Tata Laksana Hipotiroid pada Kehamilan

Oleh :
dr.Wendy Damar Aprilano

Tatalaksana hipotiroid pada masa kehamilan sangat penting mengingat efek disfungsi tiroid pada kehamilan. Insiden hipotiroidisme pada masa kehamilan, diperkirakan mencapai 0,3-0,5% untuk hipotiroidisme dengan gejala dan 3-5% untuk hipotiroidisme subklinis atau tidak bergejala.

Hormon tiroid secara fisiologis membantu tubuh untuk memproduksi energi, menjaga pengaturan suhu tubuh, dan membantu kinerja dari organ lain. Produksi hormon tiroid, baik T4 maupun T3, akan mengalami peningkatan hampir 50% selama kehamilan. Perubahan fisiologis ini secara normal terjadi pada ibu hamil sehat, akan tetapi dapat berdampak berat pada ibu hamil yang mengalami disfungsi tiroid.[1,2,3]

Tata Laksana Hipotiroid pada Kehamilan-min

Pada wanita dengan hipotiroid, terdapatnya antibodi antitiroid dapat meningkatkan risiko terjadinya infertilitas, keguguran, kelahiran prematur, depresi postpartum dan tiroiditis postpartum meski pasien sebelumnya tidak mengalami gejala disfungsi tiroid.[1,3,4]

Dampak Hipotiroidisme pada Ibu

Identifikasi dan menentukan intervensi yang aman dan efektif bagi ibu hamil yang memiliki masalah tiroid sangat penting karena defisiensi hormon tiroid dapat menimbulkan kelelahan, konstipasi, kelemahan dan kejang otot, rambut rontok, kulit kering, ketahanan terhadap suhu dingin menurun, depresi, hingga penurunan berat badan.

Ibu hamil dengan hipotiroid subklinis biasanya memiliki kadar hormon tiroid yang rendah, tapi tidak menunjukan gejala klinis apapun. Pada kelompok ibu hamil dengan kondisi ini, terdapat peningkatan risiko terjadinya keguguran, preeklampsia, dan kelahiran prematur apabila tidak dideteksi dan diterapi.[1,2]

Hipotiroidisme yang tidak ditangani berhubungan dengan siklus anovulatorik yang mana dapat menghambat terjadinya konsepsi. Ketika kehamilan sudah terjadi pun, dapat meningkatkan insiden terjadinya keguguran, hipertensi pada kehamilan, dan gejala preeklampsia berat seperti abruptio plasenta, anemia hingga perdarahan postpartum. [1,3,4]

Dampak Hipotiroidisme pada Bayi

Komplikasi obstetri lainnya dari hipotiroidisme adalah terjadinya peningkatan risiko kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, peningkatan angka rawat neonatus di NICU, serta peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal. Selain dari hal tersebut, hipotiroidisme pada ibu hamil dapat memberikan dampak negatif pada perkembangan otak janin.

Kretinisme kongenital, yang disebabkan oleh defisiensi iodin berat atau hipotiroidisme kongenital yang tidak ditangani, dilaporkan terjadi dalam bentuk sindrom hambatan pertumbuhan (berat badan lahir rendah), ketulian, dan kerusakan neuropsikologis seperti attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD) dan autism spectrum disorder.

Hipotiroidisme ringan pada ibu hamil dilaporkan berhubungan dengan penurunan level IQ seorang anak. Studi lain pun menyatakan bahwa pada usia janin 12 minggu saat kelenjar tiroid janin mulai berkembang mengkonsentrasikan iodin, perkembangan otak yang normal akan sangat bergantung pada kadar hormon tiroid ibu.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan keberadaan hormon tiroid amatlah penting bagi perkembangan otak janin. Bayi yang lahir dengan hipotiroidisme kongenital dapat mengalami gangguan kognitif berat, hingga perkembangan saraf dan tumbuh kembang yang abnormal, bahkan kematian.[1,3,4]

Pemeriksaan Hipotiroidisme pada Kehamilan

Pemeriksaan hipotiroidisme pada kehamilan penting dilakukan sejak dini. Konseling masa prakonsepsi dan fase awal kehamilan sangat diperlukan mengingat keberadaan hormon tiroid penting dalam mengurangi morbiditas fetomaternal. American Thyroid Association (ATA) sudah merekomendasikan pemeriksaan TSH pada wanita yang berisiko tinggi mengalami penyakit tiroid segera setelah kehamilan dikonfirmasi.

Wanita yang dinilai berisiko tinggi adalah wanita yang sedang menjalani terapi untuk hipertiroid atau hipotiroid, mempunyai riwayat penyakit tiroid pada keluarga, riwayat penyakit pribadi  berupa autoimun, dan/atau wanita yang memiliki goiter.

Pada wanita hipotiroidisme yang sudah mendapatkan terapi levotiroksin, pemeriksaan fungsi tiroid harus diperiksa setiap 4 minggu selama setengah masa kehamilan awal untuk memastikan wanita tersebut memiliki fungsi tiroid yang normal selama kehamilan.[3-5]

Sampai saat ini, belum ada konsensus yang mewajibkan skrining hipotiroid di awal kehamilan untuk seluruh ibu hamil. [1,3]

Manajemen Hipotiroidisme pada Kehamilan

Tujuan dari terapi hipotiroidisme adalah sebagai terapi pengganti yang adekuat dari hormon tiroid yang bermasalah. Terapi levotiroksin untuk hipotiroidisme yang bergejala pada kehamilan, dimana asupan iodin masih cukup, sudah diketahui manfaat nya secara luas untuk dapat diberikan. Mempertahankan dan mengatur kondisi eutiroid selama masa konsepsi dapat memberikan keuntungan yang lebih besar, terutama dalam menurunkan kejadian keguguran pada trimester pertama kehamilan.

Wanita dengan hipotiroidisme harus segera diberikan terapi pengganti hormon levotiroksin, berhubung kebutuhan akan hormon tiroid akan meningkat segera semenjak kehamilan terjadi.

Pada wanita dengan kondisi hipotiroidisme subklinis, The Endocrine Society Clinical Practice Guidelines juga merekomendasikan pemberian terapi levotiroksin segera untuk mengatasinya.[1,3]

Rekomendasi American Thyroid Association untuk Pemberian Levotiroksin

ATA merekomendasikan wanita yang diketahui memiliki kadar TSH lebih dari 10 mlU/L pada trimester pertama kehamilan harus mendapatkan tatalaksana hipotiroidisme berupa levotiroksin dengan dosis 2,33 µg/kgBB/hari. Secara umum, wanita yang memiliki kadar TSH  2,5 mlU/L tidak membutuhkan terapi levotiroksin.

Bagi wanita yang memiliki kadar TSH diantara 2,5-10 mlU/L, maka terapi diberikan bergantung pada ada atau tidaknya antibodi autoantibodi tiroid/tiroid peroksidase (TPO). Jika TPO positif, maka terapi dapat diberikan pada kadar TSH diatas 4 dengan dosis levotiroksin 1,42 µg/kgBB/hari, atau dapat dipertimbangkan diberikan pada kadar TSH diantara 2,5-4 mlU/L dengan dosis levotiroksin 1.2 µg/kgBB/hari. Namun jika TPO negatif, maka pemberian terapi dapat dipertimbangkan bila kadar TSH di antara 2,5–10 mlU/L.[1,3-5]

Penyesuaian Dosis Levotiroksin

Wanita dengan hipotiroidisme harus mengalami penyesuaian dosis levotiroksin saat kehamilan terkonfirmasi karena kebutuhan levotiroksin selama kehamilan akan meningkat, sekitar 25-50% dari yang semula.

Wanita hipotiroid yang telah mendapatkan terapi levotiroksin harus meningkatkan dosis nya 20-30%, segera setelah kehamilan terkonfirmasi. Pemberian 2 dosis tambahan per minggu dapat diberikan dari dosis levotiroksin yang sedang dikonsumsi, dengan mekanisme pemberian dosis tambahan 2 kali seminggu yang diberi jarak beberapa hari, segera sejak kehamilan terkonfirmasi.

