IDSA (Infectious Diseases Society of America) pada tahun 2017 mengeluarkan pedoman praktik klinis diagnosis dan penatalaksanaan diare karena infeksi. Artikel ini akan membahas pedoman tersebut dan penerapannya di Indonesia, jika dibandingkan dengan panduan praktik klinis dari Ikatan Dokter Indonesia (PPK IDI) dan panduan pelayanan kesehatan anak di rumah sakit dari WHO dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (WHO-DepKes).
Menurut Riskesdas 2018, prevalensi diare di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 6,8% dan berdasarkan gejala yang pernah dialami sebesar 8%. Kelompok umur dengan prevalensi diare tertinggi pada 1‒4 tahun sebesar 11,5% dan bayi sebesar 9%. Kelompok umur 75 tahun ke atas juga merupakan kelompok umur dengan prevalensi tinggi, yaitu 7,2%. Selain itu, diare masih menjadi penyebab utama kematian pada bayi dan anak. Dokter perlu mewaspadai red flag diare pada anak.[1]
Pedoman Penanganan Gastroenteritis dari IDSA
Pedoman penanganan gastroenteritis dari IDSA digunakan oleh tenaga kesehatan yang merawat pasien dewasa maupun anak dengan diare yang dicurigai atau terdiagnosa infeksius. Berdasarkan bukti dalam pengelolaan diare infeksius akut atau persisten pada bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa di Amerika Serikat, pedoman ini menggantikan pedoman sebelumnya yang diterbitkan pada tahun 2001.[2]
Pedoman dari IDSA memberikan rekomendasi dalam menentukan gambaran klinis, demografi, dan epidemiologi yang memiliki implikasi diagnostik atau manajemen pasien diare. Selanjutnya rekomendasi penegakkan diagnosis, penatalaksanaan empiris diare infeksi, manajemen terarah dari diare infeksi, pengobatan suportif, manajemen penunjang, pencegahan, dan pelaporan.[2]
Penerapan di Indonesia
Beberapa poin rekomendasi pada pedoman penanganan gastroenteritis dari IDSA yang dapat diterapkan di Indonesia, sesuai dengan panduan yang saat ini berlaku di Indonesia, adalah rekomendasi pemberian rehidrasi, makanan, antibiotik yang sesuai indikasi, obat antidiare, zinc, dan edukasi. Depkes RI telah membuat standar penatalaksanaan diare dalam lima langkah tuntaskan diare (LINTAS Diare), yaitu:
- Pemberian oralit (rehidrasi)
- Pemberian zinc
- Pemberian ASI atau makanan
- Pemberian antibiotik hanya atas indikasi
- Pemberian nasihat[1]
Rehidrasi
Rehidrasi merupakan tindakan utama untuk mencegah dehidrasi yang dapat menyebabkan kematian pasien dengan diare. Derajat dehidrasi dapat dikategorikan menjadi ringan, sedang, dan berat.
Pedoman Rehidrasi dari IDSA
Rekomendasi IDSA untuk menangani dehidrasi tergantung derajat dehidrasi, usia, dan berat badan bayi/anak.
Dehidrasi Ringan-Sedang pada Anak:
Oral rehydration solution (ORS) diberikan 50–100 mL/kgBB dalam waktu 3–4 jam. Kemudian dilanjutkan dengan cairan rumatan sebagai berikut:
- Berat badan <10 kg: cairan oral 60–120 mL pada setiap kejadian diare atau muntah, dapat diberikan hingga 500 mL/hari
- Berat badan >10 kg: cairan oral 120–240 mL pada setiap kejadian diare atau muntah, dapat diberikan hingga 1 L/hari[2]
Dehidrasi Ringan-Sedang pada Dewasa:
Pasien remaja dan dewasa dengan berat badan ≥ 30 kg diberikan cairan rehidrasi oral ad libitum atau sesuai keinginan. Hingga mencapai 2 L/hari.[2]
Dehidrasi Berat:
Cairan untuk pasien dengan dehidrasi berat adalah pemberian cairan kristaloid isotonik secara bolus intravena hingga nadi, perfusi, dan status mental kembali normal. Volume resusitasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan curah jantung adalah:
- Bayi dengan malnutrisi: 10 mL/kgBB
- Anak, remaja, dan dewasa: 20 mL/kgBB[2]
Cairan rumatan yang disarankan sama dengan dehidrasi ringan-sedang. Bila pasien tidak dapat minum, maka cairan dapat diberikan melalui pipa nasogastrik. Cairan untuk rumatan dapat diberikan dekstrosa 5% ditambah 0,25 NaCl 0,9%, dan 20 mEq/L KCl (kalium klorida) secara intravena.[2]
Pedoman Rehidrasi pada PPK IDI
Panduan praktik klinis dari Ikatan Dokter Indonesia (PPK IDI) merekomendasikan untuk menggunakan metode berat jenis (BJ) plasma atau skor Daldiyono untuk menentukan derajat diare pasien dewasa. Pasien diare diberikan cairan intravena NaCl 0.9% atau ringer laktat dalam waktu 2 jam pertama sesuai rumus defisit atau kebutuhan cairan sebagai berikut:
Atau
Pada jam ke-3, selama satu jam cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan pada saat pemberian cairan rehidrasi dalam 2 jam sebelumnya. Pemberian cairan Jam berikutnya berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan insensible water loss.[3,4]
Terapi cairan dapat diganti peroral bila tidak ada tanda syok dan/atau skor Daldiyono kurang dari 3. Bila terdapat syok hipovolemik, maka diatasi dengan cairan kristaloid isotonik 20 mL/kgBB bolus, dan dapat diulang. Sisa defisit cairan diatasi sebanyak 50% pada 8 jam pertama dan 50% pada 16 jam setelahnya. Target produksi urin adalah 0,5–1 mL/kgBB/jam.[3-5]
Pedoman Rehidrasi dari WHO-DepKes
Panduan pelayanan kesehatan anak di rumah sakit dari WHO dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (WHO-Depkes) merekomendasikan terapi cairan untuk pasien diare anak-anak sebagai berikut:
- Dehidrasi ringan-sedang: cairan oralit 75 mL/kgBB dalam 3 jam, atau lebih sesuai keinginan pasien
- Dehidrasi berat untuk bayi <12 bulan: intravena 30 mL/kgBB dalam 1 jam pertama, dilanjutkan dengan 70 mL/kgBB dalam 5 jam berikutnya
- Dehidrasi berat untuk anak 1–5 tahun): intravena 30 mL/kgBB dalam 30 menit pertama, dilanjutkan dengan 70 mL/kgBB dalam 2,5 jam berikutnya[6]
Pemberian Zinc
IDSA merekomendasikan pemberian zinc untuk diare pada anak usia 6 bulan – 5 tahun. Terutama bila anak tinggal pada daerah yang memiliki prevalensi defisiensi zinc tinggi, atau terdapat tanda malnutrisi.[2]
PPK IDI tidak menyebutkan pemberian zinc untuk pasien diare. Sedangkan panduan pelayanan kesehatan anak di rumah sakit dari WHO-DepKes merekomendasikan dosis zinc untuk anak adalah:
- Usia <6 bulan: dosis 10 mg selama 10 hari
- Usia >6 bulan – 5 tahun: dosis 20 mg selama 10 hari[6]
Tidak ditemukan rekomendasi pemberian zinc pada pasien dewasa.
