Pilihan tata laksana terbaik untuk dislokasi sendi akromioklavikular, baik berupa bedah maupun terapi konservatif, masih sering menjadi perdebatan terutama untuk dislokasi tipe Rockwood III. Dislokasi akromioklavikular merupakan cedera bahu yang sering terjadi pada populasi olahragawan, terutama pada bidang tinju, sepak bola, hoki es, rugby, dan seni bela diri.[1-3]
Sekilas tentang Patofisiologi dan Klasifikasi Cedera Sendi Akromioklavikular
Dislokasi sendi akromioklavikular merupakan salah satu dislokasi bahu yang umum terjadi pada olahragawan. Sendi akromioklavikular adalah sendi diartrosis yang terbentuk oleh klavikula distal dan akromion skapula. Sendi ini distabilisasi secara statis oleh kapsul sendi dan kompleks ligamen akromioklavikular, yaitu ligamentum akromioklavikulare dan korakoklavikulare.
Cedera sendi ini dapat terjadi melalui mekanisme hantaman langsung pada sendi bahu yang memengaruhi ligamentum akromioklavikulare dan korakoklavikulare. Berdasarkan gambaran radiologinya, cedera sendi akromioklavikular dapat dibedakan menjadi 6 tipe sesuai klasifikasi Rockwood, yaitu:
- Tipe I: sprain pada kompleks ligamen akromioklavikular
- Tipe II: ruptur pada ligamentum akromioklavikulare dengan ligamentum korakoklavikulare yang masih utuh
- Tipe III: ruptur kedua ligamen tanpa cedera fascia deltotrapezial, sehingga klavikula hanya mengalami dislokasi dengan peningkatan jarak korakoklavikulare (KK) dan klavikula lateral sebesar 25–100% akibat tarikan otot trapezius
- Tipe IV: ruptur total ligamentum akromioklavikulare dan ruptur parsial ligamentum korakoklavikulare yang disertai dislokasi posterior klavikula lateral
- Tipe V: serupa dengan tipe III tetapi disertai dislokasi klavikula dan peningkatan jarak KK dan klavikula lateral >100%
- Tipe VI: ruptur kedua ligamen yang disertai dengan dislokasi inferior klavikula lateral ke subakromial atau subkorakoid[2,4,5]
Prinsip Tata Laksana Cedera Sendi Akromioklavikular Secara Umum
Tata laksana dislokasi sendi akromioklavikular disesuaikan dengan gambaran radiologis yang diklasifikasikan oleh Rockwood. Cedera sendi akromioklavikular tanpa dislokasi (tipe I dan II) umumnya cukup ditata laksana secara konservatif, sedangkan dislokasi sendi akromioklavikular (tipe IV, V, dan VI) perlu ditata laksana dengan pembedahan.[3-5]
Sementara itu, pilihan tata laksana untuk dislokasi Rockwood tipe III masih menjadi kontroversi.[3-5]
Tata laksana konservatif umumnya terdiri dari imobilisasi, pendinginan, dan manajemen nyeri. Imobilisasi dapat dilakukan dengan broad-arm sling atau braces and strapping. Pemilihan jenis imobilisasi disesuaikan dengan kenyamanan dan toleransi nyeri pasien. Imobilisasi dilakukan selama maksimal 2 minggu.
Pendinginan lokal dan analgesik juga diberikan selama imobilisasi dan disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Gerakan aktif bahu dapat dimulai secara gradual pada minggu ke-3 dengan target mampu melakukan abduksi hingga 90° pada minggu ke-6. Selama 3 bulan pertama, aktivitas mengangkat objek harus dihindari.[1,4,5]
Tata laksana bedah dilakukan untuk memperbaiki posisi sendi dan rekonstruksi ligamen yang ruptur. Secara umum, teknik pembedahan dapat bersifat nonbiologis, biologis, atau berupa transfer ligamen atau tendon.
Teknik nonbiologis merupakan rekonstruksi ligamen dengan fiksasi bahan sintetis, misalnya ligament advanced reinforcement system (LARS), double polyester prosthetic ligament, vascular graft, Kirschner’s wire, Bosworth screw, hook plate, dan tightrope. Sementara itu, teknik biologis merupakan rekonstruksi ligamen dengan autograft maupun allograft. Teknik transfer ligamen atau tendon merupakan rekonstruksi ligamen dengan modifikasi bagian sendi, seperti teknik modifikasi Weaver-Dunn.[1,2,4,5,8]
Perbandingan Tata Laksana Bedah dan Konservatif pada Kasus Dislokasi Sendi Akromioklavikular
Keunggulan pembedahan pada dislokasi sendi akromioklavikular adalah restorasi sendi yang lebih baik sehingga luaran yang tidak diinginkan seperti deformitas bahu dapat dihindari. Namun, pembedahan dapat menyebabkan risiko infeksi, perubahan lokasi pin fiksasi, erosi tulang oleh alat fiksasi, kegagalan alat fiksasi, kekambuhan deformitas, timbulnya jaringan parut, nyeri, arthralgia, dan kebutuhan pembedahan susulan untuk mengambil alat fiksasi.[1,4,5,8]
Beberapa penelitian juga telah melaporkan beberapa komplikasi pasca operasi dislokasi sendi akromioklavikular, termasuk hilangnya reduksi setelah pembedahan menggunakan hook plate.[8]
Terapi konservatif memiliki kelebihan seperti durasi rehabilitasi yang lebih singkat dan tidak dibutuhkannya rawat inap. Namun, terapi konservatif juga memiliki kekurangan seperti ketidakpuasan pasien akibat nyeri, instabilitas, keterbatasan gerak, ketidakpastian proses penyembuhan, dan adanya kemungkinan tindakan bedah lebih sulit dilakukan karena dislokasi telah terjadi dalam waktu lama.[1,4,5]
Perbandingan oleh Studi Tamaoki et al
Tamaoki et al meninjau enam penelitian intervensi dislokasi akromioklavikular tipe III untuk mengetahui efek pembedahan dan terapi konservatif terhadap luaran pasien. Tinjauan ini melibatkan 357 pasien dewasa dengan dislokasi akromioklavikular akut. Dua studi menunjukkan tidak ada perbedaan antara kedua metode terapi ini terhadap fungsi bahu dalam satu tahun. Namun, empat studi menunjukkan hasil konsisten bahwa pasien yang menerima terapi konservatif mengalami perbaikan lebih cepat.
