Routine Use of a Bougie Improves First-Attempt Intubation Success in the Out-of-Hospital Setting
Latimer AJ, Harrington B, Counts CR, et al. Routine Use of a Bougie Improves First-Attempt Intubation Success in the Out-of-Hospital Setting. Ann Emerg Med, 2020 ; 1-9. doi: 10.1016/j.annemergmed.2020.10.016
Abstrak
Latar Belakang: Stylet biasanya digunakan sebagai alat bantu untuk jalan napas yang sulit.
Tujuan: Mengevaluasi apakah angka keberhasilan intubasi pertama kali yang dilakukan oleh paramedis pada setting di luar rumah sakit berubah dengan penggunaan stylet.
Metodologi: Desain studi prospektif, observasional, pra-, dan pasca- digunakan untuk membandingkan angka keberhasilan intubasi percobaan pertama pada situasi di luar rumah sakit dengan menggunakan laringoskopi direk pada pasien yang diintubasi, 18 bulan sebelum dan sesudah perubahan protokol, yang merekomendasikan penggunaan stylet pada percobaan pertama intubasi.
Studi ini mengikutsertakan semua pasien yang dilakukan intubasi oleh paramedis. Analisis regresi logistik digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara penggunaan stylet rutin dengan angka keberhasilan intubasi pada percobaan pertama.
Hasil: Intubasi oleh paramedis dilakukan terhadap 823 pasien pada periode kontrol dan 771 pasien pada periode penggunaan stylet. Angka keberhasilan intubasi pada percobaan pertama meningkat dari 70% menjadi 77% (perbedaan 7.0% [95% interval kepercayaan 3% - 11%]). Angka keberhasilan yang lebih tinggi tersebut ditemukan pada periode penggunaan stylet pada berbagai nilai Cormack-Lehane, dengan angka keberhasilan 91%, 60%, 27%, dan 6% untuk Cormack-Lehane grade 1, 2, 3, dan 4, secara berturut-turut pada periode kontrol; dan dengan angka keberhasilan 96%, 85%, 50%, dan 14% secara berturut-turut pada periode penggunaan stylet. Intubasi pada periode penggunaan stylet berhubungan secara independen dengan angka keberhasilan intubasi pada percobaan pertama (adjusted odds ratio 2.82 [95% interval kepercayaan 1.96 - 4.01]).
Kesimpulan: Penggunaan stylet secara rutin di luar rumah sakit saat laringoskopi direk berkaitan dengan peningkatan angka keberhasilan intubasi pada percobaan pertama.
Ulasan Alomedika
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menilai kaitan antara penggunaan rutin stylet dan angka keberhasilan intubasi pada percobaan pertama, yang dilakukan oleh paramedis menggunakan laringoskopi direk pada setting di luar rumah sakit. Uji klinis tersebut dilakukan karena keterbatasan bukti yang mendukung penggunaan rutin stylet pada situasi kegawatdaruratan di luar rumah sakit.
Tindakan intubasi merupakan prosedur pengamanan jalan napas yang dapat menyelamatkan nyawa. Jumlah percobaan intubasi yang dibutuhkan untuk dapat melakukan prosedur hingga berhasil berkaitan dengan peningkatan risiko komplikasi. Selain itu, performa tenaga paramedis dalam melakukan intubasi sangat bervariasi. Performa tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, jumlah paparan dalam menangani pasien kondisi kritis, dan tingkat keterampilan dalam melakukan intubasi. Variasi performa tersebut menyebabkan angka keberhasilan intubasi oleh petugas nondokter pada percobaan pertama hanya sebesar 52% pada kondisi emergensi di luar rumah sakit.
Pada kasus emergensi di dalam rumah sakit, keberhasilan intubasi pada percobaan pertama dapat meningkat dengan penggunaan rutin stylet, khususnya pada kasus dengan visualisasi laringoskopi awal yang buruk. Beberapa studi lain juga menunjukkan bahwa penggunaan stylet meningkatkan angka keberhasilan intubasi. Selain itu, sebuah studi mendukung keamanan penggunaan rutin stylet pada intubasi yang dilakukan oleh perawat atau petugas paramedis helikopter.
Ulasan Hasil Penelitian
Luaran utama yang dipelajari dalam studi ini adalah keberhasilan intubasi pada percobaan pertama. Percobaan pertama intubasi dikatakan berhasil apabila penempatan posisi pipa endotrakea ke dalam trakea berhasil dilakukan pada percobaan laringoskopi pertama. Percobaan laringoskopi dianggap telah dilakukan apabila bilah laringoskop telah melewati gigi, tanpa memperhatikan intubasi dilakukan dengan atau tanpa stylet. Luaran sekunder pada penelitian ini adalah jumlah total percobaan yang dibutuhkan untuk berhasil mengintubasi dan kejadian hipoksia pada percobaan intubasi.
