Sifilis kongenital merupakan infeksi Treponema pallidum yang ditularkan dari ibu ke janin selama kehamilan dan dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius. Efek jangka panjang sifilis kongenital mencakup gangguan perkembangan neurologis, kelainan tulang, gangguan pendengaran, serta keterlambatan kognitif yang bersifat permanen.[1-3]
Tingkat transmisi sifilis dilaporkan tertinggi pada trimester ketiga, yaitu sekitar 60 – 80%. Dengan meningkatnya angka kejadian sifilis pada ibu hamil, maka prevalensi sifilis kongenital kembali meningkat dan menjadi salah satu penyebab tersering kelahiran mati yang dapat dicegah. Untuk mengatasi ini, WHO telah menerapkan program skrining sifilis pada ibu hamil. Di Indonesia, tes dilakukan bersama skrining hepatitis B dan HIV.[1-5]
Meski program skrining telah ditetapkan, kejadian sifilis kongenital belum menunjukkan penurunan signifikan. Beberapa faktor yang diduga berperan adalah tidak adanya pengawasan selama kehamilan, tidak dilakukannya pemeriksaan skrining saat kehamilan, ibu hamil yang telah terdeteksi tidak mendapat tata laksana adekuat sehingga titer menjadi tinggi saat kehamilan dan persalinan, serta terlambatnya waktu diagnosis.[1,3]
Dampak Medis Sifilis Kongenital
Sekitar 70% wanita hamil yang mengalami sifilis dan tidak mendapat tata laksana yang adekuat berpotensi untuk mentransmisikan penyakitnya. Dari transmisi selama masa kehamilan, sekitar 40% bayi mengalami kematian saat di dalam kandungan atau sesaat setelah persalinan. Apabila bayi dapat tetap hidup, komplikasi seperti lahir prematur, lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR), atau hidrops fetalis non-imun dapat terjadi.
Setelah lahir, manifestasi klinis pada bayi dengan sifilis kongenital dibagi menjadi dua, yaitu manifestasi awal yang timbul sebelum usia 2 tahun, dan manifestasi lambat yang timbul setelah usia 2 tahun. Pada tahap awal sekitar 60–90% bayi tidak memiliki gejala. Pada kelompok ini pemantauan secara berkala sangat diperlukan karena apabila tidak mendapat tata laksana, bayi tersebut dapat menunjukkan gejala setelah usia 2 tahun dan memiliki luaran yang lebih buruk.[6,7]
Manifestasi Klinis
Setelah masuk ke sirkulasi janin melalui plasenta, T. pallidum dapat berdiseminasi ke berbagai sistem organ sehingga manifestasi klinis dapat ditemukan di berbagai sistem, terutama tulang, hepar, pankreas, intestinal, ginjal, dan limpa. Pada manifestasi awal, gejala biasanya muncul pada usia 5–12 minggu, berupa hepatosplenomegali, ikterik, kongesti nasal, ruam, limfadenopati generalisata, atau abnormalitas skeletal.
Tabel 1. Manifestasi Klinis Awal pada Sifilis Kongenital
Sistem Organ | Manifestasi Klinis |
Sistemik | Demam, hepatosplenomegali, limfadenopati generalisata, edema, dan gagal tumbuh |
Mukokutan | Rinitis sifilitik, ruam makulopapular, ruam vesikuler, kondiloma lata (bersifat infeksius), dan ikterik |
Hematologi | Anemia (biasanya bersifat hemolitik), trombositopenia, leukopenia, leukositosis |
Muskuloskeletal | pseudoparalisis Parot, abnormalitas gambaran radiografi (periostitis, tanda Wegner, tanda Wimberger) |
Neurologi | Abnormalitas hasil pemeriksaan cairan serebrospinal, leptomeningitis sifilis akut (terjadi pada 1 tahun pertama, terutama usia 3 – 6 bulan), meningovaskular sifilis kronik (biasanya terjadi pada akhir tahun pertama) |
Mata | Rontoknya alis, korioretinitis, uveitis, katarak, glaukoma, dan luka pada kelopak mata |
Organ Lain | Pneumonia, miokarditis, perdarahan rectum, sindrom nefrotik |
Sumber: dr. Shofa, Alomedika, 2025.[1,3,6,7]
Sifilis kongenital yang tidak mendapatkan tata laksana yang adekuat pada 2 tahun pertama dapat berkembang menjadi manifestasi lambat. Manifestasi lambat dapat menyebabkan deformitas pada wajah, tuli sensorineural, hingga kejang dan disabilitas intelektual.[1,3,6,7]
Tabel 2. Manifestasi Lambat Sifilis Kongenital
Sistem Organ | Manifestasi Klinis |
Wajah | Frontal bossing, saddle nose, tulang maksila yang memendek, mandibula yang menonjol |
Mata | Keratitis intersisial (biasanya muncul pada usia 4–30 tahun), korioretinitis, glaukoma sekunder, jaringan parut pada kornea, dan atrofi optik |
Telinga | Gangguan pendengaran sensorineural (biasanya muncul pada usia 8–10 tahun dan bersamaan dengan keratitis intersisial) |
Orofaring | Gigi Hutchinson (celah hipoplastik dengan jarak antara gigi yang lebar), mulberry molars, perforasi palatum |
Neurologi | Disabilitas intelektual, hidrosefalus, kejang, atrofi optik, paresis umum |
Skeletal | Saber shin (pembengkokan anterior tibia), tanda Higoumenakis (pembesaran sternoklavikular), sendi Clutton, dan skapula skafoid |
Hematologi | Paroxysmal cold hemoglobinuria |
Sumber: dr. Shofa, Alomedika, 2025.[1,3,6,7]
Berdasarkan gejala klinis di atas, trias sifilis kongenital, yaitu gigi Hutchinson, keratitis intersisial, dan gangguan pendengaran sensorineural merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Mulberry molars dan sendi Clutton juga bersifat spesifik untuk sifilis kongenital.