Sebuah studi juga menemukan bahwa pembedahan justru lebih berisiko menimbulkan rasa tidak nyaman dan infeksi. Namun, seluruh penelitian yang terlibat dalam tinjauan ini dilaporkan memiliki kualitas bukti yang rendah akibat risiko bias tinggi.[1]
Perbandingan oleh Studi Longo et al
Tinjauan lain dilakukan oleh Longo et al terhadap 22 penelitian intervensi dislokasi sendi akromioklavikular tipe III. Tinjauan ini melibatkan 851 pasien dislokasi sendi akromioklavikular tipe III dengan rentang usia 11–79 tahun.
Dari total 427 pasien pada 15 studi yang menjalani pembedahan, sekitar 14% dilansir mengalami kegagalan berupa re-displacement. Namun, alasan kegagalan terapi hanya diberikan oleh tiga studi, yaitu migrasi alat fiksasi dan rusaknya alat fiksasi.
Nyeri persisten dilaporkan pada 9 studi, dengan 11% (27 dari 240 pasien) pada terapi pembedahan dan 25% (9 dari 36 pasien) pada terapi konservatif. Data ini dinilai tidak signifikan secara statistik.
Luaran pasien diukur dengan berbagai skala, terutama skor Constant. Rerata skor Constant adalah 87,3 untuk terapi pembedahan dan 88 untuk terapi konservatif. Studi yang terlibat dalam tinjauan ini juga dinilai memiliki kualitas bukti yang rendah.[2]
Perbandingan oleh Studi Tang et al
Tang et al melakukan meta analisis terhadap 8 penelitian intervensi dislokasi sendi akromioklavikular tipe III untuk membandingkan luaran klinis pasien. Tinjauan ini melibatkan 326 pasien yang menerima pembedahan dan 323 pasien yang menerima terapi konservatif.
Tinjauan ini tidak menemukan perbedaan signifikan dari kedua metode terapi terhadap risiko komplikasi, seperti nyeri, kelemahan, arthritis, dan keterbatasan gerak. Prevalensi osifikasi ligamentum korakoklavikulare dan osteolisis klavikula lateral lebih tinggi pada pembedahan dan perbaikan fungsi tampak lebih baik pada terapi konservatif. Namun, tidak ada perbedaan signifikan terhadap luaran pasien yang diukur melalui berbagai skala, seperti skor Constant, Imatani, atau Larsen.[3,6]
Perbandingan oleh Studi Chang et al
Suatu meta analisis dilakukan oleh Chang et al terhadap 19 penelitian intervensi dislokasi sendi akromioklavikular high-grade tipe III, IV, dan V. Analisis ini melibatkan 954 pasien, di mana 507 pasien menjalani pembedahan dan 447 pasien menerima terapi konservatif.
Pada lima studi yang menilai luaran fungsional pasien dengan skor Constant, terapi bedah dilaporkan unggul secara signifikan (mean difference 3,14) dibandingkan terapi konservatif. Namun, studi yang menilai luaran dengan skor lain tidak menemukan perbedaan signifikan. Pembedahan ditemukan lebih unggul dalam luaran radiologis.
Lima studi mengukur luaran klinis pasien berdasarkan waktu kembali ke pekerjaan dan melaporkan bahwa pasien yang menerima terapi konservatif kembali ke pekerjaannya sekitar 4,17 minggu lebih cepat daripada pasien yang menerima pembedahan. Tidak ada perbedaan prevalensi komplikasi pada kedua terapi.[7]
Kesimpulan
Tata laksana terbaik untuk dislokasi sendi akromioklavikular, terutama tipe Rockwood III, masih belum dapat ditetapkan. Berbagai studi yang membandingkan efektivitas dan risiko pembedahan maupun terapi konservatif masih memiliki risiko bias yang tinggi dan bersifat inkonsisten.
Bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara pembedahan dan terapi konservatif dalam hal luaran klinis. Pemilihan terapi perlu didasarkan pada penilaian kondisi masing-masing pasien. Terapi konservatif dapat menjadi pertimbangan utama karena kelebihannya dalam hal waktu rehabilitasi yang singkat dan kebutuhan rawat inap yang rendah, sehingga mampu menekan biaya.
Namun, untuk pasien yang membutuhkan kepastian proses penyembuhan, misalnya pasien yang menginginkan perbaikan fungsi gerakan, kekuatan, dan tampilan kosmetik, pembedahan dapat dipertimbangkan. Uji klinis acak terkontrol yang berskala lebih besar masih dibutuhkan untuk dapat memberikan rekomendasi yang lebih pasti.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini