjektif, di mana tanda retraksi dinding dada bawah (chest indrawing) yang tidak lagi menjadi tanda pneumonia berat.
Padahal retraksi dinding dada sering dihubungkan dengan luaran pneumonia yang fatal. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis harus didukung dengan penggunaan alat saturasi oksigen dan pemeriksaan USG paru.