Prinsip tata laksana diare pada anak meliputi rehidrasi, pemberian zinc, pemberian nutrisi yang baik, pemberian antibiotik secara selektif, dan edukasi pada pengasuh. Diare merupakan manifestasi klinis gastroenteritis yang sering dialami anak, sehingga pengetahuan tentang prinsip tata laksana yang tepat perlu dipahami oleh setiap klinisi.
Di Indonesia, diare pada anak masih memiliki insidensi yang tinggi. Pada tahun 2018, jumlah bayi berusia <5 tahun yang dilayani di fasilitas kesehatan karena diare mencapai 40,9% dari total kejadian diare di fasilitas kesehatan. Ada 10 kejadian luar biasa (KLB) diare pada tahun 2018 di Indonesia. Angka kematian saat KLB diare ini dapat mencapai 4,76%. Prinsip tata laksana diare yang tepat diharapkan dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas diare pada anak.[1]
Sekilas tentang Diare dan Tanda Dehidrasi pada Anak
Diare adalah keluarnya feses dengan konsistensi encer yang terjadi ≥3 kali dalam sehari. Kondisi ini biasanya merupakan manifestasi klinis gastroenteritis, yang pada anak-anak sering disebabkan oleh rotavirus. Diare dapat disertai keluhan lain, seperti mual, muntah, rasa lemas, demam, dan penurunan nafsu makan.[2]
Diare akut biasanya sembuh secara spontan dalam 3–4 hari. Namun, pada kasus tertentu, diare dapat bersifat lebih berat. Beberapa red flag diare yang perlu mendapat penanganan segera adalah:
- Nyeri abdomen
- Diare >10 hari
- Adanya darah pada feses
- Adanya tanda dehidrasi
Berdasarkan derajat dehidrasinya, diare diklasifikasikan menjadi diare ringan, sedang, dan berat. Pada diare ringan, anak masih tampak responsif. Detak jantung, laju napas, tekanan darah, dan warna kulit juga masih normal. Selain itu, ekstremitas masih teraba hangat dan pulsasi perifer serta turgor kulit masih tampak normal.
Pada diare sedang, tampilan letargi atau iritabel, peningkatan nadi, peningkatan laju napas, tampilan mata cowong, dan membran mukosa kering mulai terlihat. Turgor kulit mengalami penurunan dan waktu pengisian kapiler mulai melambat.[2,3]
Pada diare dengan dehidrasi berat, anak dapat mengalami penurunan kesadaran, takikardia, peningkatan laju napas, hipotensi, dan perubahan warna kulit menjadi pucat. Selain itu, ekstremitas teraba dingin, pulsasi perifer teraba lemah, mata tampak sangat cowong, dan membran mukosa tampak kering. Turgor kulit juga tampak amat menurun dan waktu pengisian kapiler sangat memanjang.[3]
Prinsip Rehidrasi pada Anak dengan Diare
Berdasarkan standar WHO, cairan rehidrasi oral (oralit) yang dibutuhkan adalah cairan dengan osmolaritas 310 dan kandungan natrium 90 mmol/L. Namun, beberapa negara memiliki rekomendasi yang berbeda, misalnya Kanada yang menggunakan cairan dengan osmolaritas 250–270 dan kandungan natrium 45–60 mmol/L.
Studi terkini melaporkan bahwa cairan rehidrasi oral yang hipoosmolar bisa mengurangi jumlah diare, durasi diare, dan frekuensi muntah pada anak secara lebih baik daripada cairan standar WHO. Sementara itu, khusus untuk kolera, penggunaan cairan rehidrasi oral yang mengandung karbohidrat kompleks (bubuk beras) lebih disarankan.[4,5]
Kontraindikasi Pemberian Cairan Rehidrasi Oral
Cairan rehidrasi oral tidak boleh diberikan pada kondisi tertentu. Contohnya adalah bila anak memiliki tanda syok, berusia <1 bulan, memiliki tanda ileus, memiliki kesulitan bernapas, atau mengalami distensi abdomen yang nyeri. Sebelum memberikan cairan oral, lakukan auskultasi abdomen untuk memeriksa suara usus dan menyingkirkan kemungkinan diare terkait ileus. Anak-anak seperti ini akan membutuhkan resusitasi dengan cairan intravena dan manajemen penyakit dasarnya.[4,5]
Rehidrasi Oral untuk Diare Tanpa Dehidrasi (Plan A)
Untuk bayi yang masih menyusui, ibu dapat memberikan ASI dengan frekuensi lebih sering dan durasi lebih lama. Bayi yang menyusui secara eksklusif perlu diberikan tambahan cairan berupa oralit. Sementara itu, bayi yang tidak menyusui eksklusif dapat menerima tambahan cairan berupa oralit atau cairan dari makanan seperti sup.
Anjuran pemberian oralit untuk anak usia 1–2 tahun adalah 50–100 ml setelah defekasi dan untuk anak usia ≥2 tahun adalah 100–200 ml setelah defekasi. Bila anak muntah, tunggu 10 menit lalu lanjutkan pemberian dengan perlahan. Berikan oralit sampai diare berhenti. Plan A ini juga dapat diberikan untuk maintenance anak dengan dehidrasi yang sudah berhasil direhidrasi.[4,5]
Rehidrasi Oral untuk Diare dengan Dehidrasi Ringan-Sedang (Plan B)
Untuk rehidrasi anak-anak dengan diare dehidrasi ringan-sedang, dokter perlu mencari tahu berat badan anak. Bila berat badan tidak bisa diketahui, rehidrasi dapat dilakukan berdasarkan usia anak. Penjabaran lebih detail dimuat dalam tabel di bawah.[4,5]
Tabel 1. Rekomendasi Rehidrasi Anak dengan Dehidrasi Ringan-Sedang
Berat | <6 kg | 6 kg sampai <10 kg | 10 kg sampai <12 kg | 12–19 kg |
Usia | Sampai 4 bulan | 4 bulan sampai 12 bulan | 12 bulan sampai 2 tahun | 2 tahun sampai 5 tahun |
Volume cairan | 200–450 mL selama 4 jam | 450–800 mL selama 4 jam | 800–960 mL selama 4 jam | 960–1600 mL selama 4 jam |
Jika anak ingin cairan lebih banyak, berikan sesuai keinginannya. Bila anak muntah, tunggu selama 10 menit lalu berikan cairan kembali dengan perlahan. Pemberian ASI juga tetap dilanjutkan sesuai keinginan anak. Setelah rehidrasi selama 4 jam, periksa kembali status dehidrasi anak dan berikan plan yang sesuai.
Rehidrasi Oral untuk Diare dengan Dehidrasi Berat (Plan C)
Pada anak dengan dehidrasi berat, rehidrasi intravena harus diberikan secepatnya. Bila anak masih bisa minum, minta anak untuk minum sambil akses intravena dipasang. Cairan yang diberikan adalah Ringer Laktat 100 mL/kg, yang dapat dibagi sesuai tabel di bawah.
Tabel 2. Rekomendasi Rehidrasi Anak dengan Dehidrasi Berat
Usia | Pemberian pertama 30 mL/kg dalam waktu | Pemberian kedua 70 mL/kg dalam waktu |
<12 bulan | 1 jam | 5 jam |
12 bulan–5 tahun | 30 menit | 2,5 jam |
Selalu monitor anak setiap 1–2 jam. Bila status hidrasi belum membaik, cairan IV dapat diberikan lebih cepat. Berikan cairan rehidrasi oral 5 ml/kg/jam sebisa mungkin setelah anak dapat minum.
Evaluasi status hidrasi bayi setelah pemberian cairan IV selama 6 jam dan evaluasi status hidrasi anak setelah pemberian cairan IV selama 3 jam. Lalu, sesuaikan plan berikutnya dengan status hidrasi terbaru. Periksa juga level glukosa darah dan natrium pada anak yang dehidrasi berat atau pada anak dengan perubahan kesadaran.[4]
Pada kondisi di mana cairan intravena tidak bisa diberikan dan anak tidak bisa minum, berikan cairan rehidrasi oral via nasogastric tube (NGT) sebanyak 20 ml/kg/jam selama 6 jam (total 120 ml/kg). Evaluasi setiap 1–2 jam sambil menunggu akses intravena.[4]
Prinsip Pemberian Zinc pada Anak dengan Diare
Penelitian pada anak-anak berusia 28 hari sampai 5 tahun yang mengalami diare akut menunjukkan bahwa suplementasi zinc oral efektif untuk mengurangi durasi diare dan memperbaiki konsistensi feses.[4,6,7]
Pada anak usia 2–6 bulan, berikan 10 mg zinc tiap hari selama 14 hari. Sementara itu, pada anak usia >6 bulan, berikan 20 mg zinc tiap hari selama 14 hari. Pada bayi, larutkan zinc ke dalam ASI perah, cairan rehidrasi oral, atau air putih. Pada anak yang lebih besar, zinc dapat dikonsumsi langsung atau dilarutkan dalam air.[4]
Prinsip Pemberian Nutrisi pada Anak dengan Diare
Pemberian nutrisi dari susu dan/atau makanan padat (sesuai usia anak) tidak boleh ditunda selama diare. Pada bayi yang masih menyusui secara eksklusif, berikan ASI sesering mungkin sesuai yang bisa diterima oleh bayi. Pada bayi usia <1 tahun yang mengalami intoleransi laktosa sementara, dilusi susu atau pemberian susu nonlaktosa selama diare mungkin diperlukan.[4,8]
Pemberian makanan sedini mungkin dapat mengurangi abnormalitas permeabilitas intestinal yang terjadi pada gastroenteritis akut. Selain itu, pemberian makan secara langsung dapat meningkatkan regenerasi enterosit dan dapat mempercepat perbaikan disakarida pada villi membran usus.[5]
Prinsip Pemberian Antibiotik pada Anak dengan Diare
Sebagian besar diare pada anak disebabkan oleh rotavirus. Namun, pada beberapa kasus, diare dapat terjadi akibat infeksi bakteri. Antibiotik diberikan pada kasus diare yang berat, invasif, dan lama, atau pada pasien yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami komplikasi.
Pemilihan antibiotik didasarkan pada kecurigaan mikroba, kondisi pasien, dan status epidemiologi lokal. Terapi empiris yang dapat diberikan adalah kotrimoksazol oral atau metronidazole. Namun, pada diare berat, dapat diberikan antibiotik parenteral berupa ceftriaxone atau ciprofloxacin. Penggunaan antibiotik pada anak-anak harus berhati-hati karena ada risiko efek samping.[8]
Prinsip Edukasi Keluarga Anak dengan Diare
Dokter perlu memberikan edukasi pada keluarga atau pengasuh ketika anak mengalami diare. Edukasi meliputi cara memberikan cairan di rumah dan kapan perlu membawa anak kembali ke petugas kesehatan. Beberapa tanda bahaya adalah demam, feses berdarah, muntah berulang, ketidakmampuan untuk makan/minum, tampak sangat haus, diare semakin sering, atau diare belum membaik selama 3 hari.[4,5]
Berikan juga penjelasan pada pengasuh bahwa pemberian obat lain seperti antidiare, activated charcoal, dan kaolin tidak dianjurkan. Selain itu, dokter juga mengedukasi tentang upaya pencegahan diare di masa depan. Contohnya adalah dengan meminta pengasuh melakukan hal berikut:
- Memberikan ASI eksklusif pada bayi 6 bulan dan diteruskan sampai 2 tahun
- Memberikan makanan pendamping ASI sesuai usia
- Memberikan minum air yang bersih
- Mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum makan, sesudah defekasi, atau setelah memegang benda kotor
- Membuang tinja bayi dengan benar[4,5]
Kesimpulan
Diare pada anak masih menjadi permasalahan kesehatan yang signifikan di Indonesia. Penatalaksanaan diare yang terlambat dan kurang tepat dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas anak. Prinsip tata laksana diare pada anak adalah dengan rehidrasi, pemberian zinc, pemberian nutrisi sedini mungkin, pemberian antibiotik yang bersifat selektif, dan edukasi kepada keluarga atau pengasuh anak.