Pertolongan pertama dan penanganan pre-hospital untuk kasus gigitan ular sering kali menjadi perdebatan. Beberapa literatur mengatakan bahwa pemasangan pressure immobilization bandages untuk mencegah penyebaran bisa ular justru meningkatkan kerusakan jaringan lokal di area gigitan. Namun, beberapa literatur lain menyatakan bahwa tindakan tersebut dapat mengurangi risiko toksisitas sistemik.
Berbagai spesies ular berbisa tersebar di seluruh dunia. Setiap tahunnya, diperkirakan terdapat 421.000 hingga 1.842.000 kasus gigitan ular berbisa dengan angka kematian yang mencapai 20.000 hingga 94.000 korban.[1]
Di Indonesia, ada beberapa spesies ular yang penting secara medis, yaitu Bungarus candidus, Naja sputatrix, Naja sumatrana, Calloselasma rhodostoma, Trimeresurus albolabris, Daboia siamensis, dan Acanthophis laevis. Menurut data WHO, setiap tahunnya terdapat ratusan kasus gigitan ular di Sumatra, Jawa, Kalimantan Timur, Wetar, dan Papua Barat.[2]
Distribusi ular di Indonesia dipengaruhi oleh garis Wallace dan/atau garis Weber, yang memisahkan Indonesia menjadi bagian timur dan barat. Indonesia di bagian timur garis memiliki jenis ular Australasian seperti taipan dan brown snake, sedangkan Indonesia di bagian barat garis memiliki jenis ular seperti Cobras dan Vipers.[3]
Gigitan ular merupakan kegawatan medis yang memerlukan perhatian segera dari staf terlatih. Terapi definitif gigitan ular berbisa adalah serum antibisa ular (SABU). Namun, SABU tidak selalu tersedia di area terpencil. Oleh karena itu, dokter perlu mengetahui pertolongan pertama yang tepat untuk menunda onset toksisitas sambil mentransfer pasien ke fasilitas kesehatan yang memiliki SABU.[2,4]
Sekilas tentang Jalur Penyebaran Bisa Ular
Ular dapat menginjeksikan bisa ke dalam jaringan subkutan, otot, vena, atau arteri. Injeksi bisa ular intravaskular mengakibatkan toksisitas sistemik dengan onset cepat dan sulit ditangani, bahkan jika SABU sudah tersedia. Pada kasus seperti ini, tidak ada pertolongan pertama yang dapat dilakukan selain terapi suportif.[4]
Suatu studi menunjukkan bahwa jalur utama penyebaran bisa ular dari gigitan subkutan di ekstremitas ke seluruh tubuh adalah melalui pembuluh limfatik. Studi tersebut menyebutkan bahwa blokade aliran limfatik dapat bersifat efektif untuk menunda onset toksisitas.[4]
Pertolongan Pertama untuk Pasien yang Tergigit Ular
Menurut WHO, pertolongan pertama yang direkomendasikan pada gigitan ular adalah reassurance, imobilisasi seluruh tubuh pasien khususnya ekstremitas yang tergigit, dan transportasi pasien segera ke fasilitas kesehatan memadai.[2,4]
Berikut langkah-langkah pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk pasien:
- Evaluasi jalan napas dan sirkulasi pasien
- Baringkan pasien dan instruksikan pasien untuk tidak bergerak
- Hubungi bantuan medis
- Ambil foto ular yang menggigit pasien jika kondisi aman dan tidak menempatkan pengambil foto pada risiko tergigit ular
- Jika gigitan terdapat di ekstremitas, pakaikan pressure immobilization bandage dengan perban elastis dan bidai. Apabila perban tidak tersedia, gunakan pakaian atau bahan kain lainnya
- Lilitkan perban dengan cukup erat tetapi tidak terlalu ketat. Pastikan bahwa dokter masih dapat menyelipkan satu jari di bawah perban.
- Tuliskan waktu terjadinya gigitan dan waktu pasien diperban
- Jangan cuci area luka, karena bisa yang tersisa pada kulit dapat membantu identifikasi ular dan penanganan lebih lanjut
- Tetap tinggal bersama pasien hingga bantuan medis datang[5,6]
Bantuan Hidup Dasar dan Monitoring Tanda-Tanda Envenomasi
Prinsip-prinsip bantuan hidup dasar harus tetap diperhatikan setelah pasien digigit ular. Lakukan penilaian patensi jalan napas serta adekuasi oksigenasi dan perfusi. Periksa tanda-tanda vital pasien dan lakukan penilaian berkala.[7]
Lakukan pemeriksaan luka gigitan dan area sekitarnya. Tanda dan gejala gigitan ular bervariasi sesuai jenis ular, yang dapat meliputi:
- Lesi lokal: bekas taring ular pada area luka, kemerahan, pembengkakan, memar dan perdarahan (tanda-tanda koagulopati), bulla di sekitar gigitan, dan rasa nyeri hebat pada lokasi gigitan
- Gangguan kardiovaskular: takikardia, nadi lemah, dan hipotensi
- Gangguan respirasi: kesulitan bernapas
- Gangguan gastrointestinal: mual, muntah, diare, hipersalivasi, dan adanya rasa metalik atau mint pada lidah
- Gangguan neurologis: gangguan penglihatan, kedutan otot, rasa kebas atau tingling pada wajah atau ekstremitas
- Lainnya: kondisi berkeringat secara berlebihan[8,9]
Penilaian ulang secara berkala penting dilakukan. Proses yang terjadi setelah gigitan ular sangat dinamis, sehingga pasien dengan tanda dan gejala minimal pun mungkin menunjukkan tanda-tanda toksisitas yang signifikan dalam waktu beberapa jam.[7]
Metode Pencegahan Penyebaran Bisa Ular
Terdapat berbagai metode untuk mencegah penyebaran bisa ular. Namun, beberapa metode sudah tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas.
