Penggunaan antibiotik yang adekuat pada tata laksana kolera dapat menurunkan volume diare, menurunkan kebutuhan cairan untuk rehidrasi, dan memperpendek durasi ekskresi Vibrio cholerae. Kolera merupakan jenis diare berat yang disebabkan oleh V. cholerae, bakteri batang Gram negatif. Kolera menular melalui konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut, dengan jalur transmisi utama fekal-oral.[1,2]
Kolera umum dijumpai pada area dengan infrastruktur dan sanitasi yang buruk, serta memiliki kesulitan akses ke air bersih. Meskipun sebagian besar pencegahan dan terapi kolera dewasa ini efektif untuk mengurangi transmisi, diare berat akibat kolera dapat mengakibatkan dehidrasi dan kematian. Terapi utama kolera adalah rehidrasi, baik peroral maupun intravena. Antibiotik dapat mengurangi durasi dan beratnya penyakit, sehingga menurunkan risiko penularan selanjutnya pada orang lain.[1,2]
Peran Pemberian Antibiotik pada Pasien Kolera Dewasa
Seperti telah disebutkan sebelumnya, tata laksana utama dari kolera adalah rehidrasi. Antibiotik hanya digunakan pada kasus tertentu dan tidak disarankan pada pasien dengan sedikit diare atau dehidrasi ringan. Antibiotik berperan mengurangi volume dan durasi diare, serta periode shedding V. Cholerae. Terapi antibiotik direkomendasikan untuk pasien dengan gejala berat atau memiliki komorbiditas tanpa melihat status dehidrasinya.
Hasil berbagai uji klinis acak terkontrol yang membandingkan luaran pasien kolera yang diberi terapi antibiotik dan rehidrasi dengan pasien yang hanya diberi terapi rehidrasi menunjukkan bahwa antibiotik mengurangi volume feses sebesar 8-92%, durasi diare sebesar 50-56%, serta durasi kultur positif bakteri sebesar 26-83%.[3]
Indikasi Antibiotik dalam Tata Laksana Pasien Dewasa dengan Kolera
Indikasi terapi antibiotik pada pasien kolera dewasa adalah:
- Pasien kolera dengan dehidrasi berat
- Pasien dengan high purging (setidaknya 1 kali diare per jam selama 4 jam pertama terapi) atau kegagalan terapi (pasien masih dehidrasi setelah mendapat terapi rehidrasi selama 4 jam pertama)
- Pasien hamil
- Pasien dengan komorbiditas, misalnya HIV atau malnutrisi[3,4]
Pilihan Antibiotik pada Pasien Dewasa dengan Kolera
Antibiotik diberikan segera setelah pasien dapat mengonsumsi antibiotik oral (setelah muntah-muntah berhenti). Antibiotik yang banyak direkomendasikan panduan klinis adalah doxycycline dosis tunggal sebesar 300 mg untuk semua pasien dewasa, termasuk ibu hamil. Jika terdapat resistensi, pilihan antibiotik lainnya adalah azithromycin 1 gram dosis tunggal atau ciprofloxacin 1 gram dosis tunggal. [3,4,5]
Tinjauan Cochrane oleh Leibovici-Weissman et al membandingkan hasil berbagai uji klinis dan menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara durasi diare dan volume feses pada pasien yang mendapat terapi tetrasiklin dibandingkan dengan doxycycline (3 studi, 230 partisipan, very low quality evidence); serta tetrasiklin dengan ciprofloxacin atau norfloxacin (3 studi, 259 partisipan, moderate quality evidence). Namun, pemilihan antibiotik tetap harus mempertimbangkan pola resistensi pada masing-masing daerah.[1]
Resistensi Antibiotik dalam Penanganan Kolera
Salah satu kekurangan terapi antibiotik adalah potensi resistensi V. cholerae terhadap sebagian antibiotik yang digunakan. Ciprofloxacin yang sering digunakan di awal tahun 1990-an tidak efektif di negara-negara dengan kasus infeksi kolera tinggi, seperti Haiti dan Bangladesh. Hal tersebut terjadi karena kedua strain tersebut resisten terhadap asam nalidiksat yang memiliki mekanisme serupa ciprofloxacin, sehingga timbul resistensi silang.[2,6]
Resistensi V. cholerae terhadap antibiotik dapat mempengaruhi strategi pengendalian wabah, sehingga dibutuhkan pemantauan terus-menerus terhadap strain epidemi. Strain yang resisten terhadap tetrasiklin ditemukan di beberapa negara berkembang seperti Bangladesh, India, Thailand, dan Vietnam.[2,6,7]
Studi oleh Eibach et al yang meneliti sensitivitas antibiotik pada 62 sampel isolat dari wabah kolera tahun 2014 di Ghana menemukan bahwa 95% sampel resisten terhadap kotrimoksazol dan ampicillin. Selain itu, 95% dari sampel tersebut juga menunjukkan sensitivitas yang berkurang terhadap ciprofloxacin dibandingkan sampel dari wabah tahun 2011 di Ghana.[2,7]
Studi lain yang meneliti sensitivitas antibiotik pada 117 sampel isolat dari wabah kolera tahun 2014-2015 di Mozambik menemukan resistensi 100% (53/53) terhadap kotrimoksazol; 100% (54/54) terhadap ampicillin; 99% (73/74) terhadap asam nalidiksat; 97% (64/66) terhadap chloramphenicol; 95% (42/44) terhadap nitrofurantoin; 82% (80/97) terhadap tetrasiklin; 56% (39/70) terhadap azithromycin; dan 0% (0/101) terhadap ciprofloxacin.[6]
Di Indonesia sendiri, sebuah studi kecil pada 17 isolat V. Cholerae yang didapat dari 20 sampel makanan di Jakarta menunjukkan bahwa 47% resisten terhadap ampicillin; 35% terhadap trimethoprim; 17,6% terhadap tetrasiklin; dan 17,6% terhadap streptomycin. Data lebih lanjut dengan jumlah sampel lebih besar masih diperlukan untuk mengetahui secara adekuat pola resistensi di Indonesia.[8]
Kesimpulan
Tata laksana kolera yang utama adalah rehidrasi. Antibiotik digunakan pada pasien dengan gejala penyakit yang berat, dehidrasi, atau terus-menerus mengalami diare saat terapi cairan. Pilihan antibiotik yang banyak direkomendasikan panduan klinis adalah doxycycline. Pada pasien dengan resistensi, dapat diberikan azithromycin atau ciprofloxacin.
Doxycycline dapat diberikan dalam dosis 300 mg dosis tunggal. Sementara itu, azithromycin dan ciprofloxacin dapat diberikan dalam dosis 1 gram dosis tunggal. Meski demikian, pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan pola resistensi pada tiap-tiap area.