Perlu Tidaknya Puasa Sebelum Kateterisasi Jantung – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Andrian Yadikusumo, Sp.An

Fasting vs No Fasting Prior to Catheterisation Laboratory Procedures: The SCOFF Trial

Ferreira D, Hardy J, Meere W, Butel-Simoes L, Sritharan S, Ray M, French M, McGee M, O'Connor S, Whitehead N, Turner S, Healey P, Davies A, Morris G, Jackson N, Barlow M, Ford T, Leask S, Oldmeadow C, Attia J, Sverdlov A, Collins N, Boyle A, Wilsmore B. Fasting vs No Fasting Prior to Catheterisation Laboratory Procedures: The SCOFF Trial. European Heart Journal. 2024 Sep 1:ehae573. PMID: 39217604.

studiberkelas

Abstrak

Latar Belakang: Pedoman klinis saat ini merekomendasikan puasa makanan padat 6 jam dan puasa cairan bening 2 jam untuk pasien yang akan menjalani prosedur jantung dengan sedasi sadar. Namun, tidak ada bukti kuat yang mendukung persyaratan puasa ini. Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa puasa mungkin tidak diperlukan. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah protokol tanpa puasa bersifat non-inferior terhadap protokol puasa sebelum kateterisasi jantung yang memerlukan sedasi sadar.

Metode: Studi ini adalah uji klinis acak non-inferioritas yang yang dilakukan di beberapa pusat di Australia dengan desain terbuka, prospektif, dan luaran blinded. Pasien yang dijadwalkan untuk angiografi koroner, intervensi koroner perkutan, atau prosedur terkait perangkat elektronik implan jantung (CIED) dari tahun 2022 hingga 2023 dijadikan subjek penelitian.

Peserta secara acak dibagi dalam rasio 1:1 ke dalam kelompok protokol puasa standar (puasa makanan padat selama 6 jam dan puasa cairan bening selama 2 jam) atau tidak ada persyaratan puasa (didorong untuk makan secara teratur tanpa mandat).

Luaran utama yang dinilai adalah kejadian pneumonia aspirasi, hipotensi, hiperglikemia, dan hipoglikemia, yang dianalisis menggunakan pendekatan Bayesian. Hasil sekunder mencakup skor kepuasan pasien, kebutuhan ventilasi baru (baik non-invasif maupun invasif), kejadian masuk rumah sakit baru ke unit perawatan intensif, tingkat readmisi dalam 30 hari, mortalitas dalam 30 hari, dan insiden pneumonia dalam 30 hari.

Hasil: Sebanyak 716 pasien diacak sehingga masing-masing kelompok terdiri dari 358 pasien. Kelompok puasa menjalani waktu puasa yang secara signifikan lebih lama, dengan waktu puasa makanan padat rata-rata 13,2 jam vs 3,0 jam pada kelompok tanpa puasa (Bayes faktor >100 menunjukkan bukti ekstrem perbedaan). Demikian pula, waktu puasa cairan bening adalah 7,0 jam untuk kelompok puasa vs 2,4 jam untuk kelompok tanpa puasa (Bayes faktor >100).

Luaran primer komposit terjadi pada 19,1% pasien di kelompok puasa vs 12,0% di kelompok tanpa puasa. Estimasi selisih rata-rata posterior dalam proporsi luaran primer adalah -5,2% (CI 95%: -9,6 hingga -0,9). Hasil ini mengonfirmasi non-inferioritas (probabilitas posterior >99,5%) dan superioritas (probabilitas posterior 99,1%) protokol tanpa puasa dibandingkan protokol puasa.

Selain itu, kelompok tanpa puasa melaporkan skor kepuasan pasien yang jauh lebih baik, dengan selisih rata-rata posterior sebesar 4,02 poin (CI 95%: 3,36 hingga 4,67, Bayes faktor >100). Hasil sekunder serupa pada kedua kelompok.

Kesimpulan: Pada pasien yang menjalani kateterisasi jantung dan prosedur terkait CIED, pendekatan tanpa puasa ditemukan non-inferior dan superior terhadap protokol puasa, yakni untuk luaran utama berupa pneumonia aspirasi, hipotensi, hiperglikemia, dan hipoglikemia. Selain itu, kepuasan pasien secara signifikan lebih tinggi pada kelompok tanpa puasa. Temuan ini mendukung penghapusan persyaratan puasa untuk pasien yang hendak menjalani prosedur kateterisasi jantung dengan sedasi sadar.

Interventional,Cardiology.,Male,Surgeon,Doctor,At,Cardiac,Catheterization,Laboratory,Room.