Ibu hamil juga harus menginfokan kondisi ini kepada dokter yang merawat agar dapat menjalani pemeriksaan dan evaluasi lebih lanjut selama optimalisasi dosis dilakukan di masa awal kehamilan.[3-5]

Studi oleh Abalovich et al. menunjukkan bahwa pasien hipotiroid overt yang menjalani terapi adekuat dengan levotiroksin mampu mempertahankan kehamilan hingga cukup bulan. Ketika terapi levotiroksin tidak adekuat, 60% pasien mengalami abortus, 20% mengalami persalinan preterm, dan kelahiran cukup bulan tercapai pada 20% pasien.[6]

Tata laksana adekuat pada hipotiroid subklinis juga dilaporkan mampu memperbaiki luaran pasien, termasuk menurunkan risiko abortus dan meningkatkan kemampuan neurokognitif dari bayi yang dilahirkan.[2]

Pemberian Suplemen Kehamilan dengan Levotiroksin

Hal penting lain yang harus diperhatikan adalah ibu hamil dengan hipotiroid harus diberitahu bahwa suplemen kehamilan yang berisi zat besi dan kalsium dapat menghambat penyerapan hormon tiroid dalam saluran cerna. Dengan demikian, konsumsi suplemen kehamilan yang mengandung zat besi dan kalsium tidak boleh diberikan bersamaan dengan terapi levotiroksin dan harus diberi jarak minimal 4 jam.[3-5]

Tinjauan Cochrane Terkait Manfaat Tata Laksana Hipotiroid pada Kehamilan

Tinjauan sistematis Cochrane yang dilakukan Reid et al. menelaah 4 studi RCT dengan tingkat bias moderat pada 362 wanita dengan hipotiroidisme dan terapinya. Pada studi trial pertama yang melibatkan 115 wanita dengan autoantibodi tiroid tapi memiliki kadar normal hormon tiroid, terapi levotiroksin secara signifikan dapat mengurangi risiko kelahiran prematur sebesar 72% dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan terapi. Risiko terjadinya preeklampsia dinilai tidak dapat dikurangi, tetapi risiko terjadinya keguguran dapat menurun.

Studi kedua yang melibatkan 169 wanita dengan autoimun hipotiroidisme, suplementasi dengan selenium tidak menurunkan laju kelahiran prematur atau preeklampsia, tetapi dapat menurunkan kejadian inflamasi sedang hingga berat pada kelenjar tiroid dan disfungsi tiroid pasca persalinan.

Studi ketiga dan keempat secara khusus hanya melihat efek perbedaan dosis levotiroksin pada kadar hormon tiroid pada ibu hamil; kedua penelitian ini tidak menyertakan luaran klinis yang bermakna seperti preeklamsia, kelahiran prematur, infertilitas, maupun luaran klinis penting lainnya.

Berdasarkan tinjauan Cochrane, levotiroksin selain digunakan untuk terapi pada wanita dengan hipotiroidisme bergejala, obat ini juga dapat memberikan keuntungan pada wanita yang memiliki kadar hormon tiroid rendah tetapi tidak bergejala (subklinis).[1]

Terapi selenomethionin dalam mengintervensi wanita dengan autoantibodi tiroid pun cukup menjanjikan dalam mengurangi risiko tiroiditis postpartum sedang hingga berat, dan memberikan perlindungan yang cukup bagi proses kehamilan berikutnya.[1,3]

Kesimpulan

Kehamilan dapat memberikan dampak yang cukup besar bagi hormon tiroid dan fungsi nya. Kebutuhan hormon tiroid mengalami peningkatan hampir 50% selama kehamilan. Perubahan ini secara normal terjadi pada ibu hamil sehat, akan tetapi kondisi ini akan berdampak berat pada ibu hamil yang mengalami disfungsi tiroid, yaitu menimbulkan kondisi hipotiroidisme pada kehamilan.

Kondisi hipotiroidisme baik bergejala ataupun tidak bergejala sangat berbahaya bagi ibu dan janin; gangguan perkembangan neurologis akibat kondisi tersebut seperti kretinisme kongenital, dapat menyebabkan disabilitas seumur hidup. Oleh sebab itu, pemeriksaan secara dini diperlukan terutama bagi wanita yang memiliki risiko tinggi gangguan tiroid.

Penatalaksanaan harus segera dilakukan pada ibu hamil dengan hipotiroidisme semenjak diagnosis ditegakkan dan kehamilan dikonfirmasi. Selama kehamilan, baik terapi maupun pengawasan fungsi hormon tiroid harus dilakukan untuk mencegah dampak buruk, baik pada ibu hamil maupun pada janin.

Berdasarkan tinjauan Cochrane, terdapat manfaat pemberian levotiroksin pada ibu hamil yang memiliki hipotiroidisme subklinis. Namun, studi-studi dalam tinjauan dinilai memiliki tingkat bias yang moderat sehingga diperlukan lebih banyak studi dengan kualitas bukti yang lebih baik.[1-5]

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Anastasia Feliciana

Referensi