Selama periode penelitian, tingkat keberhasilan intubasi pada percobaan pertama meningkat dari 70% pada periode kontrol menjadi 77% pada periode penggunaan stylet untuk intubasi. Peningkatan angka keberhasilan tersebut terjadi pada seluruh level skor Cormack-Lehane (skor 1–4) dengan beda proporsi keberhasilan antara 5–25%. Di sisi lain, jumlah rerata percobaan intubasi hingga keberhasilan intubasi tercapai menurun dari 1,4 percobaan/pasien pada periode kontrol menjadi 1,3 percobaan/pasien pada periode penggunaan stylet.
Kepatuhan terhadap protokol penggunaan stylet untuk intubasi pada percobaan pertama mencapai 81,3% sehingga menjadi salah satu faktor utama yang menjelaskan peningkatan keberhasilan intubasi pada percobaan pertama. Analisis lanjutan mengungkapkan bahwa kejadian hipoksia saat intubasi cepat mengalami penurunan pada periode penggunaan stylet dibandingkan periode kontrol (19% vs 29,8%; 95%CI -18% s.d. -4,9%). Sementara itu, terdapat 4 pasien yang mengalami henti jantung saat 10 menit pertama prosedur intubasi baik pada periode kontrol maupun periode penggunaan stylet.
Kelebihan Penelitian
Kelebihan penelitian ini adalah desain studinya yang prospektif, observasional, yang membandingkan hasil sebelum dan sesudah penerapan kebijakan. Desain studi tersebut merupakan desain studi terbaik untuk mencapai tujuan penelitian. Selain itu, penelitian ini membandingkan angka keberhasilan intubasi pada percobaan pertama sebelum penggunaan rutin stylet dan sesudah penggunaan rutin stylet dengan durasi yang sama antar kedua kelompok, yaitu 18 bulan. Adanya penggunaan unduhan audio dan kapnografi end tidal carbon dioxide (ETCO2) mendukung verifikasi independen terhadap jumlah percobaan intubasi, alat yang digunakan, pletismografia saturasi oksigen, dan pengukuran lainnya pada setiap percobaan intubasi. Hal ini menjadi kelebihan penelitian karena mengurangi kemungkinan bias pelaporan oleh paramedis.
Limitasi Penelitian
Keterbatasan penelitian ini antara lain desain studinya yang membandingkan hasil penelitian sebelum dan sesudah penerapan kebijakan. Hal ini dapat menjadi faktor perancu karena adanya upaya peningkatan mutu yang menekankan tata laksana jalan napas pada kondisi emergensi di luar rumah sakit, seperti edukasi rutin mengenai tata laksana jalan napas yang baik dan adanya umpan balik pada setiap individu paramedis setelah menghadapi kasus yang sulit.
Selain itu, studi ini juga tidak memantau secara konsisten lama percobaan intubasi, dengan pengukuran hipoksia yang tidak dilakukan pada 18% pasien. Pelaporan grading Cormack-Lehane sebagai parameter probabilitas tingkat kesulitan intubasi tidak dapat diverifikasi secara independen. Hal ini dapat menyebabkan adanya misklasifikasi skor Cormack-Lehane akibat variasi kompetensi pemeriksa dalam melakukan laringoskopi. Sebagai tambahan, efektivitas penggunaan stylet kemungkinan tidak akurat sebab kepatuhan penggunaan stylet yang berkisar pada angka 81,3% pada periode penggunaan stylet.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Penyediaan stylet pada fasilitas kesehatan yang memiliki layanan ambulans sangat mungkin dilakukan untuk aplikasi hasil penelitian tersebut di Indonesia. Meskipun demikian, aplikasi tersebut perlu evaluasi lebih lanjut untuk menghasilkan angka keberhasilan intubasi percobaan pertama oleh paramedis yang tinggi. Evaluasi tersebut mencakup standarisasi keterampilan dan pengalaman paramedis di Indonesia dalam melakukan intubasi yang dibantu stylet pada kondisi emergensi di luar rumah sakit serta proses pemantauan berkala untuk mengevaluasi dampak perubahan kebijakan terhadap keberhasilan intubasi pada percobaan pertama.
Studi ini juga dapat diekstrapolasikan untuk digunakan di unit gawat darurat, terutama oleh dokter yang tidak sering melakukan intubasi. Pemanfaatan teknik sederhana ini dapat meningkatkan keberhasilan intubasi percobaan pertama, yang akan bermanfaat bagi pasien.
Hal ini penting dilakukan sebab penelitian yang menunjukkan peningkatan keberhasilan intubasi percobaan pertama dilakukan di negara maju yang mungkin memiliki sistem penanganan kegawatdaruratan terpadu yang lebih baik daripada Indonesia.