Hendaya kognitif ditemui pada gangguan mood baik pada gangguan depresi mayor (major depressive disorder/MDD) maupun gangguan bipolar (bipolar disorder/BD).(1-4) Hendaya kognitif baik global maupun selektif tetap terjadi pada 50-70% pasien-pasien gangguan mood yang telah mengalami remisi.[2,5]
Pasien dengan gangguan bipolar (BD) nampak memiliki hendaya kognitif yang lebih berat dibandingkan pasien dengan MDD, walaupun belum ada penelitian yang membandingkan kedua kondisi ini secara langsung. Adapun beberapa hal yang mempengaruhi fungsi kognitif pada pasien gangguan mood berupa gejala gangguan, perjalanan penyakit, riwayat psikosis dan kondisi komorbid.[3]
Evaluasi gejala kognitif dalam praktik sehari-hari kerap terlewat walaupun memasukkan gejala kognitif sebagai salah satu target terapi.[3] Di sisi lain, hendaya kognitif menjadi mediator utama terjadinya disabilitas dan hendaya psikososial.[6] Hal ini berdampak pada perburukan keseluruhan fungsi pasien, termasuk perburukan kualitas hidup, tingkat stres yang lebih tinggi, penurunan fungsi akademik, dan fungsi okupasional.[1-5]
Mekanisme Terjadinya Hendaya Kognitif pada Gangguan Mood
Hendaya kognitif merupakan salah satu gejala pada gangguan mood dan merupakan gejala yang terpisah dari gejala mood.[1-4,6,7] Gejala kognitif sudah ditemui pada awal perjalanan penyakit sebelum munculnya gejala mood dan pada beberapa pasien tetap bertahan meskipun gejala mood telah mengalami remisi.[2,3,5[ Mekanisme utama terjadinya hendaya kognitif pada gangguan mood belum sepenuhnya dipahami.[6,7]
Gangguan Mood Dipengaruhi oleh Disfungsi Aktivitas Otak
Sebuah metaanalisis mengamati kaitan cognitive reappraisal dengan regulasi emosi. Cognitive reappraisal dinilai menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI). Metaanalisis tersebut melibatkan 13 penelitian dengan jumlah total 247 pasien (dengan gangguan mood atau gangguan cemas) dan 262 kontrol sehat. Hasil penelitian menunjukkan kelompok pasien menunjukkan regulasi fronto-parietal network (yang berperan pada proses cognitive reappraisal) yang lebih rendah dibandingkan kelompok pasien. [7]
Sebaliknya pada kelompok pasien terjadi peningkatan aktivasi di regio yang berkaitan dengan pengalaman emosional, seperti insula, serebelum, girus oksipital inferior dan girus oksipital presentral. Peningkatan aktivitas juga terjadi pada regio yang berdampak pada mekanisme kompensasi seperti girus supramarginal dan lobus parietal superior. Penelitian ini membuktikan terdapat disfungsi aktivitas otak dalam proses cognitive reappraisal yang terjadi pada pasien dengan gangguan mood maupun gangguan cemas.[7]
Gangguan Mood Dipengaruhi oleh Gangguan Metabolik
Teori lain menyebutkan bahwa adanya gangguan metabolik dan gangguan inflamasi yang menyertai gangguan mood. Gangguan ini mengakibatkan perubahan struktur, fungsi, dan komposisi neurokimiawi Sistem Saraf Pusat (SSP). Perubahan struktur ini yang diimplikasikan sebagai hendaya kognitif.[6,8,9]
Perubahan metabolik juga diamati terjadi pada orang dewasa dengan berat badan normal yang mengalami gangguan mood. Hiperglikemia dan hiperinsulinemia dilaporkan mempengaruhi jaras yang mengatur proses neuroplastisitas.(6,9,10) Ketidakseimbangan regulasi neurohormonal dan sistem terkait (misalnya sistem oksidasi, jalur imunoinflamasi, fungsi serta aktivitas glukokortikoid) dapat mempengaruhi perubahan pro-apoptotic intracellular signaling cascade sehingga menyebabkan terjadinya kematian sel neuron atau sel glial. Kondisi ini ditandai dengan penurunan neurokognitif.[6,8]
Kerusakan yang luas dan kompleks dari struktur regional kortikal dan subkortikal, serta connective pathway juga mungkin berperan dalam proses terjadinya hendaya kognisi sosial. Jaras untuk fungsi sosial bervariasi tergantung aktivitas yang dilakukan namun secara umum mencangkup region limbik (termasuk di antaranya amigdala), korteks prefrontal (PFC), dan temporoparietal junction (termasuk diantaranya singulat anterior dan korteks insular).[11,12]
Ranah Hendaya Kognitif
Berdasarkan defisit yang dialami, tampak defisit yang dialami pasien dengan BD lebih berat dibandingkan pada pasien MDD. Defisit pada kemampuan atensi dan kontrol inhibisi nampak pada pasien remisi yang mengalami gejala manik sebelumnya.[3]
Pasien remisi dengan BD juga memiliki defisit fungsi eksekutif dan hendaya atensi yang tidak nampak pada pasien remisi dengan MDD.[3,13] Selain itu pada pasien remisi dengan BD melaporkan hasil tes yang lebih buruk pada ranah memori verbal, set-shifting, dan kontrol inhibisi. Di sisi lain pada tes yang sama pasien remisi dengan MDD hanya melaporkan hendaya di ranah set-shifting.[3]
Gangguan jiwa seperti spektrum autisme, skizofrenia, gangguan cemas, gangguan mood maupun gangguan neurologis lainnya juga menunjukkan adanya hendaya kognisi sosial. Kognisi sosial merupakan proses yang membantu seseorang untuk memahami bagaimana orang lain berpikir atau perasaan yang dirasakan oleh orang lain. Hendaya dalam ranah ini akan menyebabkan ketidakmampuan seseorang berempati, melakukan komunikasi yang sesuai dan interaksi sosial.[11,12]
Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Kognitif pada Pasien dengan Gangguan Mood
Fungsi kognitif pasien dengan gangguan mood dipengaruhi beberapa faktor seperti usia awitan, riwayat psikotik, efek gejala mood, perjalanan penyakit, dan komorbiditas.
Usia Awitan
Data penelitian juga menunjukkan gejala hendaya kognitif pada kelompok pasien pediatrik dengan BD memiliki ranah gangguan kognitif yang sama dengan pada kelompok pasien dewasa.[3,14] Sementara pada pasien dengan MDD, pasien lansia dilaporkan memiliki hendaya yang lebih berat pada memori verbal, kecepatan memproses informasi dan fungsi eksekutif. [15]
Ketebalan lapisan kortikal juga dipengaruhi oleh usia awitan MDD. Pasien dengan usia awitan yang lebih awal akan mengalami penipisan yang lebih dominan dibandingkan yang mengalami onset di usia lebih lanjut.[3,15]Hal ini disebabkan oleh otak pada usia awal lebih sensitif terhadap peningkatan perubahan sitokin yang terjadi pada gangguan mood.[15]
Riwayat Psikotik
Riwayat adanya gejala psikotik berkaitan dengan hendaya yang lebih berat di fungsi visuospasial, atensi, memori kerja, kecepatan psikomotor, fungsi eksekutif, dan memori dibandingkan pada pasien tanpa gejala psikotik.[3,16,17)\]
Efek Gejala Mood dan Perburukan Gejala Kognitif
Hendaya ranah pembelajaran dan memori pada pasien BD dilaporkan baik pada kelompok yang bergejala dan eutimik, termasuk saat mengalami remisi gejala mood.[3,14] Sementara pada MDD perbaikan mood diikuti dengan perbaikan hendaya pembelajaran dan memori verbal.[3]
Perjalanan Penyakit
Semakin lama perjalanan gangguan mood yang diderita berkorelasi khususnya dengan perburukan pada ranah memori. Data yang ada menunjukkan pada pemantauan pasien BD dan MDD yang teratur berobat selama 1 tahun nampak adanya perbaikkan gejala kognitif walaupun hendaya tersebut masih bersifat persisten.[3]
Komorbiditas
Abnormalitas metabolik (seperti gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin, peningkatan viseral adiposit, dislipidemia dan tekanan darah tinggi) berkaitan dengan fungsi eksekutif yang lebih buruk baik pada individu yang sehat maupun yang mengalami gangguan mood. Pada orang dengan gangguan mood juga dilaporkan mengalami gejala disfungsi neurokognitif yang lebih buruk pada kondisi overweight maupun obesitas dibandingkan dengan yang memiliki berat badan normal.[6,10]
Instrumen Pengukuran Hendaya Kognitif pada Pasien Gangguan Mood
Hingga saat ini belum ada instrumen neuropsikologis yang ditetapkan sebagai standar untuk mengukur hendaya kognitif pada pasien dengan gangguan mood. Instrumen yang digunakan biasanya merupakan adopsi dari instrumen yang mengukur ranah kognitif utama. The Brief Assessment of Cognition in Affective Disorder (BAC‐A) dikembangkan berdasarkan laporan-laporan mengenai ranah kognitif utama yang mengalami hendaya pada pasien dengan gangguan mood.[3]
Tes BAC-A mencangkup penilaian fungsi memori, kecepatan memproses informasi, memori kerja, kemampuan penalaran, kemampuan penyelesaian masalah dan kemampuan memproses afektif.[3,18] Sementara dampak perubahan kognitif terhadap fungsi sehari-hari tidak serta merta dapat diukur dengan BAC-A termasuk perubahan perilaku dan fungsi kognitif sosial.[3]
Rekomendasi Tata Laksana Gangguan Mood
Hingga saat ini belum ada konsensus yang mengatur ketentuan kapan dilakukan pengukuran fungsi kognitif, alat ukur yang digunakan serta terapi yang direkomendasikan untuk hendaya kognitif pada gangguan mood. Pengukuran dan alat ukur yang digunakan masih sebatas untuk kepentingan penelitian. [6]
Adapun modalitas terapi yang ada baru berupa hasil penelitian yang menunjukkan respons positif. Beberapa diantaranya berupa intervensi nonpsikofarmaka seperti program remediasi kognitif, olahraga, dan pemberian suplemen dan pemberian psikofarmaka seperti antidepresan, mood stabilizer, inhibitor asetilkolin dan agen-agen baru lainnya.[2,3] Data lain juga menunjukkan bahwa hanya pemberian psikofarmaka untuk gangguan mood (seperti antipsikotik, antidepresan, atau mood stabilizer) tidak serta-merta memperbaiki gejala kognitif walaupun terjadi remisi dari gejala mood.[6]
Antidepresan
Penggunaan antidepresan pada pasien MDD tanpa gejala psikotik dilaporkan dapat meningkatkan fungsi kognitif, walaupun masih terdapat data yang tidak konsisten. Adapun penggunaan antidepresan golongan baru yaitu vortioxetin menunjukkan data perbaikkan kognitif yang lebih baik dibandingkan golongan lain.[3,19]
Mood Stabilizer
Penggunaan litium pada pasien BD yang berespons dengan litium menunjukkan waktu memproses informasi yang lebih panjang, walaupun tidak menunjukkan penurunan di ranah pembelajaran dan memori verbal. Lamotrigin dikatakan tidak memperburuk fungsi kognitif, sementara asam valproat dan karbamazepin menimbulkan perburukan fungsi kognitif.[3,20]
Antipsikotika atipikal sendiri memiliki efek perburukan kognitif yang lebih dibandingkan litium dan antikonvulsan. Namun, keseluruhan data tersebut merupakan hasil dari data penelitian yang berkualitas buruk (seperti jumlah sampel kecil, heterogen dan berisiko terjadinya bias) sehingga diperlukan pertimbangan yang lebih menyeluruh dalam mengambil keputusan terapeutik.[3,20]
Asetilkolinesterase Inhibitor
Pemberian terapi adjunctive galantamin pada pasien MDD dikatakan mampu meningkatkan skor penilaian fungsi kognitif. Adapun jika dibandingkan kelompok kontrol, tidak nampak perbedaan yang bermakna secara statistik.(3)
Insulin Intranasal
