Jarak kehamilan atau interval waktu antara kelahiran terakhir dengan tanggal pembuahan dari kehamilan berikutnya diduga berpengaruh dengan morbiditas maternal yang berat seperti luaran saat proses melahirkan yang tidak terduga dan dapat secara signifikan mempengaruhi kesehatan ibu. Namun, mekanisme terjadinya dampak buruk akibat jarak kehamilan masih menjadi perdebatan.[5]
Berbagai studi menunjukkan bahwa jarak kehamilan yang terlalu pendek dapat memberikan efek yang buruk seperti kelahiran prematur dan kematian bayi. Di sisi lain, jarak kehamilan yang terlalu panjang juga dinilai memberi dampak yang buruk pada ibu yang berusia lebih tua.
Efek Jarak Kehamilan pada Kelahiran Prematur
Studi telaah sistematis oleh Ahrens et al pada tahun 2018 mengumpulkan data penelitian yang melaporkan dampak jarak antar kehamilan yang dekat terhadap kesehatan perinatal. Penelitian yang diinklusikan adalah yang menggunakan lokasi dengan fasilitas kesehatan yang memadai.
Berdasarkan data beberapa studi yang diinklusikan oleh studi Ahrens et al, jarak kehamilan yang pendek, yakni kurang dari 6 bulan, memiliki hubungan signifikan dengan persalinan preterm, kecil masa kehamilan atau small‐for‐gestational age, serta kematian bayi. Namun, peneliti mengungkapkan hasil data ini dianggap kurang konsisten.[6]
Penelitian lain yang dilakukan Regan et al pada tahun 2020 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pendeknya jarak kehamilan atau di bawah 6 bulan dengan resiko terjadinya kematian perinatal sebesar 3,1 – 3,4 %. Hal ini terutama terjadi di negara dengan pendapatan menengah kebawah.[8]
Terdapat sebuah studi kohort mengenai efek jarak kehamilan terhadap luaran kelahiran oleh Tessema el al pada lebih dari 5 juta kelahiran dari berbagai negara berpendapatan tinggi seperti Australia dan Finland.
Efek Samping Jarak Kehamilan Panjang
Studi oleh Tessema et al. mengungkapkan, risiko insiden persalinan preterm diketahui meningkat pada kelompok jarak kehamilan kurang dari 6 bulan (aOR = 1.38, 95% CI: 1.21, 1.57). Namun, risiko kejadian persalinan preterm spontan pada kelompok peserta dengan jarak kehamilan kurang dari 6 bulan tidak berbeda secara signifikan dibanding dengan peserta yang jarak kehamilan lebih panjang, yakni 18 – 23 bulan.[7]
Menariknya, studi oleh Tessema et al ini juga mengungkapkan bahwa risiko terjadinya dampak buruk pada kehamilan seperti kelahiran prematur meningkat pada jarak kehamilan yang panjang, yakni di atas 60 bulan. Peneliti menduga efek buruk jarak kehamilan yang panjang berkaitan dengan penurunan perlahan dari kemampuan adaptasi rahim yang membuat rahim kembali pada kondisi seperti saat pertama kali mengandung.[7]
Pengaruh Usia Ibu dalam Efek Samping Jarak Kehamilan
Terdapat pula studi yang menunjukkan insiden dampak buruk perinatal dan maternal akibat jarak kehamilan dipengaruhi faktor usia ibu.
Studi kohort yang dilakukan oleh Schummers et al pada tahun 2018 menunjukkan pada ibu yang berusia 35 tahun ke atas, risiko mortalitas dan efek samping maternal lain akibat jarak kehamilan di bawah 6 bulan, meningkat sebesar 0,62 % (aRR, 2.39; 95% CI, 2.03-2.80) dibandingkan pada ibu dengan jarak kehamilan 18 bulan. Sementara pada ibu dengan kelompok usia 20 – 34 tahun, peningkatan risiko efek samping maternal tidak jauh berbeda antara jarak kehamilan di bawah 6 bulan dengan jarak kehamilan 18 bulan.
