Pneumonia ringan pada anak merupakan indikasi dalam pemberian antibiotik, dimana kondisi ini merupakan penyakit infeksi yang sering terjadi pada populasi anak. Antibiotik sering diberikan pada kasus ini meskipun patogen penyebab infeksi belum dapat dipastikan. Pemberian antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Selain itu, dapat terjadi efek samping obat yang berat pada anak terhadap pemberian antibiotik.[1,2]
Pneumonia komunitas dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau keduanya. Etiologi pneumonia seringkali sulit ditentukan karena manifestasi klinis yang tidak spesifik, pemeriksaan mikrobiologi yang tidak tersedia di seluruh fasilitas kesehatan, dan pengambilan spesimen dari saluran napas yang sulit dilakukan pada anak. Meskipun mayoritas pneumonia komunitas pada anak disebabkan oleh virus, antibiotik empiris tetap diberikan atas dasar tingginya morbiditas dan mortalitas pneumonia bakterial. Di sisi lain, penggunaan antibiotik yang tidak perlu justru akan meningkatkan resistensi dan menyebabkan berbagai efek samping yang tidak diinginkan.[1-6]
Rekomendasi Penggunaan Antibiotik untuk Pneumonia pada Anak
World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian antibiotik pada kasus pneumonia berdasarkan perbandingan efektivitas pemberian antibiotik secara oral dan intravena, dimana hasilnya adalah pemberian antibiotik secara oral memiliki efektivitas yang sama dengan pemberian antibiotik secara intravena pada pasien pneumonia yang menjalani pengobatan rawat jalan.[5-7]
Menurut panduan dari British Thoracic Society, antibiotik perlu diberikan untuk seluruh anak dengan diagnosis klinis pneumonia. Hal tersebut dikarenakan belum ada parameter klinis maupun pemeriksaan penunjang yang dapat secara cepat membedakan pneumonia viral dan bakterial secara spesifik. Pada anak usia 2 tahun dengan gejala infeksi saluran pernapasan yang ringan, antibiotik tidak perlu diberikan kecuali gejala menetap setelah mendapatkan terapi suportif. Pediatric Infectious Diseases Society dan Infectious Diseases Society of America menyatakan bahwa antibiotik tidak selalu dibutuhkan dalam kasus pneumonia pada anak usia pra-sekolah. Data epidemiologi menunjukkan bahwa pada usia tersebut kebanyakan pneumonia komunitas disebabkan oleh patogen virus.[8,9]
Walaupun pneumonia viral dan bakterial sulit dibedakan, adanya gejala demam > 38,5 oC yang menetap atau berulang dapat menjadi salah satu tanda dari pneumonia bakterial. Selain itu, etiologi pneumonia juga dapat diperkirakan berdasarkan data sebaran patogen dalam kelompok usia tertentu. Patogen virus seperti Respiratory Syncytial Virus (RSV), adenovirus, dan Human Metapneumovirus (HMPV) lebih sering ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun dibanding anak yang lebih tua. Sementara, infeksi bakteri khususnya Mycoplasma pneumoniae lebih sering ditemukan pada anak di atas 5 tahun.[1,2,8]
Studi Terkait Penggunaan Antibiotik untuk Pneumonia pada Anak
Sebuah studi kohort prospektif pada tahun 2020 melibatkan 294 anak usia 3 bulan sampai 18 tahun yang terdiagnosa pneumonia dan menjalani pengobatan rawat jalan. Studi ini membandingkan tingkat kegagalan terapi antara kelompok yang mendapatkan antibiotik dengan kelompok yang tidak mendapat antibiotik. Secara umum, tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok tersebut. Keduanya memiliki persentase yang sama pada parameter kebutuhan hospitalisasi setelah terapi rawat jalan, yaitu 3,4% (p: 0,99). Tidak ada perbedaan bermakna pada angka kunjungan ulang akibat perburukan kondisi anak, yaitu 9,5% pada kelompok yang mendapat antibiotik dan 11,6% pada kelompok yang tidak mendapat antibiotik (p: 0,22). Perlu diperhatikan bahwa penulis memperkirakan sebagian besar subjek penelitian mengalami pneumonia viral, karena rerata usia subjek yang relatif muda dan virus merupakan patogen yang mendominasi pneumonia pada anak yang lebih muda.[1]
Terdapat 2 studi non-inferioritas yang membandingkan penggunaan antibiotik amoksisilin dengan plasebo pada anak usia 2-59 bulan yang menderita pneumonia dengan manifestasi takipnea. Penelitian oleh Ginsburg et al. (2019) menemukan lebih banyak kegagalan terapi pada hari ke-4 pada kelompok plasebo (7%) dibandingkan kelompok amoksisilin (4%). Jehan et al. (2020) juga menemukan hasil serupa, sebanyak 4,9% anak dari kelompok plasebo dan 2,6% dari kelompok amoksisilin mengalami kegagalan terapi pada hari ke-3. Selisih persentase angka kegagalan terapi yang didapatkan pada kedua studi diatas melampaui batas non inferioritas yang sudah ditetapkan, sehingga plasebo dianggap lebih inferior dari amoksisilin. Namun, perlu diperhatikan bahwa terdapat variabilitas dalam perjalanan penyakit pneumonia, dan kegagalan terapi pada beberapa hari awal pengobatan tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh infeksi virus yang persisten sehingga dibutuhkan waktu yang lebih panjang untuk mencapai kesembuhan.[10-12]
Dari kedua studi non-inferioritas di atas juga didapatkan number needed to treat (NNT) yang tinggi, yaitu 33 pada penelitian Ginsburg et al dan 44 pada penelitian Jehan et al. Hal ini berarti dibutuhkan cukup banyak pasien yang harus mendapat antibiotik untuk mencegah 1 kegagalan terapi. Angka NNT yang tinggi menunjukkan bahwa tidak seluruh anak dengan pneumonia membutuhkan terapi antibiotik, tetapi antibiotik tetap diperlukan pada sebagian kecil anak dengan pneumonia. Diperlukan studi lebih lanjut untuk menetapkan kriteria pemberian antibiotik pada kasus pneumonia agar penggunaan antibiotik dapat dibatasi untuk populasi yang benar-benar membutuhkan.[10-12]
Meta analisis pada tahun 2014 dari Cochrane yang terdiri dari 3 uji acak terkontrol dengan total 3256 subjek mengevaluasi efikasi terapi antibiotik pada anak usia 2-59 bulan dengan pneumonia ringan sesuai kriteria WHO. Terapi antibiotik dapat menurunkan angka kegagalan terapi sampai dengan 20% tanpa efek yang bermakna terhadap angka kekambuhan dan efek samping akibat pengobatan. Berdasarkan analisis tersebut, belum ada bukti ilmiah yang adekuat untuk mendukung atau menentang antibiotik sebagai penatalaksanaan pneumonia ringan sebagaimana direkomendasikan WHO.[3]
Resistensi dan Efek Samping Antibiotik
Fasilitas pemeriksaan mikrobiologi yang terbatas dan tidak tersedianya data terkait pola kuman dan resistensi setempat, merupakan tantangan tersendiri dalam penatalaksanaan pneumonia pada anak. Hal tersebut menyebabkan penggunaan antibiotik spektrum luas yang seringkali tidak sesuai indikasi dan berdampak pada peningkatan resistensi antibiotik. Membatasi penggunaan antibiotik hanya untuk kasus yang dicurigai sebagai pneumonia bakterial dan menggunakan antibiotik berspektrum sempit yang sesuai dengan patogen yang teridentifikasi adalah solusi untuk mencegah resistensi.[9,13]
Penggunaan antibiotik juga dapat menyebabkan beberapa efek samping seperti diare, muntah, dan nyeri perut. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap keluhan diare, muntah, dan nyeri perut antara kelompok yang mendapat antibiotik dengan kelompok yang tidak mendapat antibiotik. Diare akibat antibiotik merupakan salah satu efek samping dari amoksisilin yang paling sering terjadi. Namun, masih diperlukan studi lanjutan terkait faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya diare akibat antibiotik seperti usia pasien, dosis, dan durasi pengobatan.[1]
Kesimpulan
Manifestasi pneumonia ringan berdasarkan definisi WHO adalah takipnea dengan atau tanpa retraksi dinding dada. Pneumonia komunitas dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, atau keduanya. Belum ada satupun parameter klinis dan laboratorium yang ditetapkan sebagai baku emas untuk membedakan infeksi virus dan bakteri. Terbatasnya fasilitas pemeriksaan mikrobiologi membuat penggunaan antibiotik pada kasus pneumonia seringkali tidak didasari oleh bukti adanya infeksi bakteri.
Saat ini belum terdapat bukti ilmiah yang secara konklusif mendukung maupun menentang praktik pemberian antibiotik untuk pneumonia ringan pada anak. Walaupun bukti ilmiah yang ada telah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok dengan atau tanpa antibiotik, masih diperlukan studi lanjutan untuk menentukan kriteria pemberian antibiotik untuk pneumonia komunitas pada anak. Selain berdasarkan kriteria klinis, pemberian antibiotik juga dapat dipertimbangkan berdasarkan pola kuman sesuai kelompok usia, serta data terkait pola kuman dan resistensi setempat.