Ulasan Alomedika

Pedoman klinis merekomendasikan puasa makanan padat 6 jam dan puasa cairan bening 2 jam sebelum menjalani prosedur kateterisasi jantung. Namun, bukti klinis yang mendukung anjuran ini sebenarnya masih terbatas. Bahkan, ada beberapa studi single center sebelumnya yang menunjukkan bahwa puasa mungkin tidak diperlukan.

Pelaku studi ini ingin mengevaluasi apakah protokol tanpa puasa sebelum kateterisasi jantung dengan sedasi bersifat non-inferior terhadap protokol puasa. Studi ini dilakukan di beberapa pusat medis (multi-center) di Australia dengan desain uji klinis acak yang melibatkan 716 pasien. Pasien yang dilibatkan menjalani prosedur angiografi koroner, intervensi koroner perkutan, atau prosedur perangkat jantung.

Ulasan Metode Penelitian

Semua analisis statistik dalam penelitian ini dilakukan menggunakan kerangka kerja Bayesian. Distribusi perbedaan posterior antar kelompok (puasa dan non-puasa) dalam hal proporsi pasien yang mengalami luaran primer ditentukan berdasarkan model yang dikonstruksi sesuai perhitungan ukuran sampel. Kelompok tanpa puasa dinyatakan non-inferior terhadap kelompok puasa jika ada probabilitas ≥95% bahwa perbedaan antar kelompok <3% (artinya peningkatan luaran komposit harus <3% dibandingkan dengan kelompok puasa).

Interval kepercayaan 95% dari perbedaan rata-rata posterior dihitung menggunakan metode kepadatan posterior tertinggi (HPD). Jika syarat non-inferioritas terpenuhi, uji untuk superioritas luaran primer dilakukan. Prosedur perangkat dan koroner dianalisis sebagai satu kohort. Analisis utama dilakukan berdasarkan intention-to-treat, dengan imputasi ganda menggunakan Method Chained Regression Equations (MICE) untuk mengelola data yang hilang.

Analisis sensitivitas luaran utama dilakukan pada setiap kelompok, dengan kelompok puasa didefinisikan sebagai pasien yang diacak ke kelompok puasa dan menyelesaikan persyaratan puasa. Kelompok tanpa puasa didefinisikan sebagai mereka yang diacak ke kelompok non-puasa dan tidak menyelesaikan 6 jam puasa makanan padat dan 2 jam puasa cairan bening.

Analisis sensitivitas juga dilakukan untuk menguji ketahanan hasil. Analisis post-hoc yang telah ditentukan sebelumnya dilakukan dengan model regresi logistik Bayesian, disesuaikan dengan variabel stratifikasi.

Untuk luaran sekunder, analisis regresi logistik Bayesian dilakukan untuk variabel dengan tingkat kejadian >5%. Analisis hasil sekunder yang berkaitan dengan penilaian kualitas hidup pra-prosedural dilakukan menggunakan model regresi linier, dan semua model disesuaikan dengan variabel stratifikasi. Analisis faktor Bayes dilakukan untuk variabel terpilih untuk menggambarkan sepenuhnya efek intervensi, di mana faktor Bayes >100 menunjukkan bukti yang kuat tentang perbedaan antara kelompok.

Perbandingan perbedaan rata-rata yang distandarisasi dilakukan untuk total skor kuesioner puasa sebelum prosedur berdasarkan intervensi, durasi puasa (makanan padat dan cairan bening) berdasarkan intervensi, lama rawat inap, dan dosis sedasi berdasarkan jenis prosedur. Semua analisis statistik dilakukan menggunakan perangkat lunak R versi 4.3.2 dari R Foundation of Statistical Computing.

Ulasan Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini, terdapat 716 pasien. Dari jumlah tersebut, 358 pasien dialokasikan ke kelompok puasa dan 358 pasien ke kelompok tanpa puasa. Karakteristik dasar dari kedua kelompok hampir sama, di mana 65% peserta adalah laki-laki dengan usia rata-rata 69 ± 11,1 tahun.

Perbedaan waktu puasa makanan padat adalah rata-rata 13,2 jam di kelompok puasa vs 3,0 jam di kelompok tanpa puasa. Sementara itu, perbedaan waktu puasa cairan bening adalah 7,0 jam di kelompok puasa vs 2,4 jam di kelompok tanpa puasa. Luaran primer komposit berupa pneumonia aspirasi, hipotensi, hiperglikemia, dan hipoglikemia terjadi pada 19,1% pasien di kelompok puasa vs 12,0% di kelompok tanpa puasa.

