Dokter perlu mengenali faktor risiko eksaserbasi pada pasien asma agar kontrol terhadap asma dapat tercapai. Sekitar 1–18% populasi pada berbagai negara menderita asma. Penurunan kualitas hidup pasien dan peningkatan beban layanan kesehatan sebagian besar diakibatkan oleh eksaserbasi asma.
Eksaserbasi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien asma, yang mengakibatkan penurunan kualitas hidup pasien. Selain itu, eksaserbasi asma juga berdampak pada beban layanan kesehatan, dengan meningkatkan biaya manajemen penyakit sebesar 3 kali lipat.
Insidensi eksaserbasi akan meningkat pada penderita asma yang memiliki faktor risiko, sehingga pengenalan terhadap faktor tersebut merupakan hal penting sebagai upaya mencapai kontrol asma yang baik. Identifikasi faktor risiko eksaserbasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen asma.[1-4]
Sekilas mengenai Eksaserbasi Asma
Eksaserbasi asma adalah peningkatan secara progresif gejala sesak napas, batuk, mengi, dan penurunan progresif fungsi paru. Perubahan kondisi ini menunjukkan dibutuhkannya step-up pada terapi rutin.
Eksaserbasi asma dapat terjadi pada pasien yang sudah didiagnosis asma sebelumnya atau sebagai gejala pertama, yang sering disebut sebagai asma akut atau serangan asma (asthma attack). Eksaserbasi asma merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas asma, serta merupakan kasus kegawatdaruratan yang perlu ditangani dengan cepat.[1,3]
Jika dibandingkan dengan gejala klinis, pengukuran fungsi paru dengan spirometri dinilai sebagai metode yang lebih baik dalam menentukan tingkat keparahan eksaserbasi asma. Penurunan fungsi paru dapat ditentukan dengan pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan dibandingkan dengan penilaian sebelumnya.
Meskipun demikian, frekuensi munculnya gejala dapat lebih sensitif untuk mengukur onset eksaserbasi daripada fungsi paru. Identifikasi faktor risiko eksaserbasi dan indikator yang dapat meningkatkan keparahan, tata laksana tepat, serta tindakan preventif dapat meningkatkan kontrol asma.
Selain tenaga medis, pasien juga diharapkan dapat melakukan kontrol gejala serta pengenalan dan penghindaran faktor risiko eksaserbasi asma, karena biasanya eksaserbasi muncul akibat respons terhadap paparan eksternal atau ketidakpatuhan pengobatan.[1,3,4]
Faktor Risiko Eksaserbasi Asma
Mengenali faktor risiko asma merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari upaya kontrol asma yang harus dapat dilakukan di pelayanan kesehatan primer.
Faktor risiko utama eksaserbasi asma adalah gejala yang tidak terkontrol, seperti batuk, mengi, sesak napas pada pagi maupun malam hari dengan frekuensi >2 kali per minggu, serta terbangun pada malam hari karena gejala asma. Gejala yang tidak terkontrol juga dapat dinilai dari frekuensi penggunaan reliever dan ketidakhadiran atau keterbatasan pada olahraga, hobi, maupun sekolah.[1-4]
Studi yang dilakukan oleh Pola-Bibian et al terhadap 831 pasien asma pada sebuah rumah sakit tersier di Spanyol menemukan bahwa gejala asma yang tidak terkontrol meningkatkan risiko eksaserbasi dan kebutuhan rawat inap pasien.
Studi yang dilakukan oleh Kang et al terhadap 22.130 pasien asma di Korea Selatan juga menemukan bahwa riwayat penggunaan kortikosteroid jangka pendek (corticosteroids burst) akan meningkatkan risiko eksaserbasi asma selanjutnya. Corticosteroid burst adalah penggunaan kortikosteroid oral dosis tinggi selama setidaknya 3 hari atau kortikosteroid injeksi 1 kali saat eksaserbasi. Riwayat rawat inap akibat asma juga berhubungan dengan risiko eksaserbasi selanjutnya pada pasien dengan asma berat.[2,3]
Selain itu, faktor risiko tambahan lain juga dapat menyebabkan terjadinya eksaserbasi. Global Initiative for Asthma (GINA) 2020 dalam membagi faktor risiko tambahan eksaserbasi menjadi medikasi, komorbiditas, paparan, konteks, fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium lain.[1-4]
Medikasi
Faktor risiko eksaserbasi terkait medikasi dapat berupa penggunaan short-acting beta2-agonist (SABA), seperti salbutamol dalam jumlah tinggi; penggunaan inhaled corticosteroid (ICS), seperti budesonide yang tidak adekuat; tidak mendapat ICS; kepatuhan pengobatan buruk; dan teknik penggunaan inhaler salah.
Studi yang dilakukan oleh Kang et al menemukan bahwa kepatuhan pengobatan yang rendah (medication possession ratio (MPR) <20%) merupakan faktor risiko penting dari eksaserbasi asma dan berkaitan dengan peningkatan derajat keparahan.
Hasil serupa dikemukakan oleh Engelkes et al pada tinjauannya terhadap 23 studi mengenai kepatuhan pengobatan pasien asma, terutama ICS sebagai controller.
Kepatuhan dinilai dengan berbagai teknik, seperti penghitungan MPR, penghitungan tebus resep, penggunaan alat pemantauan elektronik, atau pengukuran berat botol obat. Studi ini menemukan bahwa kepatuhan pengobatan yang rendah, baik dewasa maupun anak, berkaitan dengan peningkatan risiko eksaserbasi asma dan kebutuhan kortikosteroid oral.[1,2,4]
Studi lain yang dilakukan oleh Chogtu et al terhadap 330 pasien di India menemukan bahwa penggunaan metered dose inhaler (MDI) yang salah berkaitan dengan kontrol asma yang buruk dan penurunan FEV1.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Nwaru et al terhadap 365.324 pasien asma menemukan bahwa sekitar 30% pasien menggunakan SABA secara berlebihan (≥3 botol inhaler/tahun) dan peningkatan jumlah botol tersebut berkaitan dengan peningkatan risiko eksaserbasi, jika dibandingkan dengan penggunaan ≤2 botol inhaler SABA per tahun. Risiko terbesar terlihat pada penggunaan ≥11 botol inhaler SABA per tahun.[5,6]
Tren penggunaan SABA yang berlebihan ini mengkhawatirkan karena sebenarnya agen ini tidak mengatasi penyebab dasar asma. Oleh karena itu, pedoman GINA yang terbaru tidak merekomendasikan penggunaan SABA secara tunggal sebagai kontrol asma mengingat keterbatasannya dalam pencegahan eksaserbasi yang berat dan risiko efek samping yang ada.[1,6]
Komorbiditas
Risiko eksaserbasi asma juga berkaitan dengan berbagai komorbiditas, seperti obesitas, rhinosinusitis kronis, gastroesophageal reflux disease (GERD), dermatitis atopik, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
Studi kohort berbasis populasi yang dilakukan oleh Bloom et al terhadap 424.326 pasien asma di Inggris menemukan bahwa risiko eksaserbasi dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk PPOK, obesitas, penyakit atopi seperti rhinitis alergi, dan GERD. Komorbiditas ditemukan lebih berpengaruh terhadap risiko eksaserbasi pada pasien berusia <18 tahun.[1,7]
Studi yang dilakukan oleh Kang et al menemukan bahwa komorbiditas, termasuk GERD, rhinitis alergi, rhinitis kronis, sinusitis kronis, berpengaruh terhadap peningkatan risiko eksaserbasi pada pasien dengan asma ringan. Namun, seiring dengan peningkatan keparahan asma, komorbiditas dinilai tidak memiliki pengaruh signifikan dalam peningkatan risiko eksaserbasi asma.
Hanya rhinitis alergi yang menunjukkan pengaruh signifikan dalam peningkatan risiko eksaserbasi pada pasien dengan asma berat.
Tidak hanya terhadap eksaserbasi, Pola-Bibian et al juga mengemukakan bahwa komorbiditas juga berkaitan dengan kebutuhan rawat inap lebih tinggi. Komorbid yang dimaksud adalah diabetes mellitus, dislipidemia, alergi obat, hipertensi, dan PPOK.[2,3]
Paparan Zat
Paparan berbagai zat seperti asap rokok, polusi udara, dan alergen, merupakan faktor penting risiko eksaserbasi. Sebuah studi dilakukan oleh Tanaka et al terhadap 190 pasien asma di Jepang untuk mengetahui faktor yang meningkatkan risiko eksaserbasi.
Studi ini membagi subjek penelitian menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok eksaserbasi cepat (memburuk dalam 7,4 jam), kelompok eksaserbasi sedang (memburuk dalam 48 jam), dan kelompok eksaserbasi lambat (memburuk dalam >10 hari). Hasilnya, ditemukan bahwa perokok dan riwayat hipersensitif terhadap alergen lingkungan dan bulu binatang cenderung masuk ke kelompok eksaserbasi cepat.[1,8]
Selain perokok aktif, perokok pasif juga terkait dengan peningkatan risiko eksaserbasi asma. Paparan asap rokok pada anak juga dapat menjadi faktor prediksi risiko eksaserbasi di kemudian hari. Polusi udara juga menjadi faktor risiko eksaserbasi asma, termasuk pada anak.[1,9]
Masalah Psikologis dan Sosioekonomi
Pasien asma dengan gangguan psikologis dan masalah sosioekonomi lebih rentan mengalami eksaserbasi. Pada studi yang dilakukan oleh Bloom et al, riwayat gangguan psikiatri, seperti depresi dan gangguan cemas pada pasien asma dapat meningkatkan risiko eksaserbasi, terutama pada individu berusia <18 tahun.
Hasil studi ini juga telah dikonfirmasi melalui beberapa penelitian lain yang mengemukakan bahwa gangguan psikiatri berpengaruh terhadap risiko eksaserbasi asma dan kebutuhan rawat inap.[1-3,7,9]
Gangguan Fungsi Paru
Gangguan fungsi paru yang ditandai dengan FEV1 yang rendah dan reversibilitas bronkodilator tinggi juga berkaitan dengan eksaserbasi asma. Studi yang dilakukan oleh Quezada et al terhadap 306 pasien anak dan 412 pasien dewasa menemukan bahwa pasien dengan nilai FEV1 yang rendah lebih cenderung mengalami eksaserbasi.
Hasil yang serupa juga ditemui pada studi yang dilakukan oleh Ortega, et al terhadap 1.192 pasien asma. Penurunan nilai FEV1 ditemukan pada pasien dengan episode eksaserbasi 3 kali atau lebih.[1,10,11]
Reversibilitas bronkodilator tinggi juga memainkan peran penting dalam terjadinya eksaserbasi asma. Reversibilitas bronkodilator tinggi ditentukan melalui uji bronkodilator yang berfungsi membedakan asma dan PPOK.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Heffler et al terhadap 246 pasien asma meneliti hubungan respons bronkodilator dan kontrol asma. Hasilnya, pasien dengan respons bronkodilator yang signifikan cenderung mengalami asma yang tidak terkontrol.
Studi lain dilakukan oleh Janson et al terhadap 35.628 pasien asma, PPOK, dan kontrol untuk mengetahui peran uji bronkodilator dalam penegakan diagnosis asma dan PPOK, serta hubungannya dengan keparahan gejala masing-masing penyakit. Studi ini menemukan bahwa pasien asma dengan reversibilitas bronkodilator memiliki prevalensi tinggi terhadap gejala asma dibandingkan dengan pasien asma tanpa reversibilitas bronkodilator.[1,12,13]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dipakai untuk menentukan faktor risiko eksaserbasi asma adalah kadar eosinofil darah dan peningkatan fractional exhaled nitric oxide (FeNO). Meskipun begitu, masih terdapat argumen apakah kedua pemeriksaan ini dapat dijadikan prediktor eksaserbasi asma.
Studi yang dilakukan oleh Pola-Bibian et al menemukan bahwa peningkatan kadar eosinofil darah berkaitan dengan peningkatan risiko eksaserbasi asma, tetapi tidak berkaitan dengan peningkatan kebutuhan rawat inap.
Studi yang dilakukan oleh Price, et al terhadap 610 pasien asma di Inggris menemukan bahwa pasien dengan kadar eosinofil darah tinggi (≥0,300 x 109/L) atau kadar FeNO tinggi (≥50 ppb) lebih berisiko mengalami eksaserbasi sebanyak 1,31 kali. Risiko eksaserbasi meningkat hingga 3,67 kali bila pasien mengalami peningkatan pada kedua faktor tersebut.[1,3,9,14]
Kesimpulan
Pengenalan faktor risiko eksaserbasi penting dilakukan oleh dokter dalam upaya mencapai kontrol asma. Faktor risiko utama terjadinya eksaserbasi asma adalah gejala asma yang tidak terkontrol, yang dapat dinilai dari frekuensi penggunaan reliever dan perubahan pola aktivitas pasien.
Dari sisi medikasi, penggunaan SABA dalam jumlah tinggi, penggunaan ICS inadekuat, tidak mendapat ICS, kepatuhan pengobatan yang buruk, dan teknik penggunaan inhaler yang salah merupakan hal yang dapat meningkatkan eksaserbasi asma
Selain itu, beberapa komorbiditas juga dinilai berkaitan dengan eksaserbasi asma, seperti obesitas, rhinosinusitis kronis, GERD, dermatitis atopik, dan PPOK. Sehingga perlu pengendalian terhadap komorbiditas tersebut.
Reversibilitas bronkodilator yang tinggi dan penurunan fungsi paru juga merupakan faktor risiko eksaserbasi asma. Pasien dengan penurunan fungsi paru lebih sering mengalami eksaserbasi.
Masalah psikologis dan sosioekonomi juga perlu diperhatikan pada pasien asma. Jika perlu, konseling pada psikolog atau psikiater dapat dianjurkan. Selain itu, penghindaran terhadap asap rokok, polusi udara, dan alergen perlu dilakukan untuk mencapai kontrol asma yang baik.