Tes fluid challenge sering kali diberikan pada kondisi kegagalan sirkulasi, terutama pada syok hipovolemik. Walaupun sering dianggap aman dan tanpa risiko, sebetulnya tes fluid challenge dapat meningkatkan risiko overload cairan bila diberikan pada kondisi yang salah. Selain itu, sampai sekarang belum terdapat teknik tes fluid challenge yang terstandarisasi.
Prinsip pemberian tes fluid challenge adalah pemberian cairan dengan volume sedikit dan periode waktu pendek untuk mengetahui cadangan preload pasien. Umumnya, tes fluid challenge diberikan pada kondisi hipovolemia untuk mengetahui fluid responsiveness pasien.[1,2]
Sekilas Tentang Tes Fluid Challenge
Tes fluid challenge bertujuan untuk menyeleksi pasien mana yang akan mendapat manfaat hemodinamik dari resusitasi cairan. Hingga kini, belum ada teknik yang terstandar dalam melakukan fluid challenge. Umumnya fluid challenge dengan memberi cairan kristaloid sejumlah 200 mL dalam 10 menit.[1]
Keuntungan Tes Fluid Challenge
Tes ini sederhana, mudah, murah, dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Meta analisis tahun 2022 menemukan bahwa cairan kristaloid lebih sering digunakan dalam waktu yang lebih pendek untuk fluid challenge pada dekade 2011-2021 daripada dekade 2000-2010.[2]
Dalam literatur, fluid challenge biasanya dilakukan dengan menginfuskan 500 mL bolus kristaloid dalam waktu kurang dari 20 menit. Respons fluid challenge yang positif, dilaporkan pada 52% pasien ICU, umumnya ditentukan oleh peningkatan CO/CI ≥15%.[2]
Kekurangan Tes Fluid Challenge
Kekurangan dari tes fluid challenge adalah sulitnya menentukan dengan pasti efek pemberian cairan terhadap hemodinamik. Tentu saja cara paling baik adalah dengan mengukur langsung cardiac output, dan tidak bisa hanya didasarkan pada perubahan tekanan arteri.[2,3]
Sebuah studi menemukan bahwa perubahan pada tekanan arteri tidak berhubungan bermakna dengan perubahan cardiac output pada fluid challenge. Studi lain bahkan melaporkan adanya 22% false negative jika respon hanya dinilai berdasarkan tekanan arteri saja.[3]
Kekurangan lain yang perlu diwaspadai adalah fakta bahwa pemberian cairan pada fluid challenge tidak hanya berperan sebagai pemeriksaan penunjang, tetapi juga sebagai intervensi atau terapi. Pada pasien yang memerlukan fluid challenge berulang dalam waktu berdekatan, akumulasi jumlah cairan yang diberikan saat melakukan fluid challenge dapat meningkatkan risiko overload dan hemodilusi.[4]
Kondisi Yang Memerlukan Tes Fluid Challenge
Tes fluid challenge umumnya digunakan pada kondisi-kondisi kegawatdaruratan yang menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah dan urine output. Syok hipovolemik adalah salah satunya.
Hipotensi adalah indikasi tersering dilakukannya fluid challenge. Indikasi lain mencakup penghentian vasopressor, oliguria, penanda hipoperfusi seperti mottling pada kulit dan peningkatan laktat, diagnosis syok sepsis atau sepsis, dan disfungsi renal atau hati.[2,3]
Akan tetapi, pemberian tes fluid challenge harus disesuaikan dengan klinis masing-masing pasien. Misalnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, risiko kelebihan cairan menjadi lebih besar. Pada kasus syok kardiogenik, pemberian fluid challenge dapat meningkatkan tekanan diastolik akhir ventrikel kiri yang sudah meningkat dan memperburuk edema paru.[2,5,6]
Pilihan Cairan Pada Tes Fluid Challenge
Tes fluid challenge dapat menggunakan cairan kristaloid, baik isotonik atau hipertonik, serta cairan koloid. Sekitar 74% klinisi menggunakan kristaloid dalam tes fluid challenge.
