Pada anak yang muntah setelah mengalami cedera kepala, keputusan tentang perlu tidaknya CT scan masih sering menjadi perdebatan antar dokter. Pembuatan keputusan ini terutama membingungkan bila anak hanya mengalami isolated vomiting, yaitu suatu kejadian muntah yang tidak disertai keluhan lain.
Trauma kepala anak merupakan keluhan yang sering menyebabkan kunjungan ke unit gawat darurat. Di Amerika Serikat, trauma kepala anak menyebabkan sekitar 450.000 kunjungan ke unit gawat darurat tiap tahunnya. Trauma kepala mencakup sekitar 80% dari cedera traumatik yang menyebabkan kematian pada anak-anak berusia >1 tahun di Amerika Serikat.[1,2]
Sering kali, kecurigaan tentang adanya cedera otak traumatik pada anak yang muntah setelah trauma kepala menyebabkan dokter melakukan pemeriksaan dan tata laksana yang berlebihan (overtreatment). Artikel ini akan membahas apakah pemeriksaan CT scan diperlukan pada anak yang mengalami isolated vomiting setelah cedera kepala.
Kendala Diagnosis Anak dengan Trauma Kepala
Pada cedera otak traumatik, dokter harus mempertimbangkan perlu tidaknya pasien menjalani CT scan kepala yang merupakan pemeriksaan gold standard. Salah satu faktor yang sering dikaitkan dengan risiko cedera kepala signifikan adalah muntah; yang juga digunakan untuk mempertimbangkan pemeriksaan CT scan.[3]
Namun, CT scan memberikan risiko radiasi pada otak anak dan dapat menyebabkan keganasan dengan mortalitas sebesar 1 kematian per 1.000–5.000 CT scan kepala anak-anak. Oleh karena itu, manfaat dan risiko penggunaan CT scan pada anak-anak harus dievaluasi lebih lanjut lagi.[3]
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengkategorikan mual dan muntah berulang (3–4 kali) sebagai cedera kepala risiko sedang, yang dianjurkan untuk menjalani CT scan. Rekomendasi ini serupa dengan algoritme lain seperti Children’s Head Injury Algorithm for the Prediction of Important Clinical Events (CHALICE) yang menyarankan CT scan bila pasien muntah ≥3 kali.[4,5]
Anjuran lain dari Pediatric Emergency Care Applied Research Network (PECARN) menyatakan bahwa kasus muntah berapa kali pun pada anak yang berusia ≥2 tahun memerlukan CT scan. Namun, muntah terisolasi (isolated vomiting) hanya merupakan risiko menengah (moderat) dan sebaiknya diobservasi terlebih dahulu.[3]
Akurat Tidaknya Prediksi Cedera Otak Traumatik Berdasarkan Muntah
Muntah dan cedera kepala sering dikaitkan satu sama lain tetapi korelasinya belum dapat ditetapkan secara pasti. Suatu meta analisis pernah mengumpulkan data 14.092 anak dan menilai berbagai variabel untuk memprediksi cedera intrakranial signifikan. Hasil menunjukkan bahwa muntah, baik sekali maupun berkali-kali, bukan merupakan prediktor perdarahan intrakranial atau cedera kepala yang kuat.[6]
Muntah Tanpa Gejala Lain atau Isolated Vomiting
Analisis sekunder oleh Borland, et al. juga pernah mencari asosiasi antara muntah dan risiko cedera otak traumatik pada 19.920 anak. Hasil menunjukkan bahwa traumatic brain injury on CT (TBI-CT) dan clinically important traumatic brain injury (ciTBI) jarang ditemukan pada anak-anak dengan cedera kepala dan isolated vomiting. Menurut studi ini, tata laksana yang sesuai untuk cedera kepala dengan isolated vomiting adalah observasi tanpa CT scan segera.[3]
Clinically important traumatic brain injury (ciTBI) atau cedera kepala yang signifikan secara klinis adalah cedera kepala yang memiliki risiko kematian, intervensi bedah saraf, intubasi, dan rawat inap >2 malam di rumah sakit.[3,7]
Sementara itu, traumatic brain injury on CT (TBI-CT) adalah cedera otak traumatik yang tampak pada gambaran CT, seperti perdarahan intrakranial, kontusio, edema serebral, infark traumatik, cedera akson diffuse, cedera shear, sigmoid sinus thrombosis, dan pergeseran midline atau herniasi. Contoh lain adalah pneumosefalus, fraktur depresi tengkorak selebar dasar tengkorak, dan diastasis tengkorak.[3,7]
Muntah merupakan gejala yang sering ditemukan (17%) setelah cedera kepala tetapi jarang sekali menandakan suatu ciTBI atau TBI-CT bila terjadi tanpa gejala lain. Pada 172 pasien dengan ciTBI, 76 mengalami muntah. Pada 285 pasien dengan TBI-CT, 123 mengalami muntah. Namun, saat melihat data muntah terisolasi, hanya 1 (0,3%) pasien mengalami ciTBI dan hanya 2 pasien (0,6%) mengalami TBI-CT.[3]
Muntah yang Disertai Gejala Lain
Gejala lain yang meningkatkan risiko ciTBI adalah tanda-tanda fraktur tengkorak, gangguan kesadaran, perubahan sikap, dan nyeri kepala. Risiko ciTBI dengan muntah meningkat bila pasien juga memiliki tanda fraktur kranium (OR 80,1), gangguan status mental (OR 2,4), nyeri kepala (OR 2,3), dan perilaku abnormal (OR 1,86).[3]
Risiko TBI-CT meningkat dengan adanya fraktur kranium (OR 112,96), nonaccidental injury concern (OR 6,75), nyeri kepala (OR 2,55), dan perilaku abnormal (OR 1,83). Penelitian ini menemukan lebih banyak pasien dengan TBI-CT daripada ciTBI.[3]
Dokter harus dapat membedakan ciTBI dan TBI-CT karena pembuatan keputusan klinis sebaiknya didasarkan pada kasus yang memang membutuhkan intervensi klinis dan bukan hanya pada kelainan radiologis yang mungkin tidak memerlukan intervensi.[3]
Penemuan yang serupa juga didapat oleh Dayan, et al. tahun 2008 yang melaporkan bahwa cedera kepala signifikan jarang terjadi pada pasien isolated vomiting tetapi risiko meningkat dengan adanya gejala lain.[1]
Kesimpulan
Pencitraan dengan CT scan merupakan gold standard untuk diagnosis cedera otak traumatik pada anak. Namun, CT scan memaparkan anak-anak dengan radiasi. Untuk mengurangi penggunaan CT scan, beberapa peneliti akhirnya berusaha memprediksi cedera otak traumatik berdasarkan gejala muntah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolated vomiting (muntah tanpa gejala lain) jarang sekali berhubungan dengan cedera kepala yang signifikan (ciTBI atau TBI-CT). Namun, risiko ini meningkat bila muntah disertai dengan gejala-gejala cedera lain, seperti fraktur kranium, gangguan status mental, nyeri kepala, dan perilaku abnormal.
Keputusan untuk menggunakan CT scan atau tidak ketika mendiagnosis cedera kepala pada anak-anak sebaiknya dibuat dengan pertimbangan yang lebih ketat. Dokter perlu mengingat bahwa CT scan bukan merupakan suatu pemeriksaan yang bebas risiko.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur