Perbandingan Semen Ionomer Kaca dan Resin Komposit Sebagai Bahan Tambal Gigi

Oleh :
drg. Muhammad Garry Syahrizal Hanafi

Semen ionomer kaca dan resin komposit memiliki karakteristik berbeda, sehingga pemilihan antara keduanya sebagai bahan restorasi atau tambal gigi dapat memengaruhi keberhasilan klinis dan prognosis jangka panjang perawatan gigi. Karies masih merupakan masalah utama kesehatan gigi di Indonesia. Tindakan restorasi bertujuan mencegah kerusakan lebih lanjut akibat karies, mengembalikan fungsi mastikasi, serta memperbaiki estetika.[1-4]

Semen ionomer kaca (SIK) sering dipilih karena mudah diaplikasikan ke kavitas, memiliki adhesi yang baik, dan harga yang relatif lebih murah. Di sisi lain, bahan resin komposit (RK) populer karena sifatnya yang lebih tahan terhadap tekanan mekanis ataupun fisik, serta mampu memberikan hasil akhir yang lebih menyerupai gigi asli.[3,4]

Semen Ionomer Kaca dan Resin Komposit

Perbandingan Kekuatan dan Daya Tahan

Beberapa penelitian mengungkap bahwa kekuatan mekanis semen ionomer kaca lebih rendah jika dibandingkan resin komposit. Semen ionomer kaca ditemukan lebih rentan aus, erosi, dan fraktur, khususnya pada restorasi dengan beban oklusal tinggi. Selain itu, masalah yang perlu diperhatikan pada penggunaan semen ionomer kaca sebagai bahan tambal gigi adalah creep atau retak pada margin restorasi, diskolorasi, dan kehilangan kontak proksimal.

Namun, ketika semen ionomer kaca diamati terbatas pada lesi NCCL (non-carious cervical lesions) seperti abrasi dan abfraksi, ternyata bahan ini lebih toleran terhadap deformasi karena modulus elastisitasnya lebih rendah sehingga dapat mengurangi stress konsentrasi pada servikal dental. Retensi juga dilaporkan lebih baik dalam jangka menengah (24-36 bulan).[3,5,6]

Di sisi lain, resin komposit umumnya lebih memiliki daya tahan mekanis dibandingkan semen ionomer kaca. Efektivitas resin komposit dilaporkan sebesar 97,7% pada tahun ke-1 dan hanya menurun menjadi 92,8% pada tahun ke-3, 87,5% pada tahun ke-5, dan 84,3% pada tahun ke-8.

Selain itu, resin komposit juga dilaporkan memiliki daya tahan mekanis dan ketahanan aus yang lebih tinggi pada restorasi fungsional (oklusal). Namun, khusus pada NCCL, daya retensi resin komposit cenderung lemah dibanding semen ionomer kaca akibat adhesi ke dentin sklerotik yang tidak baik dan degradasi lapisan hibrida.[3,5,6]

Perbandingan Kemudahan Aplikasi ke Kavitas

Ditinjau dari kemudahan dalam aplikasi ke kavitas, semen ionomer kaca memiliki kelebihan dibandingkan resin komposit. Bahan ini dapat melekat secara kimiawi ke enamel dan dentin tanpa perlu banyak langkah persiapan sebelumnya seperti etsa dan bonding. Selain itu, waktu prosedur restoratif biasanya lebih singkat. Hal ini memberi keuntungan pada praktik massal atau kondisi isolasi area kerja yang sulit (seperti pada pasien anak).[3,7]

Sebaliknya, resin komposit memerlukan langkah aplikasi yang lebih kompleks. Selain memerlukan isolasi adekuat guna terciptanya area maksimal untuk perlekatan bahan, langkah seperti etching, priming, bonding, incremental, curing, hingga finishing dan polishing juga diperlukan. Hal ini membuat resin komposit tidak cocok jika digunakan pada waktu klinis yang terbatas dan pasien dengan area kerja yang sulit diisolasi.[3,7]

Perbandingan Tingkat Efek Samping

Ditinjau dari potensi adverse effect atau efek samping yang mungkin terjadi, bahan semen ionomer kaca bisa dikatakan lebih aman. Pelepasan fluorida, yang ada pada sediaan semen ionomer kaca, bersifat antikaries ke lingkungan oral dan menguntungkan bagi pasien dengan risiko karies yang tinggi.

