Penggunaan kortikosteroid untuk penatalaksanaan anosmia pada pasien COVID-19 masih kontroversi karena bukti klinis yang belum adekuat. Anosmia merupakan salah satu gejala olfaktori sering dialami dan menjadi prediktor kuat pada pasien COVID-19. Pada pasien COVID-19, anosmia seringkali bersamaan dengan gejala disfungsi gustatori atau ageusia. Disfungsi olfaktori, termasuk hiposmia dan anosmia, kadang ditangani dengan pemberian kortikosteroid sistemik peroral atau topikal intranasal.[1,2]
Gejala Anosmia pada COVID-19
Anosmia merupakan disfungsi saraf olfaktori yang ditandai dengan fungsi penciuman yang menurun atau menghilang. Virus SARS-CoV-2 merupakan salah satu patogen penyebab anosmia. Hal ini dipercaya karena reseptor angiotensin-converting enzyme 2, yang merupakan reseptor masuknya virus ke dalam sel, banyak diekspresikan di epitel nasal.[3-5]
Selain itu, infeksi lokal di epitel nasal dapat menyebabkan kerusakan neuron reseptor olfaktori sehingga menyebabkan fungsi penciuman terganggu. Anosmia merupakan prediktor kuat dalam mendiagnosis pasien COVID-19.[3-5]
Pasien COVID-19 dapat mengalami anosmia dengan onset tiba-tiba tanpa disertai oleh gejala lainnya. Insidensi anosmia pada pasien COVID-19 bervariasi, dari 33,9% hingga 68%. Studi di Italia, pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, menunjukkan disfungsi olfaktori dan gustatori lebih umum terjadi pada pasien usia muda dan perempuan.[6,7]
Anosmia yang berkaitan dengan COVID-19 dapat membaik secara spontan, atau persisten hingga lebih dari 2 minggu. Pada kasus anosmia yang membaik secara spontan, tata laksana spesifik tidak diperlukan. Namun, pada anosmia yang persisten perlu dilakukan penanganan seperti latihan indera penciuman menggunakan berbagai jenis bau untuk melatih fungsi penciuman. Tata laksana lain yang dapat diberikan antara lain natrium sitrat intranasal, vitamin A intranasal, dan omega-3 sistemik.[7,8]
Kortikosteroid Sistemik sebagai Penatalaksanaan Anosmia Akibat COVID-19
Pemberian kortikosteroid sistemik untuk anosmia pada pasien COVID-19 masih merupakan tanda tanya. Sejak lama, pemberian kortikosteroid peroral dicoba untuk pengobatan anosmia yang resisten dengan kortikosteroid topikal, pada pasien gangguan nasal dan paranasal, serta infeksi saluran pernapasan atas.[12]
Penelitian terdahulu, oleh Ikeda et al pada tahun 1995, mendukung kemajuan yang signifikan dari pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek pada pasien anosmia dengan sinusitis non-alergi. Mekanisme yang mendasari efektivitas ini dapat dijelaskan dengan perbaikan penebalan mukosa fisura olfaktorius, sehingga memperbaiki akses bau ke neuroepithelium olfaktorius[12,16]
Manfaat Kortikosteroid Sistemik
Dalam pilot study oleh Le Bon et al, diteliti efikasi dan keamanan kortikosteroid oral dan pelatihan penciuman untuk pasien anosmia persisten akibat COVID-19. Studi melibatkan 27 pasien COVID-19 dengan disosmia persisten, yaitu rata-rata selama 5 minggu. Sembilan pasien menerima kortikosteroid oral dan melakukan pelatihan penciuman (OCS + OT), sedangkan 18 pasien hanya melakukan pelatihan penciuman (OT). Hasil studi menunjukkan hanya pasien dalam kelompok OCS + OT yang secara signifikan meningkatkan skor penciuman daripada kelompok OT.[12]
Saussez et al melakukan studi observasional prospektif terkontrol pada empat institusi di Eropa terhadap 152 pasien COVID-19 dengan hiposmia atau anosmia. Semua pasien menjalani pelatihan penciuman dan kemudian dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok mendapatkan tambahan 10 hari kortikosteroid oral (OC + OT), kelompok tambahan 1 bulan kortikosteroid intranasal (NC + OT), dan kelompok hanya pelatihan penciuman (OT).[15]
Studi menunjukkan peningkatan evaluasi penciuman (tes Sniffin Sticks) pada semua kelompok. Nilai tes lebih tinggi pada kelompok 1 (OC + OT) dibandingkan dengan kelompok 2 dan 3 (p <0,001) pada satu bulan setelah pengobatan, tetapi tidak terdapat perbedaan signifikan untuk perbaikan fungsi penciuman pada semua kelompok dalam waktu 2 bulan.[15]
Keamanan Kortikosteroid Sistemik
Pemberian kortikosteroid sistemik memiliki efek imunosupresif dan dapat mengakibatkan eradikasi virus terlambat. Beberapa rhinologic society, seperti di Eropa dan Jepang, tidak merekomendasikan pemberian kortikosteroid peroral untuk anosmia onset baru pada pasien COVID-19, karena kehati-hatian dapat meningkatkan risiko keparahan atau morbiditas.[6,9,10]
Studi Le Bon et al menunjukkan hanya 3 pasien yang menerima kortikosteroid oral yang melaporkan efek samping obat yang minimal dan sementara. Sedangkan studi Saussez et al melaporkan semua kelompok mempresentasikan parosmia, dengan perbedaan secara statistik signifikan antara kelompok 1 (OC+OT) dan kelompok 3 (OT, p <0,001). Tidak ada pasien dengan peningkatan keparahan gejala COVID-19.[12,15]
Namun, pandangan internasional yang dipublikasikan oleh Stuart et al menyerukan kehati-hatian dalam menggunakan kortikosteroid sistemik pada disfungsi penciuman terkait COVID-19 awal. Berdasarkan literatur saat ini menunjukkan bahwa bukti yang mendukung kegunaannya lemah, tingkat pemulihan spontan disfungsi penciuman terkait COVID-19 tinggi, dan kortikosteroid sistemik memiliki potensi efek samping. Oleh karena itu dibutuhkan uji coba terkontrol acak dengan plasebo untuk menyelidiki efikasi kortikosteroid sistemik tersebut.[14]
Kortikosteroid Topikal sebagai Penatalaksanaan Anosmia Akibat COVID-19
Kortikosteroid topikal intranasal sebagai terapi anosmia karena COVID-19 juga masih kontroversi, karena bukti-bukti klinis masih bertentangan. Bahkan terdapat hipotesis bahwa anosmia pasca infeksi virus umumnya disebabkan oleh kerusakan epitel olfaktori, sehingga pemberian kortikosteroid intranasal dapat mengganggu regenerasi epitel nasal.[1]
Manfaat Kortikosteroid Topikal Tidak Signifikan
Penelitian prospektif, acak, dan terkontrol oleh Abdelalim et al, pada 100 pasien yang mengalami disfungsi olfaktori baik anosmia atau hiposmia, menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan pada kelompok pasien yang diberikan terapi nasal spray mometason jika dibandingkan dengan kelompok pasien yang hanya mendapatkan latihan penciuman. Kesimpulan penelitian adalah terapi nasal spray mometasone furoate tidak menunjukkan keuntungan sebagai penatalaksanaan anosmia pasien COVID-19.[11]
Studi oleh Rashid et al melakukan uji klinis acak, double-blind, terkontrol plasebo pada total 276 pasien anosmia yang dikonfirmasi PCR terinfeksi COVID-19. Subjek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan yang menerima tetes hidung betametason 3 kali sehari sampai pemulihan maksimal dalam waktu 1 bulan. Sedangkan kelompok plasebo yang menerima tetes hidung NaCl 9% dengan dosis sama. Hasil studi menunjukkan bahwa betametason intranasal tidak memiliki perbedaan signifikan daripada plasebo terkait waktu penyembuhan anosmia.[1]
Berbeda dengan studi oleh Singh et al, pemberian nasal spray fluticasone pada pasien anosmia karena COVID-19 memberikan perbaikan yang signifikan dan waktu pemulihan yang cepat. Studi melibatkan 120 pasien yang diuji disosmia dan disgeusia pada hari ke-1 dan ke-5 setelah terbukti terinfeksi dengan tes RT-PCR. Kelompok perlakuan diberikan semprotan flutikason di hidung dan pasta triamsinolon di mulut, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan tindakan.[13]
Kesimpulan
Anosmia merupakan salah satu gejala olfaktori yang umum dialami oleh pasien yang terinfeksi COVID-19. Pasien dengan anosmia karena COVID-19 dapat mengalami perbaikan fungsi olfaktori secara spontan. Namun, terdapat pasien yang mengalami anosmia persisten hingga lebih dari 2 minggu setelah dinyatakan sembuh.
Penatalaksanaan dari anosmia karena COVID-19 masih belum diketahui pasti. Pasien dapat diberikan latihan indera penciuman. Selain itu, dokter seringkali memberikan kortikosteroid sistemik peroral atau topikal intranasal.
Namun, berbagai studi menunjukkan bahwa kortikosteroid, baik peroral maupun intranasal, tidak memberikan manfaat tambahan jika dibandingkan dengan terapi latihan penciuman saja. Oleh karena itu kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk tata laksana anosmia karena COVID-19. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut dan lebih besar untuk bukti klinis yang lebih adekuat.
Tonton videonya di sini.