Torniket
Torniket sering dipasang sebagai pertolongan pertama pada kasus gigitan ular berbisa, terutama di area terpencil. Namun, penggunaan torniket dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Torniket memblokir aliran arteri, vena, dan limfatik, sehingga menahan bisa ular di satu tempat. Hal tersebut berpotensi menyebabkan destruksi jaringan lokal akibat bisa, iskemia, dan gangren. Akibatnya, pasien mungkin akan perlu amputasi.[3,7]
WHO tidak merekomendasikan penggunaan torniket untuk gigitan ular karena dapat menyebabkan nyeri, iskemia, kerusakan saraf, dan gangren ekstremitas. Di Amerika Serikat, The Wilderness Medical Society pun tidak merekomendasikan pemasangan torniket setelah gigitan ular berbisa.[4]
Pad dan Cincin Kompresi
Metode cincin kompresi atau metode Monash dilakukan dengan menempatkan pad di atas lokasi gigitan dan memfiksasinya dengan nonelastic band, dengan tekanan minimal 70 mmHg. Lalu, bidai dipasang untuk imobilisasi ekstremitas. Pada gigitan di batang tubuh, penekanan dilakukan menggunakan cincin kompresi.
Studi melaporkan bahwa metode ini menghambat penyebaran bisa ular ke sirkulasi sentral. Namun, studi tersebut memang masih berskala kecil, yakni hanya dilakukan pada 15 pasien yang digigit Daboia russelii siamensis.[4]
Pressure Immobilization Bandage
Metode pressure immobilization bandage dilakukan menggunakan bidai dan perban elastis. Perban dililitkan dengan tekanan yang cukup untuk memblokir aliran limfatik pada ekstremitas, tetapi aliran arteri dan vena tetap terjaga. Bidai berfungsi mencegah kontraksi otot yang mendorong cairan limfatik ke sirkulasi sentral. Toksin diharapkan terkurung di ekstremitas dan tidak menyebabkan toksisitas sistemik.[4]
Akan tetapi, American Heart Association menyatakan metode pressure immobilization dapat dipertimbangkan dengan memperhatikan hal-hal berikut:
Pressure immobilization bandage dilakukan dengan tekanan 40–70 mmHg di ekstremitas atas dan 55–70 mmHg di ekstremitas bawah. Perban dililitkan di seluruh ekstremitas yang tergigit
- Pada praktiknya, tekanan dianggap cukup jika perban terlilit erat, tetapi masih dapat memuat 1 jari di bawahnya. Kurangnya tekanan menyebabkan intervensi menjadi tidak efektif, sedangkan tekanan berlebihan menyebabkan jejas jaringan sekitar[4,5]
Pressure immobilization bandage juga direkomendasikan di Australia yang memiliki famili ular elapid sama dengan Indonesia timur, dengan memperhatikan hal-hal berikut:
- Perban yang digunakan sebaiknya berupa perban elastis lebar (15 cm). Perban dililitkan di atas lokasi gigitan, kemudian dari distal ke proksimal hingga menutupi seluruh ekstremitas.
- Ekstremitas serta seluruh tubuh pasien harus diimobilisasi agar pertolongan pertama dapat efektif. Imobilisasi harus tetap dilakukan hingga pasien telah ditransfer dan dievaluasi di rumah sakit.
- Perban hanya boleh dilepas jika SABU sudah tersedia dan tidak ada bukti envenomasi berdasarkan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium awal. Jika terjadi envenomasi, perban dilepas setelah SABU diberikan[4,6]
Dalam Australian Snakebite Project, tidak ada kematian yang tercatat pada pasien yang mendapatkan pressure immobilization bandage.[10]
Metode Lainnya
Metode lain untuk mencegah penyebaran bisa ular seperti pemakaian venom extractors dan kejutan listrik sudah tidak dianjurkan. Venom extractors adalah alat suction yang dipasang di luka gigitan untuk mengisap bisa. Studi eksperimental tidak menemukan manfaat metode ini. Sementara itu, metode kejutan listrik dapat menyebabkan efek berbahaya seperti koma dan inkontinensia, tanpa memberikan manfaat bagi pasien.[4]
Kesimpulan
Gigitan ular berbisa merupakan kegawatan medis yang memerlukan terapi definitif berupa serum antibisa ular (SABU). Namun, karena SABU tidak selalu tersedia di area terpencil, Dokter perlu mengetahui cara pertolongan pertama untuk pasien yang digigit ular sambil menunggu proses transfer pasien ke rumah sakit dengan SABU.
Menurut WHO, prinsip pertolongan pertama pada kasus gigitan ular adalah bantuan hidup dasar, reassurance, dan imobilisasi seluruh tubuh pasien, khususnya ekstremitas yang tergigit, hingga pasien mendapat penanganan medis di fasilitas kesehatan.
Penggunaan torniket sebagai pertolongan pertama tidak disarankan karena dapat menyebabkan komplikasi nekrosis jaringan. Selain itu, penggunaan venom extractor dan kejutan listrik juga tidak dianjurkan.
Data yang ada saat ini masih terbatas, tetapi beberapa uji eksperimental dan uji klinis berskala kecil menyarankan pressure immobilization bandage sebagai pertolongan pertama untuk mencegah penyebaran sistemik bisa. Namun, tekanan yang diberikan harus tepat. Kurangnya tekanan membuat metode ini menjadi tidak efektif, sedangkan tekanan berlebihan dapat menyebabkan jejas jaringan.