Saat ini, Artificial Intelligence (AI) semakin umum dimanfaatkan pada proses diagnostik retinopati diabetik. Pada fase awal, retinopati diabetik seringkali tidak memberikan gejala sehingga pasien umumnya didiagnosis ketika kondisi penyakit sudah lebih lanjut. Skrining retinopati diabetik juga mengalami kendala di Indonesia akibat keterbatasan ketersediaan sarana dan sumber daya dokter spesialis mata, faktor geografis, dan faktor sosioekonomi. AI diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.[1]
Beban Medis Retinopati Diabetik
Prevalensi diabetes mellitus untuk semua kelompok umur di seluruh dunia diperkirakan akan mencapai 4,4% pada tahun 2030. Jumlah penderita diabetes diproyeksikan meningkat dari 171 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030.
Retinopati diabetik adalah komplikasi yang sering ditemukan pada pasien diabetes mellitus, terutama pasien dengan kontrol glikemik yang buruk. Retinopati diabetik akan menyebabkan hendaya bermakna pada kualitas hidup pasien akibat gangguan penglihatan yang signifikan hingga kebutaan. Retinopati diabetik diperkirakan dialami sekitar 24% penderita diabetes.[2]
Tantangan dalam Mendiagnosis Retinopati Diabetik
Di Indonesia, retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan tertinggi ke-4 setelah katarak, glaukoma, dan degenerasi makula. Pada awal perkembangan penyakit, retinopati diabetik umumnya tidak memberikan gejala gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan baru akan timbul pada stadium lanjut ketika timbul perdarahan vitreus, ablatio retina traksional, atau diabetic macular edema (DME). Hal ini sering menyebabkan keterlambatan penanganan dan rujukan retinopati diabetik, terutama oleh dokter di layanan primer.
Prosedur standar untuk melakukan skrining retinopati diabetik adalah melalui pemeriksaan funduskopi dengan atau tanpa dilatasi pupil. Perubahan awal pada kondisi retinopati diabetik adalah mikroaneurisma pada kutub posterior retina. Namun, skrining funduskopi bukanlah hal yang mudah dilakukan dan dikuasai dengan baik oleh seluruh petugas layanan kesehatan tingkat pertama. Ditambah lagi, fasilitas digital retinal photography hanya tersedia di fasilitas kesehatan tingkat lanjut, sehingga deteksi gangguan retina yang minor dan pemantauan perubahan seiring waktu sulit dilakukan.[1,3,4]
Penggunaan Artificial Intelligence untuk Membantu Deteksi Retinopati Diabetik
Pemanfaatan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan ponsel pintar diharapkan dapat mengatasi berbagai limitasi dalam mendeteksi dini perubahan patologis pada retina penderita diabetes. AI memiliki keunggulan berupa ketersediaan yang lebih luas, keperluan biaya yang relatif lebih sedikit, dan relatif tidak memerlukan pelatihan khusus dalam penggunaannya.
Penggunaan AI dalam skrining retinopati diabetik telah disetujui FDA sejak tahun 2018. Beberapa contoh dari algoritma AI tersebut adalah Retmarker DR®, Google AI®, dan EyeArt IDx-DR®. Berbagai studi menunjukkan bahwa AI memiliki akurasi diagnosis yang baik dan memberi keuntungan akses yang lebih mudah pada pasien. Akan tetapi, di negara berkembang seperti Indonesia, keterbatasan akses internet dan bandwidth rendah perlu dipertimbangkan sebagai potensi hambatan lainnya. Pengembangan perangkat lunak yang dapat dipakai secara offline dapat menjadi solusi dari hal tersebut.[1,5,6]
Bukti Ilmiah Penggunaan Artificial Intelligence dalam Mendeteksi Retinopati Diabetik
Dalam sebuah studi prospektif potong lintang yang melibatkan 922 individu dengan diabetes mellitus, dilakukan evaluasi nilai diagnostik dari algoritma AI berbasis ponsel pintar. Dalam studi ini, diagnosis AI dibandingkan dengan diagnosis dari lima dokter spesialis retina. Sensitivitas algoritma AI yang digunakan dalam penelitian ini ditemukan sebesar 83,3% dengan spesifisitas sebesar 95,5%. Secara lebih spesifik, algoritma AI yang digunakan dilaporkan memiliki sensitivitas sebesar 93% dan spesifisitas 92,5% untuk mengenali retinopati diabetik yang memerlukan rujukan.[6]
Hasil serupa dilaporkan oleh Gulshan et al yang mengevaluasi pemanfaatan AI dalam diagnosis retinopati diabetik pada 3049 pasien diabetes. Hasil studi ini menemukan sensitivitas 88,9% dan spesifisitas 92,2% untuk pasien dengan retinopati diabetik yang memerlukan rujukan.[7]
Sebuah penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Siahaan AFM et al pada tahun 2020 menganalisis validitas aplikasi android berbasis algoritma inception V3 pada 147 foto fundus portabel pasien retinopati diabetik. Hasil studi ini menunjukkan sensitivitas untuk mendeteksi retinopati diabetik yang mengancam penglihatan sebesar 71,8% dan spesifisitas 76,8%. Positive predictive value dilaporkan sebesar 77,7%, negative predictive value sebesar 70,6%.[8]
Kesimpulan
Deteksi dini retinopati diabetik dapat meningkatkan luaran dan kualitas hidup pasien secara bermakna. Meski demikian, deteksi dini retinopati diabetik dihambat oleh berbagai kendala, seperti keterbatasan sarana dan prasarana diagnostik. Artificial Intelligence (AI) dianggap bermanfaat dalam mengatasi berbagai keterbatasan tersebut.
Studi yang ada saat ini mengindikasikan bahwa algoritma AI memiliki akurasi diagnostik yang cukup baik untuk digunakan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. AI dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu untuk menentukan apakah seorang pasien memerlukan rujukan lebih lanjut atau tidak.
Penulisan pertama oleh: dr. Saphira Evani