Penanganan pasien dengan pikiran dan perilaku bunuh diri memiliki tantangan tersendiri. Hal ini karena dibutuhkan kemampuan untuk memperkirakan tingkat risiko, memutuskan pendekatan terbaik, dan mempertimbangkan kemungkinan melukai diri sendiri ataupun orang lain. Bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar kedua di dunia pada kelompok umur 15-29 tahun. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa bila ada satu pasien berhasil bunuh diri maka ada setidaknya 20 orang yang melakukan percobaan meskipun gagal.[1]
Tantangan dalam Penanganan Pasien Bunuh Diri
Penanganan pasien dengan risiko bunuh diri cukup rumit. Hal ini karena banyak pasien dengan risiko bunuh diri tidak menunjukkan gejala gangguan psikiatri berat atau menyatakan keinginan atau ide bunuh diri. Kurang lebih 10% pasien yang datang ke UGD mempunyai ide atau perilaku bunuh diri, tapi tidak mengatakannya kecuali bila ditanya.
Langkah pertama pada pasien adalah evaluasi klinis untuk menilai tingkat risiko. Evaluasi dilakukan dengan wawancara langsung dengan pasien dan keluarganya, bila diperlukan juga bisa dilakukan pemeriksaan dengan instrument.[2,3]
Penanganan pada pasien dengan perilaku bunuh diri bisa dilakukan di IGD, bangsal rawat inap, ataupun penanganan rawat jalan. Pemilihan penanganan disesuaikan dengan tingkat risiko dan dukungan dari lingkungan yang dimiliki oleh pasien. Prinsip dasar penanganan bunuh diri adalah menjaga keselamatan pasien dan mengatur akses ke barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri. Selain itu, dukungan sosial merupakan komponen penting untuk mencegah kekambuhan. Pasien dengan perilaku bunuh diri sebaiknya menjalani pemantauan rutin, baik oleh keluarga maupun petugas medis.[2–4]
Penilaian Risiko Bunuh Diri
Penanganan bunuh diri yang paling baik adalah dengan pencegahan. Perlu ditegaskan bahwa tujuan penilaian risiko bunuh diri bukan untuk memprediksi kemungkinan perilaku bunuh diri, melainkan untuk mencegah timbulnya perilaku bunuh diri.[2,3] Berbeda dengan pendapat awam, studi menunjukkan bahwa menanyakan mengenai ide atau rencana bunuh diri tidak meningkatkan risiko perilaku bunuh diri pada pasien. Sebaliknya, hal ini akan bermanfaat karena bisa mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami kematian karena perilaku bunuh diri.[2,4]
Penilaian risiko bunuh diri sebaiknya dilakukan pada semua pasien dengan gangguan mental, termasuk depresi atau penyalahgunaan zat (misalnya alkohol), serta pada pasien dengan perilaku atau riwayat self harm. Penilaian dilakukan dengan wawancara dan dapat dibantu dengan menggunakan instrumen seperti Patient Health Questionnaire–9 (PHQ-9) dan Columbia Suicide Severity Rating Scale (C-SSRS).[3]
Penentuan tingkat risiko harus didasarkan pada pemeriksaan langsung terhadap pasien dan bukan hanya berdasarkan hasil pemeriksaan instrumen. Instrument sebaiknya hanya digunakan sebagai penunjang saja.[1]
Dasar-Dasar Penanganan Pasien Bunuh Diri
Ketika pasien dengan perilaku bunuh diri datang ke klinik atau UGD, maka yang harus dilakukan dokter triase adalah melakukan evaluasi secara komprehensif, menentukan tingkat risiko, dan konsultasi dengan spesialis bila diperlukan. Apabila pasien memiliki kegawatdaruratan fisik, maka hal tersebut harus diatasi terlebih dahulu. Misalnya dengan pemberian cairan melalui akses intravena pada pasien yang mengalami syok hemoragik, ataupun pemberian antidotum pada pasien intoksikasi.