Pemberian terapi adjunctive insulin intranasal selama 8 minggu pada pasien BD menunjukkan perbaikkan fungsi eksekutif jika dibandingkan kelompok yang mendapat plasebo. Fungsi eksekutif diukur menggunakan Trial Making Test-Part B (TMT-B). Perbaikkan ini tidak berkaitan dengan perubahan gejala mood.(3,9) Namun, belum ada data yang menentukan keamanan penggunaan insulin intranasal jangka panjang.[21]
Terapi hormonal
Sebuah telaah sistematis menganalisis 12 penelitian yang meneliti respons obat yang bekerja pada aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) dan sex steroid terhadap kognitif pasien dengan MDD atau BD. Obat yang termasuk dalam penelitian ini antara lain obat yang bekerja pada HPA (seperti mifepristone; inhibitor sintesis kortisol (ketoconazole); dehydroepiandrosterone; fludrocortisone) dan sex steroid (seperti estradiol; selective estrogen receptor modulator (raloxifene); pregnenolone). Hasil yang positif pada penderita BD berupa penggunaan mifepristone; dan pada MDD berupa penggunaan dehydroepiandrosterone serta fludrocortisone.[22]
Remediasi Kognitif (CR)
Data penggunaan remediasi kognitif (CR) menunjukkan perbaikan fungsi kognitif termasuk pada gangguan mood. Perbaikkan juga terjadi pada fungsi keseharian, okupasional dan psikososial. Rata-rata penelitian melibatkan CR yang dilakukan selama 10 minggu dengan effect size sedang (0.44) hingga besar (>0.9) dari skor kumulatif pre dan pasca CR. Namun, hingga saat ini belum ada standar yang menentukan durasi, jenis CR dan aplikasi secara klinis.[3,23]
Olah Raga
Perbaikan fungsi kognitif dengan bantuan olahraga pada penderita gangguan mood belum sepenuhnya dipahami. Namun terdapat data yang menunjukkan olahraga berkaitan dengan perbaikkan gejala depresi pada pasien MD dan intense circuit training pada pasien BD berkaitan dengan peningkatan memori, kecepatan memproses informasi serta perbaikkan gejala depresi.[3,24]
Terapi Stimulasi
Data penelitian menunjukkan terapi transcranial magnetic stimulation (rTMS) pada kelompok pasien dengan BD maupun MDD menunjukkan penggunaan rTMS sama-sama meningkatkan fungsi kognitif. Pemberian rTMS dilakukan bersamaan pemberian psikofarmaka.[3,25,26]
Kesimpulan
Hendaya kognitif terjadi pada penderita gangguan mood dan merupakan gejala tersendiri yang tidak berkaitan dengan gejala mood.Hendaya ini sudah ada bahkan sebelum timbulnya gejala mood dan sekitar 50-70% bersifat menetap walaupun telah mengalami remisi gejala mood.
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti mekanisme penyebab terjadinya hendaya kognitif pada gangguan mood, adapun dugaan terbesar akibat disfungsi aktivitas otak, kerusakan struktur otak akibat mekanisme inflamasi maupun gangguan metabolik.
Ranah hendaya kognitif yang terjadi pada gangguan mood mencangkup gangguan fungsi eksekutif, atensi, memori verbal, set-shifting, kontrol inhibisi, dan kognisi sosial.Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hendaya kognitif yang lebih buruk seperti usia awitan yang lebih muda, riwayat gejala psikosis, keparahan gejala mood, durasi gangguan yang lebih panjang dan komorbiditas dengan penyakit metabolik.
Hingga saat ini belum ada rekomendasi standar pemeriksaan dan tatalaksana terhadap hendaya kognitif. Walaupun data yang ada menunjukkan standar terapi psikofarmaka untuk mengatasi gangguan mood (antipsikotika, antidepresan, atau mood stabilizer) dapat memperbaiki gejala mood walaupun tidak turut memperbaiki gejala kognitif. Adapun beberapa penelitian yang menunjukkan hasil positif berupa tambahan psikofarmaka (vortoxetin, galantamin, insulin intranasal, mifepristone, dehydroepiandrosterone, serta fludrocortisone) dan non-psikofarmaka (CR, olah raga dan rTMS).