TCM atau Tes Cepat Molekuler untuk Diagnosis Tuberkulosis

Oleh :
dr. Qorry Amanda, M.Biomed

Tes cepat molekuler (TCM) untuk diagnosis tuberkulosis (TB) juga disebut sebagai GeneXpert MTB/RIF assay. Selain dapat menegakkan diagnosis tuberkulosis lebih cepat dan akurat, pemeriksaan ini dapat sekaligus mendeteksi resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap rifampisin.[1,2]

Prinsip Kerja dan Interpretasi Tes Cepat Molekuler untuk Tuberkulosis

Prinsip kerja TCM adalah mengamplifikasi asam nukleat (NAA) dari sampel dahak atau sputum dengan menggunakan wadah/cartridge sekali pakai dalam suatu mesin yang disebut sebagai GeneXpert.[2]

TCMtuberkulosis

Sampel dahak atau sputum yang didapatkan dari pasien dicampur dengan reagen yang tersedia terlebih dahulu dan kemudian ditempatkan dalam sebuah wadah/cartridge untuk proses polymerase chain reaction (PCR) secara real time.[2]

Proses PCR yang dilakukan oleh mesin GeneXpert akan mendeteksi adanya DNA kuman Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian, maka hasil interpretasi dari pemeriksaan GeneXpert MTB/RIF assay yang dapat muncul adalah detectednot detectedindeterminate, dan invalid.[2]

Khusus untuk hasil pemeriksaan invalid, maka pemeriksaan harus diulangi dari awal. Untuk hasil indeterminate, maka pemeriksaan alternatif diperlukan untuk mengonfirmasi keberadaan kuman M. tuberculosis.[2]

Metode PCR pada mesin GeneXpert MTB/RIF dapat membantu diagnosis tuberkulosis paru maupun ekstraparu seperti osteomyelitis TBspondilitis TB, dan skrofuloderma bergantung pada sampel yang digunakan dari pasien. Beberapa sampel yang dapat digunakan dalam pemeriksaan kecurigaan diagnosis tuberkulosis adalah sputum, cairan bronkus/bronkoalveolar, cairan serebrospinalis, cairan peritoneum, cairan pleura, serta cairan jaringan.[3]

Pertimbangan Pemilihan Tes Cepat Molekuler dengan Pemeriksaan Lain

Terdapat berbagai pertimbangan dalam menggunakan TCM dibandingkan dengan pemeriksaan lain untuk TB seperti pemeriksaan kultur, bakteri tahan asam (BTA), dan foto polos toraks.

Pemeriksaan Kultur

Meskipun pemeriksaan baku emas untuk diagnosis tuberkulosis paru adalah kultur, waktu yang diperlukan untuk keluarnya hasil pemeriksaan sangat lama, dimana kultur yang dapat berlangsung 2-6 minggu hanya untuk mengonfirmasi diagnosis TB dan memerlukan waktu tambahan 3 minggu lagi bila digunakan untuk menilai kasus tuberkulosis yang resisten obat (TBRO).[1,2]

Dalam kurun waktu yang lama tersebut, penularan aktif tuberkulosis dari pasien pada orang lain dapat terjadi. Selain itu, risiko kontaminasi pada petugas juga dapat terjadi sehingga berpotensi untuk menularkan pada petugas kesehatan. Dengan demikian, penting untuk menemukan metode alternatif diagnosis tuberkulosis lainnya yang teruji lebih efektif dan terjangkau.[4,5]

Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam

Pedoman nasional sebelumnya merekomendasikan pemeriksaan alternatif untuk mengidentifikasi bakteri M. tuberculosis melalui pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan Ziehl Neelsen.

Pemeriksaan ini bertujuan menemukan bakteri tahan asam yang diduga kuat sebagai M. tuberculosis. Namun, pemeriksaan mikroskopis bakteri tahan asam (BTA) hanya dapat dinilai positif ketika kadar bakteri dalam sputum tinggi, sehingga menimbulkan angka sensitivitas yang rendah. Sensitivitas pemeriksaan BTA diketahui hanya berkisar 20-78,3%.[4,6]

Foto Polos Toraks

World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa foto polos toraks memiliki sensitivitas tinggi dalam membantu penegakan diagnosis tuberkulosis namun spesifitasnya rendah sehingga perlu dikombinasikan dengan pemeriksaan klinis dan TCM.

Algoritma yang direkomendasikan WHO dalam pengusulan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis tuberkulosis paru adalah melakukan foto polos toraks pada semua pasien dengan gejala TB dan dilanjutkan dengan pemeriksaan TCM sehingga lebih efektif dalam memunculkan hasil yang true positive dibandingkan false positive.[4]

Keunggulan Tes Cepat Molekuler untuk Tuberkulosis

Untuk diagnosis tuberkulosis paru, TCM atau pemeriksaan GeneXpert MTB/RIF assay diketahui memiliki sensitivitas sebesar 90,2%, spesifitas sebesar 86,9%, positive predictive value sebesar 99,1%, serta negative predictive value sebesar 95,9% dibandingkan dengan pemeriksaan kultur.

Hasil studi di Indonesia oleh Simarmata et al pada 33.360 kasus suspek TB juga mengonfirmasi tingginya angka sensitivitas dan spesifisitas TCM; masing-masing sebesar 97% dan 93% ketika dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis BTA.[7,8]

Waktu Pemeriksaan

Keunggulan utama menggunakan TCM adalah waktu pemeriksaan yang jauh lebih singkat yakni kurang dari 2 jam, serta kemudahan dalam mengoperasikan alat yang digunakan sehingga tidak dibutuhkan pelatihan yang rumit. Bagi pasien, pemeriksaan TCM merupakan pemeriksaan yang menguntungkan karena bersifat non-invasive. Sampel sputum juga dapat diambil di rumah kemudian dikirimkan ke laboratorium. Hasil pemeriksaan pun dapat diketahui secara cepat.

Untuk pasien yang dinyatakan positif setelah melakukan TCM, terapi tuberkulosis bisa segera dilakukan karena waktu yang relatif singkat dalam melakukan seluruh rangkaian pemeriksaan. Sementara untuk pasien yang dinyatakan negatif, TCM dapat menghindarkan pasien dari kerugian berupa terapi tuberkulosis yang tidak diperlukan.[2]

Deteksi Resistensi Kuman

TCM dalam sekali pemeriksaan juga bisa mendeteksi adanya resistensi kuman terhadap regimen obat tuberkulosis standar. Resistensi terhadap rifampisin merupakan prediktor kuat resistensi terhadap hampir seluruh regimen obat standar tuberkulosis karena sangat sering terjadi bersamaan dengan resistensi isoniazid.

Pemeriksaan pada Anak-Anak

TCM juga dapat dilakukan pada pasien anak-anak karena memiliki sensitivitas dan spesifitas yang sama baiknya dengan ketika digunakan pada pasien dewasa. Usia yang rekomendasikan untuk TCM pada suspek TB pada anak adalah sejak 3 bulan-14 tahun.[6]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa TCM secara efektif dapat digunakan dalam kondisi keterbatasan sumber daya tetapi tetap mempertahankan sensitivitas dan spesifisitas yang baik, bahkan lebih tinggi dari pemeriksaan mikroskopis BTA yang biasanya dilakukan.[8]

Kelemahan Tes Cepat Molekuler untuk Tuberkulosis

Meski TCM memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, pengoperasian yang relatif mudah, serta lebih cepat dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis, biaya yang diperlukan untuk menghadirkan teknologinya tidaklah murah. Hal ini cukup menjadi tantangan bagi negara berkembang untuk menyediakan fasilitasnya.

Namun, setelah melewati era pandemi COVID-19 dimana alat penganalisa PCR menjadi banyak, laboratorium-laboratorium perlu mencari kegunaan lain untuk alat ini sehingga akses fasilitas untuk pemeriksaan TCM kini menjadi mudah.[9]

Hasil Positif Palsu Akibat Residu DNA Bakteri

Studi oleh Theron et al menunjukkan hasil positif dapat bertahan pada pemeriksaan Xpert MTB/RIF hingga 4 tahun lamanya meskipun pasien telah menjalani terapi komprehensif tuberkulosis. Hasil positif palsu ini dapat disebabkan karena adanya residu DNA bakteri M. tuberculosis yang telah mati tetapi tertinggal di saluran pernapasan. Persentase pasti dari positif palsu ini belum diketahui sehingga sangat direkomendasikan menyertai TCM dengan pemeriksaan kultur.[10]

Hasil Negatif Palsu Akibat Rendahnya Kadar Bakteri

Dalam kondisi temuan kasus TB aktif melalui pelacakan kontak rumah tangga seperti individu yang masih tinggal satu rumah dengan pasien terkonfirmasi TB,TCM memiliki kendala dalam mendeteksi kasus positif tuberkulosis jika spesimen dahak yang memiliki kandungan kadar bakteri yang rendah. Hal ini terutama terjadi pada pasien berusia <15 tahun atau yang sedang dalam tahap perkembangan awal menderita tuberkulosis.

Perbandingan Sensitivitas dengan Pemeriksaan Mikroskopis

Pemeriksaan dengan TCM didapatkan hanya dapat memberikan sebanyak 21,2% hasil positif dari keseluruhan hasil kultur yang positif. Meski demikian, sensitivitas TCM dalam penemuan kasus aktif ini masih lebih baik dibandingkan sensitivitas pemeriksaan mikroskopis bakteri tahan asam (BTA).

Temuan ini menjadi dasar pentingnya melakukan pemeriksaan mikroskopis kultur pada spesimen penemuan kasus aktif untuk menghindari hasil negatif palsu. Selain itu, perlu dilakukan improvisasi dalam metode TCM pada penemuan kasus aktif, diantaranya dengan mengusulkan kombinasi dilakukannya pemeriksaan Xpert Ultra dengan pemeriksaan mikroskopis kultur.[11]

Kegunaan Tes Cepat Molekuler untuk Tuberkulosis dalam Keputusan Klinis

Sejak tahun 2010, WHO merekomendasikan penegakan diagnosis awal tuberkulosis melalui pemeriksaan dengan prinsip PCR seperti TCM melalui mesin otomatis GeneXpert. Dalam uji coba validasi klinis terkontrol menunjukkan sensitivitas kumulatif setelah tiga sampel sebesar 90,2%.[1]

Meski demikian, penegakan diagnosis awal tuberkulosis dengan TCM sebaiknya selalu dikonfirmasi dengan gabungan hasil interpretasi dari ketiga pemeriksaan lain, yakni pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologi, atau pemeriksaan mikrobiologi.

Ketiga pemeriksaan tersebut dapat mengonfirmasi apakah terjadi positif palsu pada pemeriksaan TCM. Hasil positif palsu masih mungkin terjadi pada pemeriksaan TCM kendati kemungkinannya kecil. Hasil positif palsu dapat menyebabkan pasien menjalani terapi tuberkulosis yang tak perlu dan justru lebih memberikan efek merugikan daripada menguntungkan.[1]

Tes Cepat Molekuler pada Kasus Resistensi

Bila resistensi terhadap rifampisin terdeteksi positif pada TCM, maka harus dilanjutkan oleh pemeriksaan lanjutan untuk mengkonfirmasi resistensi terhadap semua regimen obat lini pertama dan kedua.

Bila resistensi terhadap rifampisin tidak terdeteksi/negatif, maka dilakukan pemeriksaan resistensi terhadap semua regimen obat tuberkulosis lini pertama saja. Sementara bila hasil pemeriksaan resistensi terhadap rifampisin indeterminate, maka pemeriksaan kultur harus dilakukan untuk memastikan kondisi resistensi terhadap semua jenis regimen obat lini pertama pada pasien.[2]

Kesimpulan

Perkembangan terkini dalam deteksi kasus tuberkulosis telah mengedepankan tes cepat molekuler (TCM) atau GeneXpert MTB/RIF assay sebagai pemeriksaan inisial yang bisa dilakukan untuk dapat mengkonfirmasi kecurigaan tuberkulosis pada pasien, termasuk di Indonesia.

Pemeriksaan ini diketahui lebih unggul dibandingkan pemeriksaan mikroskopis bakteri tahan asam (BTA) yang dianjurkan pada pedoman-pedoman pemeriksaan tuberkulosis yang lalu dalam hal efisiensi waktu, biaya, sensitivitas, dan spesifisitas.

Pemeriksaan ini juga dapat sekaligus mendeteksi adanya resistensi obat pada kuman tuberkulosis yang ditemukan. Namun, masih dapat terjadi potensi positif palsu sehingga pemeriksaan ini sangat dianjurkan dikombinasikan dengan pemeriksaan lainnya, seperti pemeriksaan klinis yang lengkap, pemeriksaan foto polos toraks dan pemeriksaan mikroskopis kultur.

Referensi