Pemberian ASI atau Makanan
Ketiga pedoman penanganan gastroenteritis menyebutkan bahwa pemberian ASI dan makanan dilakukan segera setelah memungkinkan dan proses rehidrasi selesai. Pemberian produk susu sapi disarankan untuk dihindari, tetapi belum ada penelitian yang secara jelas menghubungkan produk tersebut dengan diare akibat infeksi. Panduan PPK IDI menambahkan rekomendasi untuk menghindari minuman yang mengandung alkohol dan/atau kafein.[2,3,6]
Pemberian Antibiotik Atas Indikasi
Terapi antibiotik hanya diberikan bila dicurigai adanya infeksi bakteri atau protozoa. IDSA menyebutkan bahwa pemilihan antibiotik tergantung pada pola kuman setempat. Terapi empirik untuk anak dan dewasa yang imunokompeten adalah golongan fluorokuinolon (ciprofloxacin) dan makrolida (azitromisin). Sedangkan untuk bayi <3 bulan atau anak dengan gangguan neurologis direkomendasikan sefalosporin generasi ke-3 seperti cefotaxime.[2]
Pilihan antimikroba untuk dewasa yang disarankan oleh PPK IDI adalah ciprofloxacin dan kotrimoksazol (trimetoprim/sulfametoxazol). Bila dicurigai giardiasis maka pilihan obat adalah metronidazole.[3,4]
Panduan pelayanan kesehatan anak di rumah sakit dari WHO-DepKes menyebutkan bahwa antibiotik untuk diare pada anak hanya pada diare berdarah, kolera, dan komorbid infeksi lain. Pilihan antibiotik untuk anak adalah:
Kolera: tetrasiklin, doksisiklin, kotrimoksazol, eritromisin, atau kloramfenikol
- Kecurigaan amebiasis dan giardiasis: metronidazole oral[6]
Pemberian Nasihat atau Edukasi
Pemberian edukasi disarankan oleh IDSA, PPK IDI, dan WHO-DepKes untuk menghentikan rantai penularan infeksi diare baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Saran tersebut antara lain menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan yang baik, serta menjaga higiene dan sanitasi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi.[2,3,6]
Terapi Suportif Lainnya
Terapi suportif lainnya yang dibahas di sini adalah pemberian probiotik dan obat antidiare.
Probiotik
Pemberian preparat probiotik disarankan IDSA pada diare dewasa dan anak-anak karena dapat mengurangi keparahan gejala dan durasi penyakit. Namun, pedoman dari PPK IDI dan WHO-DepKes untuk diare tidak menyatakan pemberian probiotik untuk kasus diare.[2]
Dalam prakteknya, dokter di Indonesia kadang memberikan tambahan probiotik pada anak diare usia 1–5 tahun. Suatu penelitian di Indonesia, pada tahun 2016, menyimpulkan bahwa probiotik dapat mengurangi durasi diare (p = 0.014), sehingga pemberian probiotik dapat memberikan keuntungan. Namun, beberapa uji klinis pada tahun 2018 melaporkan bahwa pemberian probiotik tidak bermanfaat untuk gastroenteritis anak dibandingkan plasebo.[7,8]
Obat Antidiare
Dalam rekomendasi IDSA dan PPK IDI, pemberian obat-obatan antidiare seperti antimotilitas (loperamide) dapat diberikan pada dewasa dengan diare akut cair. Namun, tidak boleh diberikan pada kasus toksik megakolon dan disentri dengan demam. Pemberian loperamid pada anak-anak <18 tahun tidak disarankan oleh IDSA.[2,3,4]
Obat antidiare lain yang direkomendasikan oleh PPK IDI adalah difenoksilat atropin, tingtur opium, bismut subsalisilat, atapulgit atau smectite, dan racecadotril. Pemberian bismut subsalisilat harus dengan perhatian pada penderita imunokompromais.[3,4]
WHO-DepKes tidak menyarankan pemberian semua obat antidiare pada anak dengan disentri maupun kasus diare akut atau persisten.[6]
Kesimpulan
Beberapa rekomendasi dari pedoman penanganan pasien gastroenteritis dari IDSA (Infectious Diseases Society of America) dapat diterapkan di Indonesia, karena sesuai dengan panduan yang berlaku. Di antaranya dengan panduan praktik klinis dari Ikatan Dokter Indonesia (PPK IDI) dan panduan pelayanan kesehatan anak di rumah sakit dari WHO dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (WHO-DepKes).
Pedoman untuk rehidrasi IDSA secara garis besar tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia, namun sedikit berbeda dalam hal dosis. IDSA dan WHO-DepKes merekomendasikan pemberian zinc sesuai dosisnya pada anak-anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, dan tidak ditemukan rekomendasi ini untuk diare pada dewasa.
Pemberian ASI dan makanan direkomendasikan untuk dilakukan segera setelah memungkinkan. Pemberian produk susu sapi disarankan untuk dihindari, tetapi belum ada penelitian yang dengan jelas menyatakan ini. Disarankan juga untuk menghindari minuman beralkohol dan mengandung kafein.
Pemberian antibiotik disarankan hanya untuk kasus tertentu dan disesuaikan dengan etiologi dan pola kuman setempat. Pemberian edukasi untuk menghentikan rantai penularan infeksi baik kepada diri sendiri maupun orang lain juga disarankan oleh ketiga pedoman tersebut.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini