Hemoglobin A1c (HbA1c) telah menjadi penanda kunci dalam manajemen diabetes mellitus tipe 2, tidak hanya dalam diagnosis awal, tetapi juga dalam penilaian prognosis serta deteksi komplikasi yang mungkin timbul. Pada manajemen diabetes mellitus tipe 2, target terapi yang jelas harus ditentukan agar titrasi pengobatan yang tepat bisa dilakukan. Oleh sebab itu, memahami mengenai peranan klinis HbA1c menjadi penting.
Diabetes mellitus telah menjadi permasalahan kesehatan global dengan prevalensi yang semakin meningkat dan perjalanan penyakit yang bersifat kronis. Sebanyak 387 juta penduduk dunia terkonfirmasi menderita diabetes. Data RISKESDAS tahun 2018 mendapatkan prevalensi diabetes nasional adalah 8,5% atau sekitar 20,4 juta penduduk Indonesia.[1-3]
Kontrol glikemik telah menjadi salah satu prediktor penting dalam menilai prognosis dan mortalitas penderita diabetes. Variabilitas glikemik dapat dinilai secara jangka pendek melalui pemeriksaan glukosa mandiri setiap hari, ataupun dinilai secara jangka panjang melalui pemeriksaan kadar HbA1c.
HbA1c adalah hasil dari reaksi gula darah yang tinggi dengan hemoglobin dalam sel darah merah selama siklus hidupnya. Karena siklus hidup sel darah merah berlangsung sekitar 2-3 bulan, kadar HbA1c memberi gambaran rerata gula darah dalam jangka waktu tersebut. Pada tahun 90-an, pemeriksaan HbA1c mulai dikenal sebagai penanda prognosis dan komplikasi terkait diabetes mellitus, selanjutnya American Diabetes Association (ADA) menentukan nilai HbA1c ≥6.5% sebagai salah satu kriteria diagnosis DM.[4-6]
Peran Kadar HbA1c dalam Menandakan Kontrol Glikemik
HbA1c menjadi indikator penting dalam menilai kontrol glikemik pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) karena HbA1c mencerminkan rerata kadar glukosa darah dalam periode waktu sekitar 2-3 bulan terakhir. Dibandingkan dengan pengukuran glukosa darah sewaktu, HbA1c memberi gambaran lebih holistik tentang pengendalian glikemik pasien, memungkinkan evaluasi efikasi regimen pengobatan dan mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.
Pemeriksaan HbA1c harus terstandarisasi secara internasional, sesuai dengan National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP). Menurut pedoman PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia), evaluasi pengendalian DMT2 didasarkan pada hasil pemeriksaan glukosa, HbA1c, dan profil lemak. Secara umum, definisi terkendali baik adalah bila kadar HbA1c mencapai <7%.
Komplikasi DMT2 telah dilaporkan berbanding lurus dengan kadar HbA1c, di mana peningkatan kadar HbA1c akan meningkatkan risiko terjadinya komplikasi, baik mikrovaskular maupun makrovaskular. Kontrol glikemik intensif dan kadar HbA1c <7% dilaporkan berkorelasi dengan penurunan 76% insiden retinopati diabetik, 54% nefropati diabetik, 60% neuropati perifer, dan 35% insiden kardiovaskular. Di sisi lain, kontrol HbA1c ketat juga berhubungan dengan peningkatan kejadian hipoglikemia.[3,4,7]
HbA1c Sebagai Pemeriksaan Diagnostik Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2)
American Diabetes Association merekomendasikan nilai HbA1c ≥ 6.5% sebagai penanda diagnostik DMT2 selain glukosa puasa. Beberapa literatur menyatakan bahwa HbA1c menunjukkan peran yang setara atau lebih superior sebagai pemeriksaan skrining DMT2 dibandingkan glukosa puasa.[1,7]
Kelebihan Pemeriksaan HbA1c
Pemeriksaan HbA1c mampu memberikan penilaian akurat mengenai kontrol glikemik kronis dan berkorelasi baik dengan risiko komplikasi jangka panjang. Maka dari itu, HbA1c menjadi pilihan pemeriksaan untuk pemantauan dan tata laksana diabetes.
Pemeriksaan HbA1c juga tidak membutuhkan puasa sebelumnya dan tidak terbatas pada waktu pengambilan sampel tertentu, sehingga lebih mudah dilakukan bagi pasien. Pemeriksaan HbA1c dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun pada pasien dengan diabetes terkontrol.[1,7]
Keterbatasan Pemeriksaan HbA1c
Pemeriksaan HbA1c juga memiliki keterbatasan, di mana berbagai kondisi yang dapat memperpanjang atau memperpendek umur eritrosit akan mempengaruhi kadar HbA1c. Kondisi yang dapat menyebabkan kadar HbA1c tinggi palsu antara lain anemia defisiensi besi, defisiensi vitamin b12 atau asam folat, hiperbilirubinemia, dan uremia. Kadar HbA1c rendah palsu dapat terjadi pada kondisi anemia hemoragik, anemia hemolitik, dan splenomegali.