Secara teori, koloid memiliki keunggulan dalam menurunkan kemungkinan ekstravasasi cairan pada paru-paru dan meningkatkan curah jantung. Selain itu, koloid juga memiliki masa waktu yang lebih panjang di intravaskular dibandingkan dengan kristaloid, serta bersifat hiperonkotik sehingga dapat menarik cairan dari ruang interstisial ke intravaskular yang dapat meningkatkan volume plasma dengan lebih baik dibandingkan kristaloid.[1,2]
Tinjauan Cochrane berusaha membandingkan efek koloid dan kristaloid pada pasien penyakit kritis yang membutuhkan terapi cairan. Analisis ini memasukkan 69 studi dengan total 30.020 sampel. Hasil studi tidak menemukan perbedaan bermakna terkait risiko mortalitas.[7]
Meta analisis oleh Toscani L et al pada 85 studi dengan 3.601 pasien juga menyatakan bahwa tipe cairan pada tes fluid challenge tidak berpengaruh pada respons pasien terhadap tes ini. Oleh sebab itu, penggunaan cairan, baik koloid maupun kristaloid, dalam tes fluid challenge dapat digunakan sesuai keadaan.[8]
Cara Pemberian Tes Fluid Challenge
Walaupun tes fluid challenge sudah disetujui penggunaannya oleh banyak panduan, sampai sekarang belum terdapat standarisasi pemberian. Beberapa dekade lalu, teknik yang digunakan adalah berdasarkan aturan 2‒5 menggunakan tekanan vena sentral (CVP) dan aturan 3‒7 menggunakan tekanan oklusi arteri pulmonalis (PAOP).
Observasi tekanan dilakukan setiap interval 10 menit dengan cairan awal diberikan sebanyak 200 mL selama 10 menit. Apabila terdapat perubahan PAOP <3 mmHg atau CVP <2 mmHg, maka cairan dapat dilanjutkan. Akan tetapi, apabila PAOP berada pada rentang 3‒7 mmHg atau CVP 2‒5 mmHg, maka cairan diberhentikan terlebih dahulu dan dilakukan evaluasi ulang dalam waktu 10 menit.
Cairan langsung diberhentikan apabila terdapat peningkatan tekanan PAOP >7 mmHg atau CVP >5 mmHg.
Saat ini, terdapat modifikasi pemberian fluid challenge dengan menggunakan tekanan arteri rerata (MAP) sebagai target klinis dan CVP sebagai target batas aman untuk terjadinya komplikasi edema paru. Cairan yang disarankan adalah cairan kristaloid ringer laktat, karena memiliki komposisi elektrolit yang memadai dan harga ekonomis.
Cairan ringer laktat diberikan sebanyak 500 mL selama 30 menit dan evaluasi MAP dan CVP dilakukan setiap 10 menit. Apabila terdapat kenaikan MAP dan CVP dalam rentang normal, maka tes fluid challenge dianggap berhasil dan cairan dapat dilanjutkan. Akan tetapi, apabila terjadi penurunan MAP yang disertai dengan kenaikan CVP, maka fluid challenge dapat dianggap tidak berhasil dan cairan dihentikan.[1,2]
Mini Fluid Challenge
Karena tes fluid challenge memiliki berbagai kekurangan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa studi berusaha melihat apakah pemberian cairan dengan volume lebih kecil mampu mengukur fluid responsiveness.
Muller et al melakukan studi terkait mini fluid challenge dengan pemberian cairan koloid hydroxyethyl starch sebanyak 100 mL selama 1 menit, yang diikuti dengan 400 mL selama 14 menit.
Peningkatan subaortik velocity time index (VTI) ≥15% menjadi standar keberhasilan. Dari total 39 pasien, 21 pasien (54%) memiliki peningkatan VTI ≥15%. Variasi VTI setelah pemberian 100 mL cairan (ÄVTI) ≥10% telah ditemukan memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 95% dan 78%.[9,10]
Studi lain oleh Biais M et al berusaha menilai efikasi dari tes mini fluid challenge. Pada studi ini, stroke volume index dan variasi tekanan nadi dipantau sebelum dan sesudah pemberian cairan. Pada awalnya, cairan salin normal diberikan melalui infus selama 1 menit sebanyak 50 ml dan dilakukan pengukuran. Kemudian, dilanjutkan pemberian 50 mL lagi dan begitu seterusnya hingga mencapai 250 mL.[11]
Fluid responsiveness dinilai dengan perubahan stroke volume index lebih dari 6%. Studi ini menemukan bahwa pemberian cairan 100 mL memiliki sensitivitas 93% dan spesifisitas 85%.[11]
Selain itu, studi Mukhtar A et al juga melaporkan bahwa penggunaan tes mini fluid challenge menggunakan 150 mL albumin 5% selama 3 menit dapat memprediksi respons cairan pasien pasca transplantasi hati. Namun, tes mini fluid challenge sampai sekarang belum tervalidasi dan sampel pada studi-studi ini masih sangat terbatas.[12]
Rekomendasi Penggunaan Tes Fluid Challenge Pada Berbagai Kondisi Klinis
Berdasarkan pedoman The Scottish Intensive Care Society mengenai pemberian cairan intravena pada dewasa, pemberian fluid challenge dapat dilakukan apabila pasien memiliki tanda hipovolemia, seperti tekanan darah rendah, tekanan vena sentral atau tekanan vena jugularis rendah, oliguria, penurunan turgor kulit, perfusi jaringan rendah, tes capillary refill >4 detik.[13]
Fluid challenge dapat dilakukan jika tidak terdapat kecurigaan disfungsi ventrikel kanan atau syok kardiogenik. Berdasarkan panduan ini, tes fluid challenge dapat diberikan dengan 250‒500 mL cairan intravena kristaloid atau koloid selama 5‒15 menit.[13]
Sementara itu, pada kasus syok sepsis, secara umum direkomendasikan fluid challenge untuk dilakukan dan diikuti dengan pemberian cairan apabila hemodinamik didapatkan membaik. Tes fluid challenge dapat diberikan dengan pemberian kristaloid 30 mL/kg (+2 liter) dalam 30‒60 menit. Cairan hydroxyethyl starch tidak direkomendasikan untuk fluid challenge pada syok sepsis.[14]
Berdasarkan pedoman gagal jantung akut dari European Society of Cardiology, fluid challenge baru dapat diberikan pada pasien tanpa tanda-tanda kongesti dan perfusi perifer yang adekuat.[15]
Kesimpulan
Tes fluid challenge merupakan intervensi yang umum diberikan pada kondisi kegagalan sirkulasi, yang ditandai dengan hipotensi dan oliguria. Syok hipovolemik adalah salah satu indikasi fluid challenge. Akan tetapi, pemberian tes fluid challenge harus dilakukan secara hati-hati dan bergantung pada kasus yang dihadapi. Pada syok kardiogenik, pemberian tes fluid challenge dapat meningkatkan risiko edema paru. Sedangkan, pada kasus penyakit ginjal kronis, risiko kelebihan cairan dan hemodilusi akan meningkat.
Hingga kini, belum terdapat teknik tes fluid challenge yang terstandarisasi. Secara umum, cairan koloid dan kristaloid dengan volume 250‒500 ml diberikan selama 20‒30 menit adalah teknik yang sering digunakan. Namun, berbagai studi mulai mencoba melihat apakah pemberian cairan dalam jumlah lebih kecil (mini fluid challenge) dapat dilakukan untuk menilai fluid responsiveness.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini