Suicide crisis syndrome (SCC) atau sindrom krisis bunuh diri adalah suatu kondisi akut yang merupakan penanda peningkatan risiko perilaku bunuh diri dalam waktu dekat. Beberapa studi menunjukkan bahwa SCC adalah suatu entitas diagnosis tersendiri dengan 5 komponen utama, yaitu entrapment, affective disturbance, loss of cognitive control, altered arousal, dan social withdrawal.[1,2]
WHO melaporkan bahwa bunuh diri menyebabkan 800.000 kematian setiap tahunnya, atau setara dengan satu kematian setiap 40 detik. Bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua terbanyak pada kelompok usia 15-29 tahun.[3]
Sebagian besar pasien yang melakukan bunuh diri mengalami gangguan mental, khususnya depresi, namun tidak semua pasien dengan gangguan mental melakukan bunuh diri. Bahkan pada beberapa pasien yang melakukan bunuh diri, tidak bisa ditegakkan adanya diagnosis gangguan mental apapun. Hal ini memunculkan pendapat bahwa perilaku bunuh diri perlu mendapatkan kriteria diagnosis tersendiri.[1]
Sekilas Mengenai Suicide Crisis Syndrome
Faktor risiko jangka panjang dari tindakan bunuh diri sudah banyak diidentifikasi, misalnya riwayat gangguan mental dan riwayat percobaan bunuh diri. Namun, mengidentifikasi risiko bunuh diri dalam jangka pendek sulit dilakukan. Padahal, keinginan bunuh diri bisa baru timbul dalam 10 menit sebelum individu melakukan tindakan, yang artinya bisa saja ide bunuh diri muncul di luar setting klinis.[1,4]
Suicide crisis syndrome adalah suatu kondisi spesifik yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri yang imminen (mengancam/akan segera terjadi). [5] Sindrom ini bisa digambarkan sebagai kondisi mental pra bunuh diri yang dinilai berdasarkan adanya disregulasi kognitif dan afektif. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan oleh Yaseen et al berdasarkan hasil penilaian pasien menggunakan instrumen Suicide Trigger Scale (STS) yang dapat memprediksi perilaku bunuh diri.[1,6]
Suicide crisis syndrome mempunyai 5 komponen, yaitu :
-
Entrapment
- Gangguan afektif
- Kehilangan kontrol kognitif
- Altered arousal
Social withdrawal[1]
Sindrom ini merupakan kondisi akut yang berkembang dalam hitungan jam sampai hari sebelum perilaku bunuh diri.[7]
Kriteria Diagnosis Suicide Crisis Syndrome
Kriteria diagnosis untuk suicide crisis syndrome sudah diajukan dan diuji validitasnya. Kriteria diagnosis untuk suicide crisis syndrome terdiri dari 2 kriteria, yaitu kriteria A entrapment atau frantic hopelessness dan kriteria B yaitu associated disturbances. Kriteria B terdiri dari komponen gangguan afektif, kehilangan kendali kognitif, altered arousal, dan social withdrawal.[1,7]
Kriteria A
Kriteria A ditandai oleh adanya perasaan terjebak (entrapment) yang persisten dan perasaan putus asa. Perasaan terjebak yang dimaksudkan adalah perasaan untuk ingin segera lolos dari situasi hidup yang tidak menyenangkan, namun menemukan kenyataan bahwa situasi hidup ini tidak mungkin bisa dihindari.
Kriteria B
Kriteria B terdiri dari komponen gangguan afektif, kehilangan kendali kognitif, altered arousal, dan social withdrawal.
Gangguan Afektif :
Gangguan afektif bisa bermanifestasi menjadi beberapa gejala berbeda yang kadang saling tumpang tindih, yaitu perasaan depresi (depressive turmoil), kecemasan disertai kebingungan (frantic anxiety), anhedonia akut, dan nyeri emosional.
Kehilangan Kendali Kognitif :
Kehilangan kendali kognitif mencakup gejala ruminasi (perenungan), rigiditas kognitif, supresi pikiran, dan perenungan yang lebih dalam (ruminative flooding).
Altered Arousal :
Altered arousal, dalam hal ini sering kali dalam bentuk overarousal atau gelisah, merupakan faktor risiko akut untuk bunuh diri. Gejala overarousal bisa bermanifestasi sebagai agitasi, kewaspadaan berlebihan, iritabilitas, dan insomnia.
Social Withdrawal :
Isolasi sosial merupakan salah satu prediktor kuat untuk bunuh diri. Mereka yang mengalami isolasi, baik secara fisik maupun psikologis, mempunyai risiko lebih besar untuk bunuh diri. Manifestasinya bisa berupa penarikan diri atau penurunan aktivitas sosial dan menghindari kontak atau komunikasi dengan orang lain.
Validitas Prediktif dari Kriteria Diagnosis Suicide Crisis Syndrome
Yaseen et al mencoba menilai validitas prediktif dari kriteria diagnosis di atas. Studi dilakukan pada 170 pasien yang dirawat inap karena suicidal thoughts and behavior. Studi ini menemukan bahwa penggunaan kriteria A saja memiliki sensitivitas 55,6% dan spesifisitas 70,1%. Penggunaan kriteria B saja memiliki sensitivitas 55,6% dan spesifisitas 81,6%. Penggunaan kedua kriteria secara bersamaan memiliki sensitivitas 44,4% dan spesifisitas 92,8%.[7]
Kesimpulan
Suicide crisis syndrome atau sindrom krisis bunuh diri adalah suatu kondisi akut yang merupakan penanda peningkatan risiko perilaku bunuh diri yang imminen atau near-term. Ada 5 komponen dalam kriteria diagnostik sindrom ini, yaitu entrapment, affective disturbance, loss of cognitive control, altered arousal, dan social withdrawal. Hingga saat ini, beberapa studi menunjukkan bahwa suicide crisis syndrome adalah suatu entitas diagnosis tersendiri.
Sebuah kriteria diagnosis sudah diajukan oleh Yaseen et al dan validitas prediktifnya sudah diteliti. Walaupun spesifisitas dari kriteria diagnosis ini cukup tinggi, sensitivitasnya masih belum terlalu baik. Penelitian lanjutan terkait suicide crisis syndrome dan penggunaannya secara klinis masih diperlukan.