Prinsip manajemen dengue pada infant harus dipahami, karena bila terjadi infeksi berat maka risiko mortalitas lebih tinggi dibandingkan kelompok anak. Menurut WHO, infant termasuk dalam kelompok risiko tinggi untuk mengalami infeksi dengue yang berat dan komplikasi. Infeksi dengue termasuk endemik di Indonesia dan pada infant seringkali dialami kelompok usia 4-9 bulan.[1]
Perbedaan Dengue pada Infant dan Dewasa
Studi yang dilakukan pada 118 infant berusia <12 bulan di Vietnam, menemukan bahwa hampir seluruh infant yang terkena infeksi dengue memiliki manifestasi perdarahan berupa petekie (99%). Selain itu, studi ini juga melaporkan bahwa 97,1% pasien memiliki manifestasi hepatomegali, serta ditemukan splenomegali pada 6,5% pasien, perdarahan gastrointestinal pada 7,4% pasien, dan dengue shock syndrome pada 20,5% pasien.[2]
Dengue ensefalopati ditemukan pada 10 pasien (9,3%), dimana kejang terjadi pada 7 pasien, letargi pada 4 pasien, dan koma pada 4 pasien. Selain daripada itu, juga ditemukan koinfeksi pneumonia pada 4 pasien, bronkitis dan bronkiolitis pada 4 pasien, serta shigellosis pada 2 pasien.[2]
Sebuah studi lain di Nikaragua melaporkan bahwa infant lebih banyak terkena manifestasi klinis yang berat dibandingkan kelompok anak maupun dewasa (infant 64%, anak 55%, dewasa 36%). Manifestasi klinis berat dapat berupa dengue shock syndrome, kebocoran plasma, thrombositopenia berat, dan perdarahan internal, dimana manifestasi ini lebih sering ditemukan pada infant berusia 6 bulan.[3]
Pedoman tatalaksana dengue oleh WHO menyatakan bahwa infant memiliki respiratory reserves yang lebih sedikit serta lebih rentan terhadap kerusakan hepar dan ketidakseimbangan elektrolit. Namun di sisi lain, infant juga lebih cepat berespon terhadap resusitasi cairan dan memiliki durasi kebocoran plasma yang lebih singkat, oleh karena itu dalam manajemen dengue pada infant dapat dilakukan pemeriksaan urine output dan fluid intake yang lebih sering dibandingkan dewasa.[1]
Kesulitan yang Sering Dihadapi dalam Manajemen Dengue pada Infant
Masalah yang sering dihadapi dalam manajemen kasus dengue pada infant di antaranya terkait penilaian terhadap manifestasi klinis, kesulitan mendeteksi syok, pemasangan akses intravena, pemilihan cairan, serta peningkatan risiko hipoglikemia.
Kesulitan Menilai Manifestasi Klinis
Kesulitan yang dialami dalam manajemen dengue pada infant dimulai dari penegakan diagnosis. Infant dibawa oleh orang tua seringkali dengan keluhan utama demam yang tentunya memiliki banyak sekali diagnosis banding. Gejala yang timbul pada infant juga tidak sejelas pasien anak atau dewasa. Misalnya, pasien anak dan dewasa dapat dengan jelas mengeluhkan nyeri tulang dan sendi, sementara pada infant manifestasi ini mungkin muncul dalam bentuk anak rewel.[1,4]
Dokter dapat menduga kemungkinan infeksi dengue jika pasien tinggal atau memiliki riwayat perjalanan ke daerah endemik dengue, atau jika ada individu di sekitar lingkungan pasien yang terdiagnosis demam dengue. Pada fase demam, beberapa penyakit bermanifestasi menyerupai dengue terutama penyakit dengan gejala serupa flu seperti common cold, influenza, Chikungunya, campak, dan demam tifoid.[1,4]
Kesulitan Mendeteksi Syok
Kesulitan lain yang sering dihadapi adalah dalam menilai syok. Perembesan volume plasma yang tidak tertangani dapat menimbulkan syok hingga berujung pada kematian.[1]
Syok ditandai dengan tekanan nadi (selisih tekanan darah sistolik dan diastolik) ≤ 20 mmHg atau ditemukan tanda-tanda penurunan perfusi perifer. Syok tergolong syok terkompensasi jika ditemukan tanda-tanda berkurangnya perfusi perifer tetapi tekanan darah sistolik tetap normal. Syok tergolong dekompensasi jika ditemukan tanda-tanda berkurangnya perfusi perifer disertai hipotensi atau tekanan darah tidak terukur.[1]
Tabel 1. Tekanan Darah Sistolik yang Normal sesuai Usia Infant
Usia | Tekanan darah sistolik |
Prematur | 55-75 mmHg |
0-3 bulan | 65-85 mmHg |
3-6 bulan | 70-90 mmHg |
6-12 bulan | 80-100 mmHg |
Sumber: Debtia, 2018.[4]
Pada kenyataannya, pengukuran tekanan darah pada infant sering mengalami kendala. Seringkali cuff sfigmomanometer infant yang digunakan berukuran kurang sesuai atau bahkan tidak tersedia. Untuk mengatasi hal ini, dokter dapat menilai tanda-tanda syok yang lain misalnya penurunan kesadaran dan penurunan perfusi perifer yang ditandai dengan waktu pengisian kapiler memanjang, pulsasi nadi lemah bahkan sulit diraba, denyut jantung sangat meningkat atau menurun, dan akral dingin. Cara lainnya untuk menilai syok pada infant adalah dengan membandingkan berat badan sebelum sakit dengan berat badan saat ini, melihat adanya oliguria hingga anuria, menilai tonus otot, melihat hidrasi membran mukosa, dan memeriksa fontanel.[4]
Kesulitan Pemasangan Akses Intravena
Pemasangan akses intravena pada infant seringkali sulit, apalagi jika infant dalam kondisi syok. Vena pada infant berukuran lebih kecil dan kurang didukung oleh jaringan lunak sekitarnya Vena perifer yang biasanya menjadi pilihan adalah vena sefalik di tangan, vena arcus dorsalis di kaki, atau vena temporalis superfisial di kulit kepala.[4]
Jika kesulitan memasang akses pada vena perifer, alternatif lainnya adalah pemberian cairan melalui nasogastric tube (NGT). Pemasangan akses intraoseus pada sepertiga atas anteromedial tibia atau distal femur (sekitar 2 cm di atas kondilus lateralis) juga dapat digunakan sebagai alternatif untuk memberikan cairan dan mengambil sampel darah. Bahkan dapat pula dilakukan pemasangan kateter vena sentral di vena femoral, jugular, maupun subklavia.[4,5]
Risiko Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat dialami infant yang terinfeksi dengue karena respon stress neurohormonal. Pemantauan berkala kadar glukosa darah perlu dilakukan.Jika timbul hipoglikemia, berikan glukosa 0,1-0,5 g/kgBB hingga kadar gula darah normal. Selanjutnya, pertahankan kadar gula dengan pemberian cairan isotonik yang mengandung glukosa kadar rumatan, misalnya dextrose 5% dalam cairan salin normal atau cairan ½ salin sebanyak 1 - 3 ml/kg/jam.[1]
Pemilihan Cairan yang Sesuai
Cairan yang direkomendasikan untuk resusitasi yaitu kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer laktat) atau koloid (dextran, hydroxyethyl starch dan gelatin) yang diberikan secara bolus inisial 10-20 ml/kg dalam 10 menit dan diulang jika diperlukan.[1,6,7]
Pilihan cairan untuk rumatan yang direkomendasikan WHO adalah Ringer laktat, Ringer asetat, dan NaCl 0,9%. Pedoman lain menyarankan cairan rumatan berupa NaCl 0,9% + Dextrosa 5% +/- 20 mmol/L KCl. Pemberian cairan hipotonik dengan kandungan sodium lebih rendah dari plasma tidak disarankan karena adanya risiko hiponatremia.[1,6,8]
Tabel 2. Perhitungan Cairan Maintenance
Berat badan (kg) | Jumlah cairan maintenance |
≤ 10 | 4 ml/kg/jam |
11-20 | 40 ml/jam + 2 ml/kg/jam x (BB-10 kg) |
>20 | 60 ml/kg/jam + 1 ml/kg/jam x (BB-20 kg) |
Sumber: Debtia, 2018.[1]
Algoritma Penanganan Dengue pada Infant
WHO merekomendasikan penanganan dengue pada infant didasari oleh ada tidaknya tanda bahaya atau infeksi dengue berat. Jika tidak ditemukan tanda bahaya, terapi bersifat suportif, berupa pemberian cairan per oral secara adekuat dan terapi simptomatik seperti pemberian paracetamol 15 mg/kgBB/dosis sebanyak maksimal 4 kali/hari.[1]
Tanda bahaya yang perlu diwaspadai pada kasus infeksi dengue adalah muntah persisten, nyeri perut, letargi, pembesaran hepar >2 cm, akumulasi cairan yang terlihat secara klinis, perdarahan mukosa, serta pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar hematokrit disertai penurunan kadar trombosit secara cepat. Pada kasus infeksi dengue dengan tanda bahaya direkomendasikan pemberian cairan kristaloid isotonik intravena.[1]
Kasus dengue berat adalah pasien dengan tanda kebocoran plasma berat dengan syok dan atau akumulasi cairan dengan distress pernapasan, perdarahan berat, atau gangguan organ berat. Kasus dengue berat memerlukan penanganan segera meliputi resusitasi cairan untuk mempertahankan sirkulasi efektif, koreksi gangguan metabolik dan elektrolit, serta terkadang dibutuhkan transfusi darah.[1]
Kesimpulan
Infant termasuk dalam kelompok risiko tinggi untuk mengalami infeksi dengue yang berat dan komplikasi. Masalah yang sering dihadapi dalam manajemen kasus dengue pada infant di antaranya terkait penilaian terhadap manifestasi klinis, kesulitan mendeteksi syok, pemasangan akses intravena, pemilihan cairan, serta peningkatan risiko hipoglikemia.