Pemeriksaan HbA1c juga tidak reliabel pada penderita hemoglobinopati, gagal ginjal tahap akhir, pasien yang mendapat injeksi eritropoietin, dan uremia. Metode pemeriksaan fruktosamine dan glikasi albumin dapat dilakukan pada penderita DMT2 dengan kondisi tersebut.[1,7]
HbA1c sebagai Pemeriksaan Prognostik Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2)
Penelitian menunjukkan kontrol glikemik intensif mampu menurunkan angka kejadian komplikasi pada penderita DMT2. United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) meneliti selama 10 tahun dan mendapatkan bahwa terapi intensif dengan target HbA1c <7% menghasilkan 25% penurunan komplikasi mikrovaskular dibandingkan terapi konvensional. Penelitian lain juga menunjukkan hasil serupa, yakni penurunan signifikan komplikasi mikrovaskular pada kelompok dengan terapi intensif dibandingkan terapi standar.
Selain itu, pemeriksaan HbA1c bukan hanya bermanfaat sebagai penanda kontrol glikemik jangka panjang, namun juga menjadi prediktor profil lemak yang baik sehingga dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi komplikasi kardiovaskular. Pemeriksaan HbA1c berbanding lurus dengan kadar kolesterol, trigliserida, dan LDL, namun menunjukkan korelasi terbalik dengan HDL.[1,5]
Peningkatan kadar HbA1c telah diidentifikasi sebagai faktor risiko yang signifikan terhadap penyakit kardiovaskular dan stroke pada penderita DMT2. Peningkatan kadar HbA1c sebanyak 1% telah dihubungkan dengan peningkatan 30% risiko kematian akibat apapun dan 40% peningkatan mortalitas akibat penyakit kardiovaskular atau penyakit jantung iskemik. Sementara itu, penurunan kadar HbA1c sebanyak 0,2% berhubungan dengan penurunan risiko mortalitas sebesar 10%.
Suatu penelitian bahkan menunjukkan bahwa kontrol glikemik pasien DMT2 lebih penting dibandingkan pengobatan dislipidemia itu sendiri sebagai langkah preventif terhadap komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular.[1]
HbA1c dan Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2)
Sebuah studi meneliti mengenai hubungan antara kontrol glikemik dengan angka terjadinya komplikasi DMT2 selama 5 tahun. Kelompok dengan kontrol glikemik baik HbA1c <7% menunjukkan risiko rendah terdiagnosis penyakit kardiovaskular (24%), penyakit metabolik (63%), neuropati (38%), nefropati (19%), dan penyakit vaskular perifer (48%). Kadar HbA1c <7% juga dilaporkan berkorelasi signifikan terhadap rendahnya angka kejadian neuropati dan nefropati.[5,8]
Penelitian juga menunjukkan bahwa kadar HbA1c <7% secara signifikan menurunkan kemungkinan terdiagnosis dengan 2 komplikasi utama makrovaskular, yaitu penyakit kardiovaskular dan vaskular perifer. Temuan ini juga sesuai dengan penelitian berjangka waktu 10 tahun yang dilakukan oleh UKPDS yang menunjukkan penurunan angka kejadian infark miokard pada pasien dengan terapi intensif.
Dalam studi lain yang melibatkan 217.174 pasien DMT2 di Swedia, dilaporkan bahwa kadar HbA1c di luar rentang target (HbA1c ≥ 7%) merupakan prediktor kuat terhadap stroke dan infark miokard akut. Studi lain melaporkan hal serupa, yang mana kadar HbA1c ≥ 7,5% dilaporkan menghasilkan peningkatan risiko signifikan terhadap angka kejadian stroke iskemik, penyakit jantung koroner, maupun penyebab kematian apapun dibandingkan dengan kadar HbA1c <5,5%.[1,2,5]
Kesimpulan
Pemeriksaan HbA1c mampu menilai kontrol glikemik secara retrospektif dan dalam jangka waktu panjang (2-3 bulan). Pemeriksaan ini memiliki ketersediaan yang luas, tidak memerlukan puasa atau persiapan khusus sebelum pemeriksaan, dan dapat dilakukan dalam interval yang lebih lama antar pemeriksaan sehingga mengurangi keperluan pemeriksaan yang sering.
Kadar HbA1c yang tampaknya adekuat menjadi target terapi adalah HbA1c kurang dari 7%. Kadar ini telah dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik dan tingkat komplikasi, baik mikrovaskular maupun makrovaskular, yang lebih rendah sehingga akan meningkatkan luaran pasien sembari juga menurunkan kebutuhan biaya perawatan medis (healthcare cost).