Biventricular vs Right Ventricular Pacing Devices in Patients Anticipated to Require Frequent Ventricular Pacing (Biopace).
Funck RC, Müller HH, Lunati M, et al. Europace. 2025; 27(3):euaf029. doi: 10.1093/europace/euaf029.
Abstrak
Tujuan: Pacu ventrikel kanan (RV) dapat memperburuk disfungsi ventrikel kiri (LV). Khususnya pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) yang terjaga, QRS yang sempit, dan beban pacu ventrikel tinggi (HVPB), tidak ada bukti bahwa pacu jantung biventrikular (BiV) dapat meningkatkan luaran klinis. Penelitian ini mengevaluasi apakah implantasi alat pacu jantung BiV (BiVPD) dibandingkan dengan alat pacu jantung RV (RVPD) dapat meningkatkan luaran klinis pada pasien tipe tersebut.
Metode dan Hasil: Dalam uji klinis Biventricular Pacing for atrioventricular Block to Prevent Cardiac Desynchronization (BioPace), dilakukan uji multisenter, tersamar tunggal (pasien), acak, kelompok paralel. Pasien dialokasikan setara untuk menerima BiVPD atau RVPD. Luaran primer yang dievaluasi adalah (i) komposit waktu hingga kematian atau rawat inap gagal jantung pertama dan (ii) kesintasan.
Penelitian ini menganalisis 1810 pasien acak, dengan usia rerata 73,5 tahun, jenis kelamin perempuan 31,7%, LVEF rerata 55,4%, QRS rerata 118,4 ms. Sebanyak 902 partisipan dialokasikan untuk pacu BiV dan 908 untuk pacu RV. Selama tindak lanjut rerata 68,8 bulan, perbedaan luaran komposit primer dan mortalitas antara kedua kelompok lebih kecil dari 20%.
Kesimpulan: Pada pasien, utamanya mereka dengan LVEF yang terjaga, QRS yang sempit, dan HVPB, keunggulan pemasangan BiVPD dibandingkan dengan RVPD tidak dapat dibuktikan. Pacu jantung ventrikel kanan mungkin memiliki efek klinis negatif yang lebih rendah bagi pasien jenis ini daripada yang sering disebutkan, dan pacu jantung BiV primer tidak secara jelas meningkatkan luaran klinis.
Ulasan Alomedika
Pacu ventrikel kanan (RV) merupakan standar saat ini bagi pasien dengan AV blok simtomatik. Meski demikian, penggunaan modalitas pacu jenis ini berisiko dapat meningkatkan disfungsi ventrikel kiri (LV) dan gagal jantung pada pasien dengan atau tanpa penurunan fraksi ejeksi LV (LVEF) sebelumnya. Di sisi lain, tidak diketahui apakah implantasi sistem pacu biventrikular (BiV) membawa keunggulan klinis.
Uji klinis ini mengevaluasi apakah pacu jantung biventrikular lebih baik dibandingkan pacu ventrikular kanan dalam mencegah kematian atau rawat inap akibat gagal jantung pada pasien dengan kebutuhan pacu ventrikel tinggi, terlepas dari adanya gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri, atau kondisi kompleks QRS.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan uji klinis, acak, terkontrol, paralel, dan multisenter internasional dengan desain single-blind dan penilaian luaran yang dibutakan. Penelitian ini melibatkan 1.834 pasien yang memiliki indikasi kelas I untuk pemasangan alat pacu jantung dengan prediksi kebutuhan pacu ventrikel tinggi, tanpa memandang status gagal jantung, kondisi QRS, fungsi ventrikel kiri (LVEF), atau irama sinus.
Partisipan:
Pasien dipilih berdasarkan kriteria inklusi yang mencakup berbagai bentuk AV blok, sick sinus syndrome dengan AV blok derajat pertama, serta atrial fibrilasi kronis dengan laju ventrikel rendah. Kriteria eksklusi meliputi pasien dengan implantable cardioverter defibrillator (ICD), gagal jantung reversibel akut, status transplantasi jantung aktif, dan kondisi lain yang membatasi harapan hidup atau kepatuhan terhadap protokol studi.
Perlakuan:
Setelah dilakukan randomisasi secara 1:1, pasien diimplantasikan alat pacu jantung dengan pacu ventrikel kanan (RV pacing) atau pacu biventrikular (BiV pacing). Alat yang digunakan dapat mencakup lead atrium maupun ventrikel sesuai irama pasien dan panduan klinis. Penempatan lead ventrikel kiri diupayakan pada vena lateral atau posterolateral, sedangkan lead ventrikel kanan dapat dipasang di apeks atau lokasi alternatif.