Analisis menunjukkan bahwa hasil kelompok tanpa puasa bersifat non-inferior dan juga superior terhadap kelompok puasa. Perbedaan hasil ini terutama disebabkan oleh perbedaan kejadian hipotensi dan hiperglikemia, di mana kelompok tanpa puasa memiliki lebih sedikit kejadian. Tidak ada kejadian klinis aspirasi selama uji coba. Dua pasien mengalami pneumonia dalam 30 hari dan keduanya dari kelompok puasa.

Tingkat cedera ginjal akut terkait kontras adalah 3,8% pada kelompok puasa dan 6,3% pada kelompok tanpa puasa. Namun, analisis menunjukkan bahwa hasil ini mendukung hipotesis nol, yang berarti tidak ada perbedaan signifikan. Sub-analisis berdasarkan jenis prosedur (koroner atau alat) menunjukkan hasil yang serupa antara kedua kelompok. Selain itu, skor kepuasan pasien meningkat secara signifikan pada kelompok tanpa puasa dibandingkan dengan kelompok puasa (11 ± 4,0 dibandingkan 15 ± 4,3).

Pelaku penelitian menyimpulkan bahwa dalam prosedur kateterisasi jantung, protokol tanpa puasa pra-prosedur menunjukkan luaran yang non-inferior dan superior terhadap protokol puasa pra-prosedur.

Kelebihan Penelitian

Kelebihan penelitian ini adalah desain yang digunakan, yakni uji klinis acak terkontrol yang prospektif dan multi-center. Jumlah sampel yang diikutsertakan cukup besar jika dibandingkan dengan beberapa studi single-center sebelumnya. Semua luaran diukur oleh komite yang blinded, di mana komite tersusun dari ahli kardiologi intervensi, ahli elektrofisiologi, dan ahli anestesi kardiak. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko bias.

Luaran primer yang dinilai juga merupakan luaran yang relevan dan bermakna secara klinis, di mana luaran mencakup kejadian pneumonia aspirasi, hipotensi, hiperglikemia, dan hipoglikemia. Luaran sekunder juga bermakna secara klinis, yakni kebutuhan ventilasi baru, kejadian masuk rumah sakit dan ICU, tingkat readmisi dalam 30 hari, mortalitas dalam 30 hari, dan insiden pneumonia dalam 30 hari.

Limitasi Penelitian

Karena keterbatasan pendanaan, hanya sebagian kecil dari total kohort menjalani tes laboratorium untuk fungsi ginjal pada 48-72 jam setelah prosedur. Sebanyak 110 pasien tidak menyelesaikan kuesioner kepuasan pasien. Kuesioner kepuasan yang digunakan juga belum divalidasi untuk prosedur kateterisasi jantung dan tidak jelas bagaimana hasil ini berkontribusi terhadap kepuasan pasien secara keseluruhan.

Komite yang mengevaluasi luaran menjalani blinding, tetapi peserta uji coba dan staf kesehatan tidak mungkin menjalani blinding tentang alokasi kelompok. Praktisi prosedur diizinkan untuk mengetahui alokasi kelompok, yang mungkin memengaruhi pengobatan dan menghasilkan bias kinerja.

Jumlah dan konten asupan padat dan cair tidak dicatat. Kejadian muntah tidak dicatat, meskipun resep antiemetik dicatat. Sebagian besar pasien di kelompok tanpa puasa (57%) juga tidak melaporkan asupan cairan bening dalam 2 jam sebelum prosedur, meskipun hanya 8,9% dari kelompok tanpa puasa menjalani puasa sesuai pedoman.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok yang tidak berpuasa memiliki luaran komposit pneumonia aspirasi, hipotensi, hiperglikemia, dan hipoglikemia lebih rendah daripada kelompok yang berpuasa (12,0% vs 19,1%). Pasien yang tidak berpuasa juga memiliki tingkat kepuasan lebih tinggi. Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan dalam hasil sekunder seperti kebutuhan ventilasi, masuk ICU, dan angka kematian 30 hari.

Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak berpuasa sebelum kateterisasi jantung terbukti non-inferior dan superior terhadap protokol puasa standar. Oleh sebab itu, hasil studi ini mendukung penghapusan aturan puasa sebelum prosedur kateterisasi jantung.

Hasil studi ini dapat diaplikasikan di Indonesia dan dijadikan acuan untuk meninjau kembali pedoman klinis yang ada terkait puasa sebelum prosedur medis, khususnya dalam konteks kateterisasi jantung. Berdasarkan hasil studi ini, penghapusan aturan puasa berpotensi untuk mengurangi angka beberapa komplikasi dan meningkatkan angka kepuasan pasien yang menjalani kateterisasi jantung dengan sedasi.

Referensi