Pemberian asam folat pada kehamilan telah didukung oleh data medis yang berbasis bukti. Pemberian asam folat pada kehamilan dapat mencegah defek penutupan neural tube dan diperkirakan dapat mencegah kejadian bayi kecil masa kehamilan (KMK) serta mencegah kelahiran preterm.
Folat (vitamin B9) adalah salah satu vitamin larut air yang merupakan nutrisi esensial. Folat dibutuhkan untuk replikasi DNA dan pembentukan sel darah merah, serta dapat menjadi bahan baku untuk sejumlah reaksi enzim dalam sintesis asam amino dan metabolisme vitamin. Kebutuhan folat pada ibu hamil meningkat karena folat juga digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Defisiensi folat pada ibu hamil dikaitkan dengan terjadinya kelainan pada ibu maupun pada fetus.
Secara harfiah, folat dan asam folat sebenarnya memiliki definisi yang berbeda. Folat atau vitamin B9 adalah salah satu dari 13 vitamin esensial. Folat tidak dapat disintesis oleh tubuh dan harus didapatkan dari makanan atau suplemen. Secara alami, folat bisa didapatkan dari sayuran hijau, kacang-kacangan, kuning telur, hati, dan buah jeruk. Sementara itu, asam folat adalah bentuk sintetis dari folat yang bisa ditemukan pada suplemen makanan atau makanan yang difortifikasi. Namun, dalam penggunaan sehari-hari, istilah keduanya sering kali disamakan.[1]
Folat dan Neural Tube Defect
Folat adalah kofaktor esensial pada regulasi epigenetik dalam transkripsi gen yang mengontrol penutupan neural tube. Pada minggu ke-4 sampai ke-6 gestasi, neural tube akan terbentuk kemudian menutup. Neural tube ini akan berkembang menjadi korda spinalis, tulang belakang, otak, dan tengkorak. Neural tube yang gagal menutup akan menyebabkan korda spinalis atau otak terekspos keluar. Kelainan ini dikenal sebagai spina bifida dan anensefali. Efek protektif folat terhadap neural tube defect (NTD) sebetulnya didapatkan ketika folat dikonsumsi sebelum kehamilan terjadi (prakonsepsi) hingga kurang lebih 1 bulan usia gestasi.[1,2]
Folat dapat diberikan melalui suplementasi maupun fortifikasi asam folat ke dalam makanan. Fortifikasi asam folat ke dalam makanan telah menjadi kebijakan nasional di beberapa negara. Di Amerika Serikat, penambahan asam folat ke dalam produk turunan gandum seperti tepung, sereal, dan pasta telah diterapkan sejak Januari 1998. Pada tahun 2009, US Preventive Services Task Force (USPSTF) mengeluarkan rekomendasi bahwa semua perempuan pada usia reproduktif harus mengonsumsi suplementasi asam folat sebesar 0.4 mg sampai 0.8 mg tiap harinya. Rekomendasi tersebut masih relevan sampai saat ini.[2]
Manfaat Lain Asam Folat
Selain untuk mencegah terjadinya NTD, folat juga berperan untuk mencegah terjadinya anemia megaloblastik pada ibu hamil. Efek anemia megaloblastik pada janin masih belum diketahui secara pasti, namun beberapa studi mendeteksi bahwa kondisi ini dapat mengganggu pertumbuhan janin. Asam folat dilaporkan dapat mengurangi risiko bayi kecil masa kehamilan (KMK), yaitu bayi dengan berat badan lahir kurang dari persentil 10. Pada suatu studi kohort, konsumsi suplementasi asam folat prakonsepsi selama 1 tahun juga dilaporkan dapat mengurangi kelahiran preterm secara signifikan. Studi lebih lanjut masih diperlukan untuk memastikan manfaat-manfaat ini.[1,3]
Suatu studi yang juga masih membutuhkan peninjauan lebih lanjut adalah studi oleh McNulty et al di tahun 2019. Studi ini mempelajari efek konsumsi suplementasi asam folat hingga trimester kedua dan ketiga karena selama ini konsumsi suplementasi asam folat hanya disarankan pada trimester pertama. Studi ini menunjukkan bahwa konsumsi hingga trimester kedua dan ketiga memiliki efek positif pada kemampuan kognitif anak hingga usia 7 tahun.[4]
