Panduan Profilaksis Antibiotik pada Pasien Trauma

Oleh :
dr. Harris Bartimeus, Sp.B

Profilaksis antibiotik merupakan salah satu cara terbaik untuk mencegah komplikasi infeksi pada pasien dengan trauma. Pasien trauma umumnya memiliki lesi dengan faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi infeksi. Pencegahan infeksi hingga sepsis dapat meningkatan luaran klinis pasien. Meski begitu, cara dan kebiasaan penggunaan antibiotik yang melewati batas dapat menimbulkan harm bagi pasien, termasuk timbulnya resistensi antibiotik.[1-3]

Idealnya, pemberian profilaksis antibiotik harus spesifik untuk tiap pasien berdasarkan karakteristik klinisnya. Selain itu, selain untuk menurunkan risiko infeksi, pemberian profilaksis antibiotik juga harus mampu menurunkan kemungkinan terjadinya resistensi dan tidak menimbulkan efek samping pada pasien.[1,2]

Panduan Profilaksis Antibiotik pada Pasien Trauma

Trauma Kepala dan Otak

Trauma kepala dan otak terbagi menjadi trauma tumpul dan trauma tembus. Hasil bukti ilmiah yang ada masih saling bertentangan mengenai perlu tidaknya pemberian profilaksis antibiotik pada trauma kepala dan otak. Terdapat studi yang menunjukkan tidak ada keuntungan dari pemberian antibiotik profilaksis, tetapi ada pula yang menunjukkan adanya manfaat.[1,4,5]

Indikasi Pemberian Profilaksis Antibiotik

Secara umum, profilaksis antibiotik tidak diindikasikan pada kasus trauma tumpul jika pasien diobati secara non-operatif. Di sisi lain, prolonged prophylactic antibiotic atau profilaksis antibiotik jangka panjang (24 jam) direkomendasikan untuk diberikan pada kasus trauma tembus.[1,4,5]

Pilihan Antibiotik

Pilihan antibiotik yang dapat digunakan adalah ceftriaxone, ampicillin-sulbactam, atau penicillin.[1,4,5]

Trauma Maksilofasial

Infeksi merupakan salah satu komplikasi tersering pada kasus trauma maksilofasial, terutama pada fraktur terbuka mandibula. Terdapat studi yang mengindikasikan bahwa tingkat infeksi pada fraktur mandibula bisa mencapai 43,9%. Kontaminasi bakteri pada trauma maksilofasial sangat berkaitan dengan flora dari kulit dan area naso-orofaring, yang mencakup bakteri aerob dan anaerob. Oleh karena itu, pemberian profilaksis antibiotik harus mencakup bakteri-bakteri tersebut.[1,6,7]

Indikasi Pemberian Profilaksis Antibiotik

Secara garis besar, profilaksis antibiotik direkomendasikan untuk diberikan pada pasien trauma tumpul maksilofasial yang memerlukan tindakan operatif atau reduksi terbuka dan trauma tembus maksilofasial. Prolonged prophylactic antibiotic dapat dipertimbangkan pada pasien trauma maksilofasial yang dioperasi dan pada kasus di mana cedera disertai dengan kontaminasi luka.[1,6,7]

Pilihan Antibiotik

Belum ada data yang cukup untuk menentukan pilihan antibiotik apa yang terbaik pada kasus trauma maksilofasial. Meski demikian, kebanyakan studi yang tersedia menggunakan antibiotik beta laktam, seperti amoxicillin klavulanat.

Jika sumber patogen adalah flora kulit, maka cefazolin adalah antibiotik pilihan karena mencakup kokus Gram-positif. Pada pasien yang menjalani pembedahan maksilofasial, di mana patogen kemungkinan termasuk flora orofaring, maka antibiotik spektrum luas, seperti amoxicillin dengan asam klavulanat atau cefazolin dengan metronidazole, dapat dipertimbangkan.[1,6,7]

Trauma Toraks

Secara umum, 70-90% pasien yang menderita trauma toraks derajat sedang sampai berat akan membutuhkan pemasangan selang torakostomi. Selain itu, kondisi hemothorax dan kasus trauma tembus toraks akan meningkatkan risiko pneumonia maupun empyema. Kajian sistematik oleh Ayoub et al (2019) mendapatkan bahwa kelompok pasien trauma toraks yang mendapatkan profilaksis antibiotik memiliki angka kejadian pneumonia dan empyema lebih rendah.

Meski demikian, hasil studi yang ada masih saling bertentangan. Terdapat studi yang menunjukkan manfaat dari pemberian profilaksis antibiotik sebelum pemasangan selang torakostomi untuk menurunkan risiko terjadinya empyema pada pasien trauma dengan hemothorax ataupun pneumothorax. Namun, ada pula yang mengindikasikan bahwa tidak ada keuntungan dari pemberian profilaksis antibiotik untuk mencegah risiko infeksi pada trauma toraks.[1,2,8,9]

Indikasi Pemberian Profilaksis Antibiotik

Secara umum, pemberian profilaksis antibiotik diindikasikan pada kasus trauma tumpul dan tembus toraks yang akan menjalani pemasangan selang torakostomi ataupun eksplorasi bedah.  Selain itu, pemberian profilaksis antibiotik juga diindikasikan pada pasien hemotoraks yang menjalani drainase yang tertunda. Profilaksis antibiotik tidak diindikasikan pada pasien trauma tumpul toraks yang tidak menjalani intervensi bedah.[1,10]

Trauma Abdomen

Pada pasien dengan trauma abdomen, terdapat 3 hal yang perlu diperhatikan, yaitu tingginya risiko kontaminasi, membedakan mekanisme trauma antara tumpul dan tembus, dan kemungkinan adanya cedera organ berongga, seperti lambung dan usus.[1,11,12]

Indikasi Pemberian Profilaksis Antibiotik

Secara umum, pemberian profilaksis antibiotik tidak diindikasikan pada kasus trauma tumpul abdomen yang diterapi secara non-operatif. Profilaksis antibiotik diindikasikan pada pasien dengan trauma tembus abdomen, terutama yang menjalani tindakan eksplorasi bedah. Sementara itu, prolonged prophylactic antibiotic perlu dipertimbangkan dalam kondisi didapatkan cedera organ berongga.

Korean Society of Acute Care Surgery (2019) memberikan beberapa rekomendasi yang lebih mendetail perihal penggunaan antibiotik pada pasien dengan trauma abdomen:

  • Apabila cedera organ berongga dapat diperbaiki dalam kurun waktu kurang dari 12 jam, maka pemberian antibiotik dapat dibatasi hingga 24 jam saja.
  • Bila cedera organ berongga baru dapat diperbaiki lebih dari 12 jam, maka pemberian antibiotik diperpanjang hingga 7 hari.
  • Pemberian antibiotik dapat diperpanjang lebih dari 7 hari apabila cedera organ berongga tidak dapat diperbaiki dengan sempurna.[1,11,12]

Pilihan Antibiotik

Untuk pilihan antibiotik, Korean Society of Acute Care Surgery merekomendasikan sefalosporin generasi kedua, seperti cefoxitin, sebagai pilihan utama dan sefalosporin generasi ketiga, seperti cefotaxime, sebagai alternatifnya. Dalam kasus pasien yang mengalami syok hemoragik, dosis antibiotik yang diberikan dapat ditingkatkan 2-3 kali lipat, dan dapat diulangi setelah transfusi setiap 10 unit darah sampai tidak ada lagi kehilangan darah.[1,11,12]

Fraktur Terbuka

Fraktur tulang panjang dapat menjadi sumber infeksi akut maupun kronik. Adanya infeksi pada kasus fraktur terbuka akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan penyembuhan luka operasi, non-union, dan instabilitas tulang.  Banyak studi yang diterbitkan mengenai panduan manajemen fraktur terbuka, terutama mengenai penggunaan antibiotik, tetapi heterogenitasnya cukup tinggi.[1,13-15]

Indikasi Pemberian Profilaksis Antibiotik

Secara garis besar, pedoman klinis yang ada merekomendasikan pemberian profilaksis antibiotik pada seluruh kasus fraktur terbuka. Antibiotik disarankan untuk diberikan secepat mungkin. Meski demikian, penggunaan antibiotik dalam waktu yang terlalu lama (7-10 hari) tidak direkomendasikan. Termasuk pada kasus fraktur terbuka terkait luka tembak, pemberian profilaksis antibiotik melebihi 24 jam tidak disarankan.[1,13-15]

Pilihan Antibiotik

Pilihan antibiotik bisa didasarkan pada klasifikasi keparahan fraktur menurut sistem Gustilo-Anderson. Untuk fraktur terbuka tipe I dan II, dapat diberikan sefalosporin generasi pertama, seperti cephalexin. Untuk fraktur terbuka tipe III, dapat diberikan sefalosporin generasi pertama ditambah aminoglikosida, seperti gentamicin. Alternatif untuk tipe III adalah piperacillin/tazobactam. Di sisi lain, fluorokuinolon tidak direkomendasikan karena efek buruk pada proses penyembuhan tulang.[18,19]

Luka Bakar

Infeksi pada luka bakar dapat mempersulit penyembuhan luka, menyebabkan gagalnya skin graft, dan meningkatkan risiko kematian. Meski demikian, pemberian rutin profilaksis antibiotik pada pasien luka bakar tidak direkomendasikan. Pencegahan infeksi yang direkomendasikan adalah melakukan irigasi luka, perawatan luka, dan debridemen dengan baik.

Profilaksis antibiotik dapat dipertimbangkan pada kasus luka bakar berat yang memerlukan intubasi dan bantuan ventilasi mekanik, serta pasien luka bakar yang memerlukan skin graft.[1,16,17]

Trauma Kulit dan Gigitan

Mayoritas kasus trauma kulit non-komplikata tidak memerlukan pemberian profilaksis antibiotik. Sebuah tinjauan menunjukkan bahwa pemberian profilaksis antibiotik tidak lebih superior dibandingkan irigasi luka dalam mencegah infeksi akibat trauma kulit.

Di sisi lain, untuk trauma gigitan, keperluan pemberian profilaksis antibiotik dinilai berdasarkan kasus per kasus. Pemberian profilaksis antibiotik secara universal pada semua kasus gigitan tidak direkomendasikan. Irigasi, disinfeksi luka, dan pencegahan tetanus dan rabies merupakan pendekatan yang lebih disarankan.[1,2]

Kesimpulan

Pemberian profilaksis antibiotik pada pasien trauma harus dipertimbangkan dan disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien. Pemberian profilaksis antibiotik yang membabi buta pada seluruh kasus tanpa mempertimbangkan manfaat dan risikonya tidak disarankan. Secara garis besar, pemberian antibiotik dilakukan pada kasus yang berisiko tinggi infeksi, seperti trauma tembus atau trauma yang akan menjalani pembedahan.

Referensi