Terapi utama untuk urtikaria akut tanpa komplikasi adalah pemberian antihistamin. Namun, pemberian kortikosteroid juga sering dilakukan oleh klinisi karena dianggap dapat mempercepat resolusi urtikaria dan mencegah rekurensi. Berbagai studi telah dilakukan untuk meneliti efektivitas kortikosteroid dalam tata laksana urtikaria akut dan hasil studi ternyata tampak bertolak belakang dengan kebiasaan praktik yang ada.
Urtikaria adalah kelainan pada kulit berupa plakat yang tampak meninggi dan terasa gatal. Kondisi ini disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel mast. Urtikaria akut sebenarnya bersifat self-limiting dan dapat membaik dengan sendirinya dalam waktu kurang dari 6 minggu. Namun, rasa gatal yang intens sering kali menjadi alasan pasien urtikaria berkunjung ke unit gawat darurat. Kasus urtikaria akut dapat disertai dengan komplikasi seperti angioedema atau disertai anafilaksis.[1,2]
Terapi Utama Urtikaria Akut dengan Antihistamin
Antihistamin H1 generasi kedua seperti cetirizine, levocetirizine, dan loratadine adalah terapi lini pertama untuk pasien urtikaria akut tanpa komplikasi karena efektivitas dan keamanannya yang baik. Antihistamin H1 generasi pertama, seperti diphenhydramine dan chlorpheniramine, memiliki risiko efek samping yang lebih tinggi seperti efek sedatif dan efek antikolinergik.[1,3]
Antihistamin H1 bekerja dengan cara memblokir aktivitas histamin pada reseptor H1 di sel sehingga urtikaria dan rasa gatal berkurang. Apabila pemberian antihistamin H1 generasi kedua tidak memberikan perbaikan gejala, dosis dapat ditingkatkan hingga empat kali lipat dosis normal.[1,3]
Pengaruh Pemberian Kortikosteroid Terhadap Urtikaria Akut
Beberapa studi yang lama menyatakan bahwa pemberian kortikosteroid pada kasus urtikaria akut dapat mempercepat perbaikan gejala dan mengurangi rekurensi. Hal ini menjadi landasan terbitnya guideline dari European Academy of Allergy and Clinical Immunology yang merekomendasi pemberian kortikosteroid oral jangka pendek (hingga 10 hari) pada pasien urtikaria akut. Namun, studi-studi ini memiliki ukuran sampel yang tidak terlalu besar dan beberapa studi bersifat nonrandomized.[1-3]
Suatu studi telah dilakukan oleh Palungwachira et al di Thailand pada 75 pasien untuk membandingkan grup pasien urtikaria akut yang hanya menerima chlorpheniramine intravena saja dengan grup pasien yang menerima tambahan terapi dexamethasone intravena dan tambahan terapi prednison oral.[2]
Hasil menunjukkan bahwa penambahan dexamethasone intravena pada pasien yang telah menerima chlorpheniramine tidak memberikan perbaikan gejala yang lebih signifikan dibandingkan pasien yang hanya menerima chlorpheniramine. Studi ini juga menunjukkan bahwa pemberian prednison oral justru meningkatkan insiden rekurensi urtikaria. Studi ini tidak merekomendasikan pemberian kortikosteroid untuk urtikaria akut tanpa komplikasi seperti angioedema.[2]
Suatu studi lain yang dilakukan oleh Grunau et al pada 2701 pasien juga menyatakan bahwa pemberian kortikosteroid pada pasien dengan reaksi alergi maupun anafilaksis tidak mengurangi angka relapse dalam 7 hari.[5]
Suatu studi lain yang dilakukan Maillet et al pada 184 pasien menyatakan bahwa prevalensi penggunaan kortikosteroid pada kasus urtikaria akut adalah sangat tinggi (sekitar 55%). Studi ini juga menyatakan bahwa pemberian kortikosteroid justru dapat meningkatkan risiko relapse urtikaria akut dalam waktu kurang dari 7 hari.[4]
Studi lain juga dilakukan oleh Barniol et al pada 100 pasien untuk membandingkan manfaat penggunaan kombinasi prednison dan levocetirizine dengan penggunaan levocetirizine saja dalam terapi urtikaria akut. Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan prednison tidak menunjukkan perbaikan gejala yang lebih baik dibandingkan terapi levocetirizine sendiri. Seperti studi oleh Palungwachira et al, studi ini juga tidak menyarankan pemberian kortikosteroid pada kasus urtikaria akut tanpa angioedema.[2,3]
Efek Samping Penggunaan Kortikosteroid
Selain efek samping umum yang telah diketahui tentang kortikosteroid, penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dalam waktu singkat (short course) seperti yang diberikan pada pasien dengan reaksi alergi memiliki potensi untuk menimbulkan hiperglikemia, gejala depresi ringan, kecemasan, dan nekrosis avaskular.[5]
Pemakaian kortikosteroid juga dinyatakan dapat meningkatkan resistensi terhadap obat antihistamin H1. Suatu studi menunjukkan bahwa pasien yang mengalami resistensi antihistamin H1 memiliki riwayat penggunaan kortikosteroid sebelumnya untuk menghilangkan gejala urtikaria. Penggunaan kortikosteroid juga dihubungkan dengan rekurensi urtikaria yang berukuran lebih besar (rebound effect).[6]
Kesimpulan
Penelitian lebih lanjut dengan skala populasi yang lebih besar masih dibutuhkan untuk memastikan efektivitas pemberian kortikosteroid pada terapi urtikaria akut. Namun, bukti yang ada saat ini tidak menyarankan pemberian kortikosteroid pada pasien urtikaria akut tanpa komplikasi seperti angioedema atau tanpa anafilaksis. Pemberian kortikosteroid dinilai tidak memberikan perbaikan gejala yang signifikan dibandingkan pemberian obat antihistamin saja. Selain itu, kortikosteroid memiliki berbagai risiko efek samping yang tentu perlu dipertimbangkan.