Berdasarkan data di Amerika Serikat, kasus fatal akibat sifilis kongenital adalah sekitar 6–8% dan sebagian besar disebabkan oleh kurangnya asuhan prenatal. Pemberian tata laksana yang adekuat pada 3 bulan pertama kehidupan dapat mencegah sebagian gejala klinis setelah usia 2 tahun. Di sisi lain, keratitis intersisial dan saber shin tetap dapat ditemukan walaupun pasien telah mendapatkan terapi yang adekuat.[3,7]
Dampak Terhadap Perkembangan Anak dengan Sifilis Kongenital
Pasien dengan sifilis kongenital memiliki risiko tinggi untuk mengalami gangguan perkembangan, terutama pada kelompok yang menunjukkan gejala sejak sebelum usia 2 tahun. Sebuah studi menemukan bahwa 17 janin yang terpajan dengan sifilis saat kehamilan mengalami gangguan perkembangan pada usia 12 dan 24 bulan, yang mana 15 di antaranya asimtomatik sebelum usia 2 tahun. Pasien dengan gejala awal memiliki keterlambatan pada aspek yang lebih banyak dibandingkan dengan pasien asimtomatik.
Studi lain dilakukan pada 35 bayi dengan ibu yang mengalami sifilis primer, sekunder, maupun laten. Sekitar 5 bayi mengalami kematian, 20 menunjukkan gejala awal, dan 10 tidak menunjukkan gejala. Pada usia 19 bulan, 4 dari 11 bayi yang bergejala serta 3 dari 7 bayi yang asimtomatik mengalami keterlambatan perkembangan.[8]
Untuk mendeteksi gangguan perkembangan, pemantauan secara rutin harus dilaksanakan. Pemantauan mencakup evaluasi perkembangan berkala dan evaluasi pendengaran serta penglihatan setiap tahun. Pemantauan serologi juga tetap perlu dilakukan. Pada kelompok risiko tinggi yang telah diberikan penicillin, pemantauan serologi dilakukan untuk menilai respons terapi, sedangkan pada kelompok yang memiliki risiko rendah, pemantauan serologi dilakukan untuk memastikan secara definitif bahwa pasien tidak mengalami infeksi sifilis.[3,8]
Dampak Ekonomi Sifilis Kongenital
Dengan adanya berbagai efek medis pada sifilis kongenital, angka rawat inap dan beban ekonomi terhadap sifilis kongenital juga semakin meningkat. Hal ini tertuang dari penelitian di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa sifilis kongenital berhubungan dengan waktu rawat inap yang lebih lama dan pembiayaan rumah sakit yang lebih tinggi.
Data lain dari Global Burden of Diseases, Injuries, and Risk Factor Study (GBD) juga menyatakan bahwa sifilis kongenital menjadi salah satu dari 10 penyakit terbanyak yang menyebabkan anak dibawah 10 tahun hidup dengan disabilitas. Hal ini bisa menyebabkan pasien kehilangan produktivitas dan banyak memerlukan bantuan setelah mencapai usia dewasa.[9,10]
Kesimpulan
Sifilis kongenital bisa menyebabkan pasien mengalami berbagai morbiditas medis, termasuk tuli sensorineural, gangguan neurologi, disabilitas intelektual, dan keratitis. Anak yang mengalami sifilis kongenital juga lebih berisiko mengalami keterlambatan perkembangan. Selain itu, sifilis kongenital juga meningkatkan beban ekonomi terkait kesehatan, termasuk meningkatkan keperluan rawat inap dan pembiayaan medis. Skrining dan penanganan di masa antenatal dapat mencegah terjadinya sifilis kongenital dan komplikasi permanen yang terkait dengan penyakit ini.