Beberapa teori juga menyatakan bahwa penggunaan asam folat dapat mencegah cleft lip (dengan atau tanpa cleft palate) dan penyakit jantung kongenital. Namun, tinjauan sistematis dari Cochrane di tahun 2015 menunjukkan bahwa efek suplementasi asam folat terhadap defek yang lain ini masih belum jelas. Efek suplementasi asam folat yang sudah dikonfirmasi adalah pencegahan NTD.[5]
Efek Samping Asam Folat
Meskipun umum direkomendasikan di banyak negara, mayoritas negara Eropa memilih untuk tidak menerapkan kebijakan fortifikasi asam folat ke dalam makanan karena pertimbangan efek sampingnya. Karena asam folat merupakan bentuk sintetis dari folat, maka metabolismenya lebih lambat dibandingkan dengan folat. Pemberian suplemen dan fortifikasi asam folat ke dalam makanan akan membuat lebih banyak asam folat inaktif terakumulasi di dalam darah. Hal ini memiliki efek samping seperti peningkatan risiko kanker dan efek masking terhadap anemia pernisiosa (defisiensi vitamin B12) yang akan membutuhkan penanganan berbeda.[1]
Risiko efek samping asam folat juga semakin tinggi jika konsumsi makanan dengan fortifikasi asam folat dilakukan bersamaan dengan konsumsi suplementasi asam folat. Sebuah tinjauan sistematis dari Visnawathan et al menyatakan bahwa di Amerika Serikat, asam folat terbukti efektif untuk proteksi terhadap NTD sebelum tahun 1998, tetapi setelah tahun tersebut (ketika fortifikasi asam folat ke dalam makanan mulai diterapkan) efektivitas suplementasi asam folat dilaporkan menjadi bias.[6]
Rekomendasi Pemberian Asam Folat
Folat dapat diperoleh dari konsumsi makanan yang kaya folat. Namun, folat yang didapatkan dari makanan kadang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan, terutama pada perempuan yang merencanakan kehamilan atau yang sedang hamil. Salah satu cara untuk meningkatkan kadar folat dalam tubuh adalah dengan pemberian suplemen asam folat. WHO merekomendasikan dosis suplemen asam folat sebesar 400 μg atau 0.4 mg setiap harinya.[7]
The American Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) menyarankan perempuan berisiko rendah untuk mengkonsumsi suplemen asam folat dengan dosis 400 μg/hari, sedangkan perempuan berisiko tinggi disarankan mengonsumsi dosis 4 mg/hari. Perempuan berisiko tinggi menurut ACOG adalah perempuan dengan riwayat NTD pada kehamilan sebelumnya.[1]
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) menyarankan perempuan usia reproduktif untuk mengonsumsi dosis 400 μg/hari dari sebelum hamil (prakonsepsi) sampai dengan minggu ke-12 kehamilan, sedangkan untuk perempuan berisiko tinggi dosisnya menjadi 5 mg/hari. Perempuan berisiko tinggi menurut RCOG adalah perempuan dengan riwayat NTD pada kehamilan sebelumnya, dengan riwayat NTD pada keluarganya atau keluarga suaminya, dalam pengobatan epilepsi, dengan penyakit diabetes atau penyakit celiac, dengan BMI ≥30, atau dengan anemia sickle cell atau thalassemia.[1]
Kesimpulan
Pemberian asam folat sebelum kehamilan dan pada saat kehamilan terbukti dapat mencegah terjadinya neural tube defect (NTD). Selain itu, pemberian asam folat juga diperkirakan dapat mencegah bayi kecil masa kehamilan (KMK) dan mencegah kelahiran preterm. Risiko efek samping suplementasi dan fortifikasi asam folat dosis tinggi masih menjadi kekhawatiran tersendiri. Akan tetapi, karena manfaat pemberian asam folat dipertimbangkan masih lebih besar daripada risikonya, suplementasi dan fortifikasi asam folat untuk perempuan yang akan hamil dan yang sedang hamil masih tetap dianjurkan.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur