Banyak dokter atau tenaga kesehatan memutuskan untuk menunda pemberian vaksin karena alasan yang salah, misalnya karena demam. Mispersepsi mengenai kontraindikasi dan precaution pemberian vaksin ini perlu diluruskan supaya cakupan imunisasi tidak menurun. Selain itu, penundaan vaksinasi dengan alasan yang tidak tepat juga meningkatkan potensi anak terkena penyakit sehingga membahayakan pasien.[1]
Kontraindikasi dan Precaution Pemberian Vaksin
Kontraindikasi merupakan suatu kondisi pada anak yang akan meningkatkan kejadian yang tidak diharapkan. Sering kali dokter maupun tenaga kesehatan lainnya salah mengartikan kontraindikasi ini sehingga pemberian vaksin pun menjadi tertunda atau bahkan tidak diberikan. Hal ini tentu saja dapat menurunkan cakupan imunisasi dan imunitas kelompok. [1,2]
Selain kontraindikasi, ada kondisi lain yang dimiliki anak yang mungkin akan meningkatkan risiko kejadian yang tidak diharapkan, walaupun tidak seberat kejadian pada kelompok kontraindikasi. Kondisi tersebut disebut dengan precaution. Kondisi ini dapat mempengaruhi kemampuan vaksin untuk memproduksi imunitas. Secara umum, pemberian vaksin sebaiknya ditunda jika ditemukan kondisi yang termasuk precaution. Vaksin dapat tetap diberikan jika keuntungan dari proteksi vaksin melebihi risiko reaksi yang tidak diharapkan, misalnya jika terjadi wabah penyakit. [2]
Mispersepsi mengenai Kontraindikasi dan Precaution Pemberian Vaksin
Ada beberapa kondisi yang ditemukan pada praktik yang membuat dokter atau tenaga kesehatan ragu untuk memberikan imunisasi. Pada kondisi di bawah ini, pemberian imunisasi tetap diberikan dan tidak perlu ditunda:
- Reaksi lokal ringan sampai sedang pada lokasi suntikan vaksin yang sebelumnya
- Sakit ringan dengan atau tanpa demam. Demam tidak mempengaruhi respon imun sehingga sakit ringan dengan demam sekalipun tetap boleh mendapatkan vaksin
- Sedang mengonsumsi antibiotik. Antibiotik tidak memiliki efek terhadap respon imun. Pengecualian adalah vaksin tifoid Ty21a oral yang sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama pasca pemberian antibiotik
- Baru sembuh dari penyakit akut (fase kovalesens). Fase kovalesens tidak mempengaruhi respon imun atau meningkatkan risiko efek samping vaksin sehingga vaksin bisa diberikan segera
-
Bayi prematur (kecuali pada vaksin hepatitis B). Vaksin pada bayi prematur dapat diberikan sesuai dengan usia kronologis. Pada bayi dengan berat badan lahir <2000 gram, pemberian vaksin hepatitis B sebaiknya ditunda jika ibu pasien terbukti memiliki HbsAg negatif. Vaksin hepatitis B dapat diberikan saat bayi berusia 1 bulan sesuai dengan usia kronologis. Untuk bayi yang lahir dari ibu HbsAg positif, vaksin Hepatitis B dan immunoglobulin Hepatitis B tetap diberikan tanpa melihat berat badan
-
Terpapar penyakit infeksius. Yang menjadi pertimbangan penundaan vaksinasi bukan apakah penyakit yang diderita adalah penyakit infeksius tetapi tingkat keparahan penyakit. Pada penyakit infeksius yang ringan, seperti common cold, vaksinasi tidak perlu ditunda
- Riwayat alergi pada diri sendiri atau keluarga terhadap penisilin, bulu unggas, debu.
- Riwayat alergi terhadap telur. Beberapa vaksin mengandung telur, misalnya vaksin influenza. Selama pasien tidak memiliki riwayat kejadian anafilaksis terhadap telur, vaksinasi tetap dapat diberikan[1,3]
Rawat Inap dan Pembedahan
Pasien yang sedang dirawat dapat diberikan imunisasi saat pasien sudah sembuh dan bersiap pulang. Pasien yang menjalani pembedahan atau baru mendapat anastesi dapat diberikan imunisasi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan antara pembedahan dengan pembentukan sistem imun pasca imunisasi. Jika anak datang dengan kondisi yang sehat, pemeriksaan fisik rutin tidak wajib dilakukan sebelum pemberian imunisasi. [1]
Mispersepsi Spesifik Vaksin
Untuk mispersepsi kontraindikasi yang spesifik pada vaksin-vaksin tertentu, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Kondisi yang Disalahartikan sebagai Kontraindikasi Vaksin
Vaksin | Kondisi yang sering disalahartikan sebagai kontraindikasi. Vaksin tetap dapat diberikan pada kondisi berikut |
Diphteria and tetanus toxoids and acellular pertussis (DTaP) | - Demam > 40,5° C setelah pemberian vaksin DTP atau DtaP (pemberian paracetamol setelah diberikan vaksin |
Hepatitis B | - Hamil |
Human papillomavirus (HPV) | - Imunosupresi - Hasil tes Papanicolau abnormal - Adanya infeksi HPV - Sedang menyusui |
Inactivated influenza vaccine (IIV) | - Riwayat alergi kontak dengan lateks, timerosal, atau telur |
Inactivated poliovirus (IPV) | Telah mendapat vaksin polio oral lebih dari 1 kali |
Live attenuated influenza vaccine (LAIV) | - Penyakit kronik atau gangguan imun ringan |
Measles, mumps, rubella (MMR) | - Hasil tes tuberkulin positif |
Pneumococcal polysaccharide vaccine (PPSV23) | Riwayat penyakit pneumokokus invasif atau pneumonia |
Rotavirus | - Bayi prematur |
Tetanus toxoid, reduced diphteria toxoid, and acellular pertussis (Tdap) | - Demam > 40,5° C setelah pemberian vaksin DTP atau DtaP (pemberian paracetamol setelah diberikan vaksin) |
Varicella | - Hamil |
Zoster | - Terapi dengan metotreksat dosis rendah (< 0,4 mg/kg/minggu) atau 6-merkaptopurin (< 1,5 mg/kg/hari) untuk tatalaksana artritis reumatoid, psoriasis, polimiositis, sarkoidosis, penyakit inflamasi saluran cerna, atau kondisi lain |
Sumber: dr. Shofa Nisrina, 2018.[3]
Kesimpulan
Dokter perlu mengerti mengenai alasan penundaan vaksinasi yang tidak tepat, misalnya demam, atau sedang mengonsumsi antibiotik. Selain itu, terdapat juga mispersepsi spesifik masing-masing vaksin, misalnya riwayat demam tinggi atau kejang pasca pemberian vaksin DTaP sebelumnya. Pemahaman mengenai alasan penundaan vaksinasi yang tidak tepat ini penting supaya pasien tidak mengalami risiko terkena penyakit akibat penundaan pemberian vaksin.