Resusitasi cairan adalah modalitas tatalaksana utama pada syok hipovolemik. Cairan yang digunakan di Indonesia umumnya adalah kristaloid, tetapi terdapat kepercayaan bahwa koloid lebih baik karena akan berada di intravaskular lebih lama dibandingkan kristaloid.
Syok hipovolemik merupakan keadaan yang mengancam nyawa. Syok hipovolemik dapat timbul akibat perdarahan, diare, kondisi luka bakar yang berat, dan kehilangan cairan third space karena inflamasi misalnya pada sepsis atau pankreatitis.[1] Syok hipovolemik didefinisikan sebagai penurunan volume intravaskuler yang menimbulkan penurunan perfusi jaringan. Kondisi syok hipovolemik ditandai dengan hipotensi, hipoperfusi atau hipoksia jaringan, dan indeks jantung yang rendah. Keadaan syok hipovolemik yang tidak ditangani dengan tepat dapat mengakibatkan kerusakan seluler yang berujung kepada kegagalan multiorgan dan kematian.[2,3]
Sekilas Mengenai Cairan Resusitasi
Penanganan syok hipovolemik salah satunya adalah dengan melakukan resusitasi cairan. Resusitasi cairan akan menambah volume cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan hingga penyebab syok teratasi.
Kristaloid adalah larutan yang bersifat permeabel, sebagian besar mengandung ion elektrolit seperti natrium dan klorida. Koloid merupakan suspensi molekul yang relatif tidak dapat menembus lapisan semipermeable vaskuler karena berat molekulnya yang tinggi.[4]
Cairan kristaloid dapat dibagi menjadi 2 yakni isotonik (misalnya cairan salin normal dan ringer laktat) dan hipertonik (misalnya NaCl 3%). Kristaloid dapat pula dibagi menjadi cairan buffered misalnya Ringer laktat, asetat, dan maleat atau cairan nonbuffered yakni cairan salin normal.
Cairan koloid terbagi atas cairan hipoonkotik seperti gelatin, albumin 4% atau 5% dan hiperonkotik seperti dekstran, hydroxyethyl starches (HES), dan albumin 20% atau 25%.[3]
Penggunaan Cairan pada Syok Hipovolemik
Cairan resusitasi yang ideal adalah cairan yang dapat mempertahankan volume intravaskuler dan dikontrol penggunaannya, memiliki komposisi mirip dengan komposisi cairan ekstraseluler, dimetabolisme secara sempurna, tidak menumpuk di jaringan, tidak menimbulkan efek samping sistemik, dan cost-effective. Namun, cairan ideal ini belum ada hingga sekarang.[4] Cairan resusitasi pada syok hipovolemik yang paling banyak digunakan dan paling murah adalah cairan salin normal, walaupun kristaloid ini belum memenuhi semua kriteria cairan resusitasi yang ideal.[2]
Kebanyakan algoritma resusitasi cairan sebagai penanganan syok hipovolemik di berbagai negara juga masih menggunakan kristaloid sebagai penanganan awalnya.[5,6] Pada syok hipovolemik akibat perdarahan, dibutuhkan cairan kristaloid sebanyak 3 kali (2-4 kali) lipat volume darah yang hilang untuk menggantikan volume intravaskuler. Sedangkan jika menggunakan cairan koloid hanya dibutuhkan volume sejumlah volume darah yang hilang.[3,7,8]
Memilih antara Kristaloid atau Koloid
Kontroversi dalam memilih antara kristaloid atau koloid untuk digunakan pada penanganan syok hipovolemik sudah terjadi sejak beberapa dekade lalu. Kristaloid atau koloid keduanya berfungsi untuk mempertahankan atau menambahkan volume intravaskuler.
Pada kondisi hipovolemik, cairan koloid bertahan lebih lama di dalam vaskuler dibandingkan dengan cairan kristaloid yang segera berpindah ke jaringan interstisial. Hal ini membuat resusitasi cairan menggunakan koloid dapat mencapai perbaikan hemodinamik lebih cepat dengan menggunakan volume yang lebih sedikit.[2]
Penggunaan kristaloid dalam jumlah banyak dapat meningkatkan tekanan hidrostatik, sehingga cairan banyak keluar ke ruang interstisial dan dapat menimbulkan komplikasi seperti edema paru (terutama pada pasien dengan gangguan ginjal dan jantung), edema dinding gastrointestinal, dan hemodilusi.[7] Oleh karena itu, penggunaan koloid diajukan sebagai pengganti kristaloid karena dianggap dapat mengurangi komplikasi tersebut. Namun, sampai saat ini beberapa penelitian menunjukkan efikasi koloid tidak lebih baik dibandingkan dengan kristaloid. Penggunaan koloid juga bisa menyebabkan reaksi alergi dan permasalahan pembekuan darah.
Untung Rugi Koloid dan Kristaloid
Berdasarkan penelitian randomized controlled trial (RCT) oleh Annane et al yang dipublikasikan pada tahun 2013, tidak ada perbedaan signifikan angka mortalitas pasien yang diberikan resusitasi cairan kristaloid atau koloid pada hari ke-28 perawatan di ICU. Pada hari perawatan yang lebih panjang yakni 90 hari, angka mortalitas pada pasien yang diberikan koloid lebih rendah dibandingkan kelompok terapi kristaloid.[3]
Efek Terhadap Ginjal :
Studi Annane et al menyatakan bahwa koloid tidak meningkatkan kebutuhan renal replacement.[3] Hasil ini bertentangan dengan hasil beberapa penelitian lain yang menunjukkan bahwa penggunaan koloid, dalam hal ini HES, meningkatkan risiko acute kidney injury (AKI) dan kebutuhan terapi renal replacement.[8,9]
Pada penelitian lain, AKI dilaporkan juga dapat timbul akibat penggunaan cairan kristaloid salin normal. Efek interstisial edema akibat pemberian volume cairan berlebih dapat meningkatkan tekanan subkapsuler dan intrakapsuler ginjal yang menurunkan aliran darah ke ginjal dan menyebabkan cedera sel. Efek ini dilaporkan lebih banyak ditemukan pada penggunaan NaCL 0,9% dibandingkan kristaloid lainnya. Kandungan klorida yang tinggi pada NaCl 0,9% juga dapat menyebabkan vasokonstriksi arteriol tubular ginjal yang semakin memperberat gangguan pada ginjal.[8,10]
Efek Terhadap Pembekuan Darah:
Penggunaan kristaloid secara berlebihan dapat menimbulkan kondisi asidosis metabolik hiperkloremik dan dapat mengganggu faktor pembekuan sehingga menimbulkan koagulopati.[11] Oleh karena itu, cairan kristaloid dianjurkan dibatasi maksimal 3 liter dalam 6 jam pertama setelah masuk rumah sakit, terutama untuk resusitasi syok hipovolemik akibat perdarahan.[12]
Di lain pihak, gangguan faktor pembekuan juga dapat ditemukan secara signifikan pada penggunaan koloid HES dan gelatin. Penelitian terhadap cairan koloid lain seperti gelatin dan dekstran memang belum banyak dilakukan, namun dari beberapa penelitian yang sudah ada, cairan tersebut tidak memiliki efikasi yang lebih baik daripada kristaloid untuk penanganan syok hipovolemik.[8]
Efek Terhadap Otak:
Pemberian koloid albumin memberikan manfaat pada syok hipovolemik pada pasien kritis, namun meningkatkan angka kematian bila diberikan pada pasien dengan cedera otak. Selain albumin, pemberian kristaloid hipertonik juga harus dihindari untuk resusitasi cairan pada pasien cedera otak karena dapat meningkatkan edema otak. Pada penelitian lain, pemberian koloid dalam bentuk albumin tidak memberikan keuntungan yang signifikan dibandingkan dengan kristaloid. Keterbatasan penggunaan albumin sampai saat ini adalah karena harganya yang mahal.[4,8,11]
Interaksi dengan Tatalaksana Lain:
Penggunaan koloid juga perlu dipertimbangkan apabila ada rencana untuk memasukkan obat-obatan tertentu ataupun produk darah, sebab tidak bisa dilakukan pada jalur intravena yang sama. Cairan kristaloid NaCl 0,9% dapat dengan mudah diganti dengan produk darah bila dibutuhkan tanpa menimbulkan koagulasi.
Cairan kristaloid juga masih menjadi pilihan utama pada kasus syok hipovolemik yang tidak disebabkan oleh perdarahan. Jenis cairan kristaloid dapat disesuaikan dengan perkiraan volume cairan resusitasi, keseimbangan elektrolit pasien, dan status asam basa pasien. Kondisi asidosis metabolik hiperkloremik akibat penggunaan normal salin, dapat dihindari dengan penggunaan cairan kristaloid lain, seperti Ringer laktat.[4,6]
Tabel 1. Karakteristik Cairan Kristaloid dan Koloid
Karakteristik | Kristaloid | Koloid |
Volume yang dibutuhkan untuk mencapai target hemodinamik | Relatif lebih banyak (1:2-4) | Relatif lebih sedikit (1:1,2) |
Kejadian AKI | Meningkat pada penggunaan NaCl 0,9% | Meningkat pada penggunaan HES |
Mortalitas pasien kritis dengan syok hipovolemik di ICU | Pada hari perawatan ke-28 angka mortalitas baik pada penggunaan kristaloid dan koloid tidak berbeda secara signifikan. Pada hari perawatan ke-90 angka mortalitas pada kelompok koloid < kelompok kristaloid. | |
Terapi renal replacement | Tidak signifikan berbeda pada dua kelompok terapi | |
Koagulopati | Dapat memicu koagulopati | Dapat memicu koagulopati |
Reaksi alergi | Tidak ada | Dapat terjadi pada penggunaan gelatin |
Harga | Murah | Lebih mahal |
Ketersediaan | Mudah didapat, bahkan tersedia di fasilitas kesehatan tingkat pertama | Lebih mudah ditemukan di rumah sakit |
Sumber: dr. Saphira Evani, Alomedika. 2022.[3,7,8,11]
Tinjauan Cochrane Mengenai Koloid vs Kristaloid
Sebuah tinjauan Cochrane pada tahun 2018 menyatakan bahwa penggunaan koloid (dalam hal ini starches, dextran, albumin, fresh frozen plasma, atau gelatin) dalam resusitasi cairan tidak memberikan perbedaan bermakna terhadap mortalitas dibandingkan penggunaan kristaloid. Tinjauan ini juga melaporkan bahwa starches meningkatkan kebutuhan terhadap transfusi darah dan renal replacement therapy.[12]
Kesimpulan
Koloid sering dianggap sebagai cairan resusitasi yang lebih baik dibandingkan kristaloid. Koloid memiliki molekul yang lebih besar sehingga bisa bertahan lebih lama di intravaskular. Hal ini menyebabkan volume yang dibutuhkan koloid dalam resusitasi lebih sedikit dibanding kristaloid. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara penggunaan keduanya. Pemilihan penggunaan koloid dan kristaloid tetap harus mempertimbangkan keadaan klinis masing-masing pasien.