Sebanyak 3-30 % penderita pasca stroke akan mengalami epilepsi, sehingga akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien stroke, serta menurunkan kualitas hidup penderita. Karena itu faktor risiko terjadinya epilepsi pasca stroke perlu dipelajari, baik faktor yang berhubungan dengan onset kasus epilepsi baru, serta faktor yang menyebabkan berkembangnya kasus epilepsi refrakter pada penderita pasca stroke. Selain itu, perlu juga dievaluasi pemberian terapi epilepsi pasca stroke, dihubungkan dengan angka mortalitas.[1,3-5]
Stroke merupakan penyebab utama terjadinya epilepsi pada usia dewasa dan usia lanjut, sebanyak 11-25 % kasus epilepsi disebabkan oleh stroke baik iskemik maupun hemoragik. Riset kesehatan dasar Nasional tahun 2018 (RISKESDAS 2018), menyatakan bahwa stroke merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di Indonesia.[2-5]
Epilepsi Pasca Stroke
Secara konseptual, epilepsi merupakan kelainan otak yang ditandai dengan timbulnya bangkitan epileptik, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial. Bangkitan epileptik sendiri secara praktis didefinisikan sebagai dua kali mengalami kejang, terpisah >24 jam. Kejang yang terjadi tidak beralasan (unprovoked), dan bukan suatu refleks.[6]
Berdasarkan etiologi, epilepsi dibagi kedalam tiga kategori, yaitu idiopatik (tidak terdapat lesi struktural di otak dan tidak terdapat defisit neurologis), kriptogenik (dianggap simptomatis tetapi penyebabnya belum diketahui), serta simptomatis (disebabkan kelainan / lesi struktural pada otak). Salah satu penyebab epilepsi simptomatis tersering adalah epilepsi pasca stroke.[6]
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 2010, berdasarkan waktunya, bangkitan pasca stroke dibedakan menjadi:
early post stroke seizure, apabila bangkitan terjadi < 30 hari pasca stroke
late post stroke seizure apabila bangkitan terjadi > 30 hari dari onset stroke[7]
Kedua jenis bangkitan pasca stroke ini penting untuk dibedakan karena berkaitan dengan rekurensi dan perlunya pemberian obat antiepilepsi. Late post stroke seizure mempunyai tingkat rekurensi yang lebih tinggi (berkisar 50%), dibandingkan dengan tingkat rekurensi early post stroke seizure (berkisar 30%).[7]
Patofisiologi Epilepsi Pasca Stroke
Beberapa mekanisme diduga mendasari terjadinya epilepsi pasca stroke yaitu disrupsi sawar darah otak, meningkatnya pelepasan neurotransmiter, disfungsi kanal ion, dan perubahan ekspresi gen.[8,9]
Disrupsi Sawar Darah Otak
Pada disrupsi atau kerusakan sawar darah otak, terjadi influks albumin ke dalam parenkim otak yang akan berikatan dengan reseptor transforming growth factor beta (TGFb) pada astrosit. Astrosit yang teraktivasi oleh ikatan albumin tersebut akan menghambat terjadinya ambilan kalium dan glutamat ke dalam sel sehingga terjadi peningkatan kalium dan glutamat ekstraseluler yang bersifat eksitatorik. Selain itu juga terjadi ekstravasasi trombin yang meningkatkan aktivitas elektrik otak dan memicu bangkitan epilepsi.[8,9]
Meningkatnya Pelepasan Neurotransmiter
Meningkatnya pelepasan neurotransmiter terjadi karena pada sel otak yang mengalami iskemia atau hipoksia terjadi pelepasan glutamat ke ekstraseluler, bersama-sama dengan neurotransmiter lain seperti serotonin dan dopamin. Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik yang bersifat epileptogenik. Pada saat yang bersamaan, jumlah neurotransmiter GABA yang bersifat inhibitorik mengalami penurunan.[8]
Disfungsi Kanal Ion
Disfungsi kanal ion akibat stroke, dapat mengakibatkan peningkatan kalsium dan natrium intraseluler yang menurunkan ambang kejang. Selain itu juga terjadi peningkatan kalium ekstraseluler yang menyebabkan depolarisasi neuron sehingga terjadi bangkitan epilepsi. Terjadi pula penurunan reseptor GABA yang meningkatkan eksitabilitas sel.[8,9]
Perubahan Ekspresi Gen
Perubahan ekspresi gen pasca stroke terkait dengan perubahan pada mekanisme neuroproteksi, plastisitas sinaps, dan regulasi eksitabilitas neuronal, serta pembentukan jaringan parut glial yang bersama-sama memicu epileptogenesis. [8.9]
Faktor Risiko Epilepsi Pasca Stroke
Tidak semua pasien stroke berisiko menderita epilepsi simptomatik pasca stroke. Beberapa faktor risiko potensial terjadinya epilepsi pasca stroke adalah ditinjau dari jenis stroke, lokasi stroke, keparahan stroke, usia pasien, penyakit komorbid, genetik, dan obat-obatan.
Jenis Stroke
Stroke hemoragik, termasuk perdarahan subaraknoid, beresiko lebih tinggi untuk terjadinya epilepsi pasca stroke dibandingkan dengan stroke iskemik. Mekanisme pasti yang menjelaskan masih belum jelas, tetapi diduga deposisi hemosiderin pada parenkim otak akan mengiritasi korteks dan memicu bangkitan epilepsi.[8,10]
Lokasi Stroke
Lesi pada kortikal terutama di area serebri media memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya epilepsi pasca stroke.[1,10]
Keparahan Stroke
Tingkat keparahan stroke dapat dinilai menggunakan National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS). Semakin tinggi nilai NIHSS, maka semakin tinggi tingkat keparahan stroke yang berkorelasi dengan meningkatnya risiko terjadinya epilepsi pasca stroke. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai NIHSS maka semakin luas area otak yang mengalami iskemia, dan kemungkinan keterlibatan korteks serebri semakin besar.[1,10]
Usia Pasien
Penderita stroke usia muda (< 65 tahun) lebih beresiko untuk terjadinya epilepsi pasca stroke[1,10]
Penyakit Komorbid
Penyakit komorbid dibedakan menjadi komorbid intrakranial dan komorbid ekstrakranial. Komorbid intrakranial seperti early post stroke seizure, demensia, penyakit pembuluh darah kecil, meningkatkan risiko terjadinya epilepsi pasca stroke. Komorbid ekstrakranial yang berpotensi meningkatkan risiko epilepsi pasca stroke antara lain hipertensi dan infeksi.[10]
Genetik
Riwayat kejang pada keluarga berkorelasi dengan terjadinya epilepsi pasca stroke. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik mungkin berkontribusi pada proses epileptogenesis.[10]
Obat-obatan
Pada suatu studi terbaru tahun 2019, dikatakan bahwa pasien stroke yang mendapatkan terapi trombolitik dan terapi antikoagulan memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya epilepsi pasca stroke.[1]
Sebuah studi terbaru (2019), mendapatkan hasil bahwa dari 19.138 pasien stroke, 210 pasien (1,1%) berkembang menjadi epilepsi pasca stroke dalam waktu 2 tahun. Kemudian, dari 210 pasien epilepsi pasca stroke tersebut, setelah diikuti sekitar 5 tahun, 27 pasien (12,9%) menjadi refrakter mengonsumsi obat antiepilepsi, dan 97 pasien (46,2%) meninggal karena sebab apapun. Hanya 13 pasien (6,2%) pasien meninggal akibat kondisi terkait stroke, dan tidak ada yang meninggal disebabkan kondisi epilepsinya. Faktor risiko onset epilepsi pasca stroke, dari hasil penelitian ini, adalah usia muda, indeks keparahan stroke yang tinggi, dan pemberian obat trombolisis. Berdasarkan studi tahun 2019 juga diketahui bahwa jenis kelamin perempuan dan usia penderita yang lebih muda merupakan faktor risiko terjadinya epilepsi refrakter yaitu epilepsi dimana penderita tetap mengalami bangkitan walaupun telah mendapatkan 3 macam obat antiepilepsi dengan dosis adekuat selama 18 bulan.[1]
Penatalaksanaan Epilepsi Pasca Stroke
Epilepsi pasca stroke memerlukan penanganan yang optimal, karena kejang berulang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita. Berdasarkan pedoman dari organisasi stroke Eropa, pemberian obat antiepilepsi hanya dianjurkan pada pasien pasca stroke, baik iskemik maupun hemoragik, dengan late post stroke seizure, karena kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dikemudian hari sangatlah tinggi, yaitu mencapai 70%. Sedangkan pada early post stroke seizure, berdasarkan studi, kemungkinan terjadinya rekurensi bangkitan sangatlah rendah, yaitu sekitar 10-20%, sehingga pemberian profilaksis antiepilepsi tidak direkomendasikan. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk merekomendasikan pemberian obat antiepilepsi sebagai profilaksis primer pada pasien pasca stroke. [1,10]
Kesimpulan
Sekitar 3-30 % penderita stroke akan mengalami kejang berulang atau yang dikenal dengan sebutan epilepsi pasca stroke. Epilepsi pasca stroke akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien. Beberapa faktor berperan meningkatkan resiko terjadinya epilepsi pasca stroke antara lain jenis, lokasi dan keparahan stroke, serta komorbid atau penggunaan obat-obatan tertentu pada pasien.
Berdasarkan pedoman dari organisasi stroke Eropa, pemberian obat anti epilepsi hanya dianjurkan pada pasien pasca stroke baik iskemik maupun hemoragik dengan late post stroke seizure. Pemberian obat antiepilepsi sebagai profilaksis belum direkomendasikan pada pasien pasca stroke dengan early post stroke seizure. Menurut International League Against Epilepsy 2010, bangkitan pasca stroke dibedakan menjadi early post stroke seizure bila terjadi < 30 hari pasca stroke, dan late post stroke seizure jika bangkitan terjadi > 30 hari dari onset stroke.