Pada penggunaan semen ionomer kaca, efek merugikan yang mungkin muncul lebih ke arah kondisi mekanis seperti aus, erosi, atau fraktur restorasi dibandingkan dengan risiko paparan kimiawi. Di sisi lain, resin komposit memiliki risiko utama efek merugikan berupa polymerization shrinkage. Kondisi ini berpotensi menyebabkan stres pada sisa gigi, marginal gap, dan kemungkinan sensitivitas pasca restorasi.

Selain itu, potensi pelepasan sisa monomer dan jejak Bisphenol-A (produk sampingan degradasi monomer resin) yang ditemukan pada beberapa jenis resin perlu diperhatikan, meski itu dilaporkan berada dalam jumlah yang sangat minor dan jauh di ambang batas toksisitas.

Polymerization shrinkage dapat ditanggulangi dengan menggunakan teknik sandwich, yang mana restorasi dilakukan menggunakan semen ionomer kaca pada lapisan pertama, diikuti oleh resin pada lapisan di atasnya. Selain dapat meminimalkan polymerization shrinkage, teknik ini juga menggabungkan keuntungan pelepasan fluorida dengan estetika dan kekuatan mekanis komposit.[3,8]

Perbandingan Risiko Perubahan Warna dan Keretakan

Semen ionomer kaca memiliki risiko perubahan warna dan staining yang lebih tinggi. Meskipun penggunaan coating dianggap dapat mengurangi roughness dan staining, sebuah studi menunjukkan 28% restorasi semen ionomer kaca cenderung untuk berubah warna pada 12 bulan pasca restorasi, dan akan meningkat menjadi 79% pada 12 bulan berikutnya.

Selain itu, semen ionomer kaca juga dilaporkan lebih rentan terhadap fraktur dan erosi, terutama pada restorasi besar atau multi-surface, atau pada gigi dengan beban oklusi yang tinggi, seperti ketiadaan gigi tetangga dan gigi antagonis.Sebaliknya, hanya 4% restorasi resin komposit yang dilaporkan mengalami staining dalam kurun waktu 12 bulan pertama. Itupun hanya kasus marginal staining ringan.

Ditinjau dari potensi cracking, umumnya resin komposit memiliki daya tahan yang lebih baik. Tetapi, polymerization stress dapat menyebabkan retak secara mikro dan berkontribusi pada kegagalan adaptasi margin jika teknik aplikasi tidak tepat.[3,5,7]

Perbandingan Kebutuhan Biaya

Dalam aspek biaya, semen ionomer kaca bisa dikatakan lebih murah karena bahan pokok yang harganya lebih rendah, aplikasi yang relatif lebih sederhana, dan sering tidak memerlukan alat-bahan habis pakai tambahan. Kombinasi biaya bahan yang rendah, waktu pengerjaan yang singkat, dan kebutuhan instrumen minimal membuat semen ionomer kaca menjadi pilihan utama dalam perspektif kebijakan kesehatan publik.

Sebaliknya, resin komposit membutuhkan beban modal dan operasional yang lebih kompleks, karena memerlukan berbagai bahan tambahan (etsa, primer, bonding) dan alat tambahan (light cure, rubber dam) untuk mendapatkan isolasi yang optimal, sehingga modal yang dikeluarkan lebih banyak. Aplikasi resin komposit juga membutuhkan waktu lebih lama dan keterampilan klinis operator yang lebih tinggi.

Meski demikian, mengingat resin komposit menawarkan aspek estetika dan kekuatan mekanis yang lebih baik, efisiensi biaya jangka panjang bisa jadi lebih unggul dibandingkan semen ionomer kaca. Tetapi dalam hal layanan kesehatan publik, seperti di Puskesmas, biaya per pasien memang akan lebih tinggi, sehingga bahan ini kurang dipilih untuk keperluan tersebut.[3,5,7]

Kesimpulan

Semen ionomer kaca dan resin komposit memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang perlu dipertimbangkan sesuai kebutuhan klinis pasien. Semen ionomer kaca unggul dalam hal kemudahan aplikasi, pelepasan fluorida, dan biaya yang lebih rendah, namun memiliki kelemahan pada aspek kekuatan mekanis dan risiko perubahan warna. Resin komposit lebih unggul dalam kekuatan, ketahanan aus, dan estetika, meski aplikasinya lebih kompleks serta berisiko polymerization shrinkage. Oleh karena itu, pemilihan bahan restorasi sebaiknya disesuaikan dengan lokasi kavitas, kondisi pasien, serta tujuan jangka panjang perawatan gigi.

Referensi