Manajemen awal perilaku bunuh diri adalah dengan membantu pasien untuk meredakan kesakitan emosional yang dialami dengan pendekatan empatik dan berpusat pada pasien. Misalnya dengan menyediakan kebutuhan pasien dan membuat pasien merasa nyaman.[2] Komunikasi yang hangat dan tanpa prasangka (non-judgmental) merupakan komponen yang penting. Sebagian besar pasien dengan perilaku bunuh diri mengatakan bahwa mereka hanya ingin didengarkan tanpa penilaian negatif.[1]
Peran Keluarga dan Safety Plan Intervention
Manajemen perilaku bunuh diri sebaiknya direncanakan dengan melibatkan pasien dan keluarga. Keluarga berperan dalam monitoring perilaku pasien dan menyingkirkan benda-benda yang bisa digunakan untuk bunuh diri (misalnya senjata tajam atau obat-obatan). Sebaiknya fasilitas kesehatan juga mempunyai satu kontak untuk monitoring gejala pada pasien,[1-3]
Intervensi yang dilakukan pada pasien dengan perilaku bunuh diri saat ini bergeser dari “no harm/suicide contract” menjadi “safety plan intervention”. Dahulu, pada pasien dengan perilaku bunuh diri, akan dilakukan edukasi agar pasien tidak lagi melakukannya (no harm/suicide), namun hal ini dikatakan kurang efektif. Pada safety plan intervention, pasien diminta merencanakan apa yang sebaiknya dia lakukan bila keinginan bunuh diri muncul lagi, termasuk siapa yang harus dihubungi dan fasilitas kesehatan mana yang sebaiknya didatangi.[5,6]
Penanganan di Unit Gawat Darurat
Pasien yang sedang dievaluasi untuk ide atau perilaku bunuh diri di UGD sebaiknya tidak meninggalkan ruangan sampai proses evaluasi selesai dilakukan. Pasien sebaiknya ditempatkan di ruangan terpisah dan tidak terdapat akses ke benda-benda yang bisa digunakan untuk bunuh diri (misalnya benda tajam, tali, atu obat). Lakukan monitoring secara kontinu.
Sebaiknya tidak dilakukan restriksi fisik karena bisa menjadi trauma sekunder bagi pasien dan mengganggu rapport. Pendekatan diawali dengan de-eskalasi verbal dan bila dibutuhkan dapat diberikan obat sebagai chemical restraint.[2,4]
Tindakan Pencegahan Keselamatan
Untuk keamanan, maka ruangan yang digunakan untuk evaluasi pasien harus memenuhi persyaratan dan protokol keamanan berikut:
- Mempunyai fasilitas untuk mencegah pasien melarikan diri atau memecahkan jendela, misalnya dengan adanya personil keamanan atau area pemeriksaan bisa dikunci
- Pasien yang sedang mengalami agitasi atau agresif sebaiknya dikendalikan dengan obat
- Menyingkirkan semua barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri (misalnya untuk gantung diri, mencekik, benda tajam) atau lokasi-lokasi tempat tali bisa digantungkan
- Menyingkirkan benda-benda yang bisa digunakan untuk bunuh diri pada diri pasien (misalnya ikat pinggang, korek, benda dari kaca)
- Pasien yang mendapatkan penanganan medis (misalnya infus, oksigenasi) yang alatnya bisa digunakan untuk bunuh diri mendapatkan pengawasan
- Membatasi akses ke lokasi berbahaya (misalnya balkon, jendela kaca, lemari linen, sambungan listrik)[4]
Farmakoterapi
Farmakoterapi dapat dipertimbangkan untuk menenangkan pasien, misalnya pada pasien yang menunjukkan agresi dan tidak dapat ditenangkan secara verbal. Contoh obat yang dapat digunakan adalah haloperidol, chlorpromazine, diazepam, lorazepam, dan promethazine. Meski demikian, dalam pemilihan obat dan dosis, dokter perlu memikirkan kemungkinan efek samping, termasuk sindrom ekstrapiramidal dan sedasi berlebihan.[9]
Indikasi Rawat Inap pada Pasien Bunuh Diri
Pasien dengan risiko tinggi untuk melakukan bunuh diri diindikasikan untuk menjalani rawat inap. Kriteria yang termasuk pasien dengan risiko tinggi adalah:
- Intensitas pikiran, rencana, atau keinginan bunuh diri yang semakin meningkat atau persisten
- Melakukan percobaan bunuh diri yang gagal atau batal
- Mengambil tindakan atau melakukan rencana agar tidak ditemukan atau tidak bisa diselamatkan
- Pasien laki-laki, usia di atas 45 tahun, dengan onset baru gangguan mental atau pikiran bunuh diri
- Pasien dengan gejala psikotik atau halusinasi yang memerintahkan untuk bunuh diri
- Mempunyai dukungan sosial yang kurang atau terbatas
- Pasien yang mengalami perubahan mental karena penyebab metabolik, toksik, infeksi atau etiologi lain yang membutuhkan monitoring
- Kecemasan, agitasi, atau gangguan yang berat
- Tidak kooperatif atau tidak mampu mengikuti anjuran manajemen rawat jalan
- Membutuhkan monitoring untuk terapi obat[4]
Indikasi Pulang dari Unit Gawat Darurat atau Rawat Inap
Perilaku bunuh diri seringkali merupakan respon terhadap stressor yang berlangsung mendadak, secara impulsif, dan mereda seiring waktu. Oleh karenanya, terdapat kondisi dimana pasien tidak perlu dirawat inap dan diperbolehkan pulang dari UGD atau setelah rawat inap beberapa waktu.
- Perilaku bunuh diri dipicu oleh reaksi terhadap kejadian yang jelas (misalnya gagal ujian atau masalah dengan pasangan), khususnya bila pandangan pasien mengenai masalah tersebut telah menjadi lebih adaptif.
- Rencana atau metode untuk bunuh diri mempunyai risiko kematian yang rendah
- Pasien mempunyai situasi kehidupan yang stabil dan suportif
- Pasien mau mengikuti rekomendasi untuk kontrol dan terapi teratur[2,4]
Saat memulangkan pasien, dokter perlu memberikan instruksi untuk mencari bantuan dan nomor kontak jika terjadi kejadian yang membutuhkan bantuan segera. Selain itu, sebelum dipulangkan, pasien dan keluarga perlu mendapatkan edukasi mengenai tanda bahaya dan rencana follow up. Pasien dengan perilaku bunuh diri sebaiknya segera kontrol pasca pulang karena hari-hari pertama pasca pemulangan merupakan waktu risiko tinggi berulangnya perilaku. Keluarga juga diedukasi untuk membatasi akses ke barang-barang berbahaya yang bisa digunakan untuk bunuh diri.[2,5]
Indikasi Rawat Jalan pada Pasien Bunuh Diri
Beberapa pasien dengan perilaku bisa dirawat dengan rawat jalan dan hal ini lebih menguntungkan bagi pasien. Pasien yang dinilai mempuyai tingkat risiko rendah dan bisa dilakukan rawat jalan adalah pasien yang melakukan perilaku bunuh diri tanpa rencana sebelumnya atau tanpa keinginan untuk mati, tanpa riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya, tanpa gangguan jiwa, dan tanpa agitasi atau iritabilitas. Secara garis besar, pasien bunuh diri yang bisa dirawat jalan adalah pasien dengan:
- Pasien dengan gangguan kepribadian ambang yang mempunyai perilaku bunuh diri kronis, tapi tidak mengalami eksaserbasi akut
- Pasien dengan ide bunuh diri kronis tapi tidak mempunyai intensi
- Menyakiti diri sendiri (self harm) tanpa percobaan sebelumnya
- Mempunyai lingkungan atau keluarga yang suportif dan perawatan psikiatri yang memadai
- Pasien yang melakukan self harm tapi tanpa intensi untuk mengakhiri hidup dan percobaan yang dilakukan mempunyai tingkat letalitas rendah, misalnya sayatan superfisial atau membakar kulit[2,4]
Protokol Pemantauan Pasien Bunuh Diri
Pasien dengan perilaku bunuh diri, baik yang ditangani di UGD, rawat inap, maupun yang dipulangkan, sebaiknya mendapatkan monitoring dan follow up secara rutin. Follow up rutin terbukti menurunkan kecenderungan perilaku bunuh diri berulang, terutama pada 6 bulan pertama pasca percobaan bunuh diri.[7]
Salah satu protokol yang bisa digunakan untuk melakukan pemantauan adalah collaborative assessment and management of suicidality (CAMS). Protokol ini menggunakan Suicide status form (SSF) untuk melakukan penilaian, perencanaan manajemen, pelacakan, dan luaran klinis yang serbaguna.[5]
Pada follow up, gangguan mental komorbid yang menyertai perilaku bunuh diri yang telah teridentifikasi sebelumnya atau yang ditemukan setelahnya juga sebaiknya mendapatkan penanganan yang memadai. Manajemen gangguan mental dengan baik terbukti menurunkan risiko berulangnya perilaku bunuh diri.[8]
Kesimpulan
Bunuh diri merupakan salah satu penyebab kematian terbesar. Manajemen untuk pasien dengan perilaku bunuh diri diawali dengan penilaian komprehensif untuk menilai tingkat risiko perilaku bunuh diri. Apabila terdapat kegawatdaruratan fisik, seperti intoksikasi atau syok hemoragik, maka hal tersebut harus diatasi terlebih dahulu.
Empat komponen dasar yang penting manajemen pasien dengan perilaku bunuh diri adalah komunikasi yang empatik, pengaturan keamanan bagi pasien, membatasi akses ke barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri, dan dukungan sosial. Manajemen pasien dengan perilaku bunuh diri bisa dilakukan di UGD, rawat inap, maupun rawat jalan sesuai dengan tingkat risiko pada pasien.Perencanaan pemantauan dan janji temu juga sangat penting untuk pengelolaan risiko bunuh diri dalam jangka panjang.
Penulisan pertama oleh: dr. Immanuel Natanael Tarigan