Penyesuaian terapi medis dan optimasi sinkronisasi AV diserahkan kepada dokter yang merawat, dengan anjuran pemberian terapi optimal untuk gagal jantung. Pasien dipantau secara berkala melalui kunjungan klinik dan telepon setiap enam bulan untuk memantau tanda vital, kebutuhan rawat inap, dan kejadian yang merugikan.
Luaran:
Penelitian ini memiliki dua luaran primer, yakni waktu hingga kematian atau rawat inap akibat gagal jantung dan waktu kesintasan. Luaran sekunder mencakup waktu hingga kematian kardiovaskular atau rawat inap pertama akibat gagal jantung, keberhasilan implantasi lead ventrikel kiri, kapasitas fungsional, kualitas hidup, serta konversi ke atrial fibrilasi permanen dan infeksi sistem pacu.
Ulasan Hasil Penelitian
Dari Mei 2003 hingga September 2007, 1833 pasien diacak di 94 rumah sakit di 15 negara, dengan 915 untuk pacu BiV dan 918 untuk pacu RV. Pada akhirnya, 902 pasien dianalisis dalam kelompok BiV dan 908 dalam kelompok RV karena masalah pada persetujuan medis.
Luaran primer menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara kelompok BiV dan RV dalam hal kejadian gabungan kematian atau rawat inap pertama akibat gagal jantung maupun angka kematian total. Baik analisis sensitivitas maupun analisis berdasarkan pengobatan yang diterima tidak menunjukkan perbedaan berarti, bahkan pada subkelompok dengan beban pacu ≥90%. Dengan kata lain, pacu BiV tidak memberi keunggulan klinis bermakna dibanding pacu RV pada populasi pasien yang diteliti.
Makna klinis dari temuan ini adalah bahwa pada pasien yang membutuhkan pacu permanen dan memiliki fungsi ventrikel kiri yang bervariasi, pemilihan antara perangkat pacu BiV atau RV dapat disesuaikan dengan pertimbangan individual seperti kemudahan prosedur, risiko komplikasi, dan preferensi klinisi, tanpa kekhawatiran kehilangan manfaat klinis besar dalam luaran klinis jangka panjang.
Namun, penting dicatat bahwa pemasangan LV lead, yang diperlukan pada pacu BiV, berkaitan dengan angka kejadian efek samping serius yang sedikit lebih tinggi, terutama terkait infeksi dan disfungsi lead, meskipun perbedaannya tidak signifikan secara statistik.
Kelebihan Penelitian
Kelebihan studi ini terletak pada desainnya yang prospektif, randomisasi yang ketat, dan jumlah sampel yang besar. Ini memberikan kekuatan statistik yang cukup untuk mengevaluasi perbedaan antara pacu BiV dan RV. Studi ini juga melakukan analisis terhadap berbagai jenis luaran klinis, termasuk primer, sekunder, dan eksploratorik, serta mencakup subkelompok berdasarkan presentase pacu dan LVEF, sehingga memungkinkan pemahaman efek terapi pada populasi yang berbeda.
Limitasi Penlitian
Studi ini memiliki angka crossover (14,3%) yang tinggi, yang dapat mengaburkan efek sebenarnya dari terapi yang diteliti dan berpotensi melemahkan hasil dari analisis berdasarkan intention-to-treat. Meski telah dilakukan analisis tambahan, hasil ini tetap tidak bisa sepenuhnya menggantikan potensi bias akibat peralihan kelompok.
Selain itu, tidak adanya perbedaan signifikan dalam luaran primer mungkin mencerminkan bahwa manfaat pacu BiV tidak berlaku secara umum untuk seluruh populasi yang membutuhkan pacu, melainkan mungkin lebih relevan untuk subpopulasi tertentu.
Studi ini juga memiliki angka kejadian efek samping yang cukup tinggi, terutama terkait dengan LV lead, yang menunjukkan bahwa pacu BiV memiliki kompleksitas teknis dan risiko lebih tinggi dibandingkan pacu RV.
Aplikasi Hasil Peneltian di Indonesia
Hasil studi ini mengindikasikan bahwa pacu BiV tidak memberikan manfaat signifikan dibandingkan pacu RV pada populasi pasien yang diteliti. Oleh sebab itu, terapi pacu RV tetap dapat dijadikan standar di Indonesia, dengan pertimbangan biaya dan ketersediaan alat. Namun, tetap perlu diingat bahwa pemilihan jenis pacu akan perlu disesuaikan secara individual berdasarkan skenario klinis masing-masing pasien.