Studi oleh Schummers et al. ini juga mengungkapkan pada kelompok ibu berusia 20 – 34 tahun, peningkatan risiko efek samping perinatal dilaporkan sebesar 2,0% pada kelompok jarak kehamilan di bawah 6 bulan dan 1,4 % pada jarak kehamilan 18 bulan (aRR, 1.42; 95% CI, 1.36-1.47). Sedangkan, pada kelompok ibu berusia 35 tahun ke atas, perbedaan risiko efek samping perinatal dilaporkan tidak signifikan antar kelompok jarak kehamilan di bawah 6 bulan dengan jarak kehamilan 18 bulan.
Sementara itu, efek kecil usia kehamilan tidak begitu menunjukkan perbedaan bermakna pada seluruh kelompok usia ibu dengan jarak kehamilan yang pendek.[10]
Efek Jarak Kehamilan pada Ketuban Pecah Dini
Jena et al pada tahun 2022 melaporkan bahwa adanya hubungan antara jarak kehamilan yang pendek dengan kejadian ketuban pecah dini. Resiko tersebut meninggi sekitar 3 kali lipat pada ibu dengan jarak kehamilan kurang dari 18 bulan dibanding dengan mereka dengan jarak kehamilan 24 – 60 bulan.[9]
Efek Jarak Kehamilan pada Peningkatan Tekanan Darah Diastolik Anak
Penelitian yang dilakukan oleh Li et al pada tahun 2017 menunjukkan adanya hubungan signifikan antara semakin panjangnya suatu jarak kehamilan dengan kemungkinan peningkatan tekanan darah diastolik pada anak saat berusia 7 tahun.
Peningkatan tekanan darah diastolik pada anak berkorelasi dengan peningkatan usia ibu saat mengandung. Selain itu, studi ini mengungkapkan peningkatan indeks massa tubuh anak saat berusia 7 tahun berkaitan dengan usia ibu yang lebih tua. Meskipun begitu, efek jangka panjang pada anak-anak ini belum bisa diketahui.[11]
Efek Jarak Kehamilan pada Ibu
Berbagai studi telah dilakukan untuk mengetahui efek jarak kehamilan terhadap kesehatan ibu tetapi jumlahnya masih terbatas.
Penelitian yang dilakukan Hutcheon et al pada tahun 2018 mengemukakan adanya hubungan antara jarak kehamilan yang pendek dengan meningkatnya resiko obesitas saat hamil dan diabetes gestasional. Hasil studi ini juga mengungkapkan jarak kehamilan yang panjang, yakni di atas 60 bulan, dapat meningkatkan resiko pre-eklamsi.
Pada wanita yang sebelumnya menjalani operasi sesar, jarak kehamilan yang pendek berhubungan dengan meningkatnya resiko ruptur uteri. Studi lain mengungkapkan bahwa jarak kehamilan di bawah 18 bulan dapat meningkatkan risiko ruptur uteri secara signifikan pada pasien vaginal birth after cesarean (VBAC) (OR: 3,0; 95% CI 1,3–7,2; p = 0,01) bila dibandingkan dengan jarak kehamilan 18 – 24 bulan dan di atas 24 bulan.[12,14]
Hingga kini, belum ada penelitian yang menunjukkan hubungan jarak kehamilan dengan kenaikan berat badan diantara kehamilan.[12]
Pengaruh Usia Ibu terhadap Efek Samping Maternal
Efek buruk jarak kehamilan yang pendek juga diketahui berhubungan dengan usia ibu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Schummers et al pada tahun 2018, didapati bahwa angka mortalitas dan morbiditas yang berat terkait jarak kehamilan yang pendek meningkat pada ibu usia diatas 35 tahun dibanding ibu yang berusia 20 hingga 34 tahun.[10]
Gebremedhin et al pada tahun 2020 menemukan bahwa jarak kehamilan yang lebih panjang atau lebih dari 24 bulan memiliki hubungan signifikan dengan terjadinya kejadian hipertensi dalam kehamilan dimana efek ini sangat dipengaruhi oleh usia ibu yang tua.[2]
Jarak Kehamilan yang Optimal
Anjuran jarak kehamilan dapat berbeda tergantung kondisi ibu seperti usia serta riwayat persalinan sebelumnya. World Health Organization (WHO) menganjurkan agar setidaknya kehamilan berikutnya dimulai 24 bulan setelah kelahiran hidup. Bagi mereka yang mengalami keguguran atau aborsi yang diinduksi, jarak kehamilan paling optimal adalah 6 bulan.
Pada wanita yang menjalani operasi sesar pada kehamilan sebelumnya sebaiknya menghindari jarak kehamilan di bawah 18 bulan karena dapat meningkatkan resiko ruptur uteri. Studi juga menemukan bahwa jarak kehamilan 5 – 10 tahun juga dapat memberikan efek samping buruk pada kehamilan.[3,13]
Penyesuaian Jarak Kehamilan Berdasarkan Usia Ibu
Anjuran jarak kehamilan dinilai harus disesuaikan pada wanita yang berusia tua atau lebih dari 35 tahun karena terdapat faktor seperti kesuburan dan kemungkinan faktor resiko lain. Studi yang dilakukan Schummers et al pada tahun 2018 merekomendasikan agar jarak kehamilan pada ibu yang berusia tua dapat berkisar di antara 12 – 24 bulan.
Selain itu, studi oleh Li et al pada tahun 2017 yang menyatakan beberapa penelitian menganjurkan bahwa interval 12 – 24 bulan dan bahkan kurang dari 18 bulan yang merupakan jarak dengan kemungkinan terendah untuk terjadinya efek samping kehamilan terutama pada ibu usia tua.[10,11]
Kesimpulan
Berdasarkan data berbagai studi, dapat disimpulkan bahwa jarak kehamilan diduga berpengaruh pada pada kandungan maupun pada kesehatan ibu. Jarak kehamilan yang pendek terutama di bawah 6 bulan, dapat memberikan dampak buruk pada janin dan kandungan meliputi kelahiran prematur, kematian janin dalam kandungan,dan ketuban pecah dini.
Dampak jarak kehamilan yang pendek pada ibu meliputi obesitas dalam kehamilan, diabetes gestasional serta ruptur uteri pada ibu yang menjalani operasi sesar pada kehamilan sebelumnya. Resiko kematian ibu pada jarak kehamilan yang terlalu dekat dijumpai terutama pada ibu usia tua.
Selain jarak yang terlalu pendek, jarak yang terlalu panjang, terutama yang lebih dari 60 bulan, juga dapat memberikan efek samping berupa risiko kelahiran prematur, risiko peningkatan tekanan darah pada anak dan risiko hipertensi dalam kehamilan pada ibu.
Jarak kehamilan yang optimal menurut WHO adalah 24 bulan atau lebih. Namun, beberapa penelitian menganjurkan jarak kehamilan yang aman adalah 18 – 24 bulan. Anjuran jarak kehamilan dapat berbeda tergantung pada usia serta kondisi ibu seperti riwayat persalinan sesar atau riwayat aborsi. Anjuran kehamilan
Pengaruh buruk jarak kehamilan dapat dipengaruhi oleh usia ibu saat mengandung. Risiko efek samping pada ibu diketahui lebih banyak terjadi pada ibu dengan usia lebih tua. Sementara efek samping pada janin maupun anak lebih banyak terjadi pada wanita dengan usia lebih muda.
Hingga kini, belum banyak studi berdesain baik dengan pemantauan jangka panjang yang bertujuan mengetahui jarak optimal kehamilan untuk meminimalisir efek samping jarak kehamilan pada ibu dan anak.