Penatalaksanaan Konstipasi pada Anak

Oleh :
dr. Joko Kurniawan, M.Sc., Sp.A

Penatalaksanaan konstipasi pada anak perlu mempertimbangkan bukti bahwa sebagian besar kasus adalah konstipasi fungsional yang tidak disebabkan oleh kelainan organik. Konstipasi pada anak yang disebabkan oleh kelainan organik seperti Hirschsprung’s disease, malformasi anorektal, atau celiac disease cukup jarang terjadi. Sekitar 95% kasus konstipasi pada anak adalah konstipasi fungsional.[1-4]

Konstipasi terjadi pada 5–30% anak di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sepertiga diperkirakan berlanjut sebagai konstipasi kronis. Konstipasi kronis dapat mengganggu kualitas hidup anak dan menimbulkan kecemasan pada orang tua. Gejala konstipasi adalah frekuensi defekasi yang jarang dan konsistensi feses yang keras, yang bisa menyebabkan rasa nyeri saat defekasi dan straining (mengejan) berlebihan.[1-4]

Konstipasi Anak

Kriteria Diagnosis Konstipasi Fungsional pada Anak

Konstipasi fungsional tidak disebabkan oleh kelainan organik. Menurut kriteria Rome IV, anak berusia <4 tahun bisa dinyatakan mengalami konstipasi fungsional jika memenuhi minimal 2 dari kriteria berikut selama 1 bulan:

  • Frekuensi defekasi ≤2 kali per minggu
  • Riwayat menahan feses secara berlebihan
  • Riwayat nyeri atau mengejan saat defekasi
  • Riwayat feses berdiameter besar
  • Adanya massa feses besar dalam rektum[3,4]

Sementara itu, untuk anak berusia >4 tahun, kriteria Rome IV menyatakan bahwa kasus dapat dinyatakan sebagai konstipasi fungsional jika tidak memenuhi kriteria diagnosis irritable bowel syndrome (IBS) dan jika bisa memenuhi minimal 2 dari kriteria berikut paling tidak 1 kali per minggu selama minimal 1 bulan:

  • Frekuensi defekasi ≤2 kali per minggu
  • Minimal 1 episode inkontinensia feses per minggu
  • Riwayat ada postur menahan feses atau ada kemauan sendiri untuk menahan feses secara berlebihan
  • Riwayat nyeri atau mengejan saat defekasi
  • Riwayat feses berdiameter besar yang dapat menyumbat toilet
  • Adanya massa feses besar dalam rektum
  • Setelah evaluasi yang cukup, gejala yang dialami tidak bisa dijelaskan dengan kondisi medis lain[3,4]

Beberapa penyebab konstipasi kronis yang perlu dipikirkan sebelum mendiagnosis kasus sebagai konstipasi fungsional adalah Hirschsprung’s disease, celiac disease, malformasi anorektal, kelainan korda spinalis, cystic fibrosis, alergi susu sapi, gangguan neuromuskular, dan gangguan endokrin.[2,4,5]

Terapi Medikamentosa untuk Konstipasi Fungsional pada Anak

Terapi konstipasi fungsional pada anak diawali dengan disimpaksi feses lalu diikuti dengan terapi maintenance selama minimal 2 bulan untuk mencegah rekurensi. Terapi medikamentosa lini pertama untuk konstipasi fungsional pada anak adalah polyethylene glycol (PEG) 3350 dan terapi lini kedua adalah laktulosa. Kedua obat ini adalah laksatif osmotik.[1,2,6]

Dosis rekomendasi PEG adalah 1–1,5 gram/kgBB per hari selama 3–6 hari. Setelah itu, dosis maintenance dapat diberikan sebesar 0,2–0,8 gram/kgBB per hari. Studi yang menganalisis efek samping seperti mual, kembung, dan perubahan biokimia sudah membuktikan bahwa penggunaan PEG hingga 6 bulan aman. PEG tanpa elektrolit lebih mudah dikonsumsi dan lebih enak rasanya daripada PEG dengan elektrolit.[4,6]

Di Indonesia, PEG dalam sachet untuk dosis oral anak-anak belum tersedia. Karena itu, penggunaan pada anak-anak berusia <8 tahun kurang disarankan. Pengaturan dosis yang akurat berdasarkan berat badan anak mungkin sulit dilakukan.

Bila PEG tidak dapat diberikan, laktulosa dapat diberikan meskipun bersifat inferior terhadap PEG untuk terapi konstipasi anak. Dosis laktulosa adalah 1–2 gram/kgBB/hari yang terbagi dalam 1–2 dosis, yang diberikan selama beberapa bulan atau tahun sesuai kebutuhan anak. Efek samping yang mungkin terjadi adalah kembung dan kram perut. Opsi lain yang dapat digunakan adalah stool softeners seperti sediaan minyak parafin dan poloxamer.[4,6,7,8]

Terapi Nonmedikamentosa untuk Konstipasi Fungsional pada Anak

Dokter perlu memberikan edukasi kepada orang tua bahwa konstipasi fungsional yang dialami oleh anak mungkin memerlukan terapi yang berjangka waktu cukup panjang. Orang tua diminta untuk tidak menghentikan pemberian laksatif pada anaknya tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter karena anak mungkin masih mengalami pergerakan usus yang nyeri (painful bowel movement). Himbau orang tua untuk tidak memaksakan toilet training bila anak masih mengalami nyeri.[2,4,6]

Modifikasi perilaku dapat dianjurkan, yakni berupa penjadwalan waktu ke toilet selama 5–10 menit setelah makan untuk memanfaatkan refleks gastrokolik dan juga berupa pemberian hadiah jika anak mematuhi jadwal ke toilet. Meskipun bukti yang ada saat ini masih heterogen, beberapa studi menunjukkan bahwa kombinasi laksatif dan modifikasi perilaku dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada penerapan salah satu terapi saja.[2,4,6]

Penambahan konsumsi serat maupun cairan yang melebihi rekomendasi harian normal tidak terbukti bermanfaat untuk mengatasi konstipasi fungsional pada anak. Asupan serat dan cairan dianjurkan untuk diberikan sesuai rekomendasi harian normal. Anak dapat memperoleh serat dari diet alami yang seimbang, yang menyertakan sayur, buah, atau whole grains. Pemberian probiotik tidak terbukti bermanfaat untuk terapi konstipasi fungsional pada anak, sehingga tidak dianjurkan.[2,4,6]

Meta analisis yang melibatkan 52 uji klinis acak dengan total 4.668 anak berusia 2 minggu hingga 18 tahun yang diberikan intervensi nonmedikamentosa seperti probiotik, stimulasi elektrik, terapi pijat, dan terapi herbal menunjukkan hasil yang tidak konklusif untuk kasus konstipasi fungsional. Oleh karena itu, terapi-terapi ini tidak dianjurkan hingga ada bukti yang adekuat.[9]

Orang tua berperan penting dalam penatalaksanaan konstipasi pada anak. Studi yang dilakukan terhadap orang tua dengan anak yang mengalami konstipasi menunjukkan bahwa ada kesenjangan informasi perihal konstipasi fungsional pada anak. Oleh sebab itu, dokter sebaiknya tidak hanya memberikan terapi laksatif pada anak tetapi juga memberikan edukasi yang komprehensif kepada orang tua.[10]

Kesimpulan

Sekitar 95% kasus konstipasi pada anak-anak adalah konstipasi fungsional yang tidak disebabkan oleh abnormalitas organik. Untuk menangani konstipasi fungsional pada anak, dokter perlu melakukan disimpaksi feses yang kemudian diikuti dengan terapi maintenance selama minimal 2 bulan untuk mencegah rekurensi. Terkadang, terapi maintenance dalam jangka waktu lebih panjang juga diperlukan.

Terapi medikamentosa lini pertama untuk konstipasi fungsional pada anak adalah PEG atau polyethylene glycol 3350. Bila PEG tidak bisa diberikan, terapi lini kedua adalah laktulosa. Kedua obat ini merupakan laksatif osmotik.

Penambahan asupan serat dan cairan yang melebihi rekomendasi harian normal tidak terbukti bermanfaat untuk terapi konstipasi fungsional. Serat dan cairan cukup diberikan sesuai rekomendasi harian yang normal. Pemberian probiotik, terapi pijat, terapi herbal, maupun stimulasi elektrik juga belum terbukti bermanfaat.

Dokter perlu memberikan edukasi kepada orang tua karena orang tua berperan sangat penting dalam terapi konstipasi anak. Beberapa studi menunjukkan bahwa kombinasi modifikasi perilaku anak oleh orang tua dan terapi laksatif dapat memberikan hasil lebih baik daripada penggunaan salah satu terapi saja.

Referensi