Risk of Major Bleeding, Stroke/Systemic Embolism, and Death Associated With Different Oral Anticoagulants in Patients With Atrial Fibrillation and Severe Chronic Kidney Disease
Xu Y, Ballew SH, Chang AR, Inker LA, Grams ME, Shin JI. Journal of the American Heart Association. 2024; 13(16):e034641. doi: 10.1161/JAHA.123.034641.
Abstrak
Latar Belakang: Pasien atrial fibrilasi dengan penyakit ginjal kronis berat mempunyai risiko tinggi terhadap perdarahan, tromboemboli, dan kematian. Namun, pilihan antikoagulan yang optimal pada kelompok pasien berisiko tinggi ini masih belum jelas.
Metode: Rekam medis elektronik dari Optum Labs Data Warehouse terhadap pasien dewasa dengan atrial fibrilasi dan penyakit ginjal kronis berat (estimasi laju filtrasi glomerulus <30mL/menit/1,73m2) yang baru diberikan warfarin, apixaban, atau rivaroxaban antara 2011 hingga 2021 menjadi sumber data penelitian.
Perbandingan adjusted risk terhadap perdarahan berat, stroke atau emboli sistemik, dan kematian di antara berbagai jenis antikoagulan dilakukan dengan pendekatan metode inverse probability of treatment weighting.
Hasil: Sejumlah 6794 pasien memenuhi kriteria (rerata umur 78,5 tahun, rerata estimasi laju filtrasi glomerulus 24,7 mL/menit/1,73m2, 51% wanita). Apixaban menunjukkan risiko yang lebih rendah daripada warfarin untuk perdarahan berat (incidence rate 1,5 vs 2,9 per 100 person-years; subdistribution hazard ratio/subHR 0,53), risiko yang serupa untuk stroke atau emboli sistemik (incidence rate 1,9 vs 2,4 per 100 person-years; sub-HR 0,8) maupun kematian (incidence rate 4,6 vs 4,5 per 100 person-years; HR 1,03).
Rivaroxaban menunjukkan risiko yang lebih tinggi daripada warfarin untuk perdarahan berat (incidence rate 4,9 vs 2,9 per 100 person-years; sub-HR 1,65), tapi tidak ada perbedaan risiko bermakna untuk stroke atau emboli sistemik ataupun kematian. Apixaban menunjukkan risiko yang lebih rendah daripada rivaroxaban untuk perdarahan berat (sub-HR 0,53).
Kesimpulan: Temuan kondisi nyata ini menunjukkan konsistensi dari potensi manfaat keselamatan apixaban jika dibandingkan dengan warfarin maupun rivaroxaban pada pasien-pasien atrial fibrilasi dengan penyakit ginjal kronis berat. Namun, masih dibutuhkan banyak percobaan acak terkontrol yang membandingkan secara langsung antar antikoagulan oral.
Ulasan Alomedika
Baik penyakit ginjal kronis (PGK) maupun atrial fibrilasi berkaitan erat dengan peningkatan risiko tromboemboli dan mortalitas semua sebab. Direct oral anticoagulant (DOAC), seperti apixaban dan rivaroxaban, telah terbukti noninferior dari warfarin dalam pencegahan kejadian stroke dan tromboemboli lain pada pasien dengan fungsi ginjal normal atau penurunan fungsi ginjal moderat.
Oleh sebab itu, pedoman klinis saat ini lebih merekomendasikan DOAC daripada warfarin untuk terapi trombofilaksis pasien-pasien atrial fibrilasi. Namun, ada kesenjangan data keamanan penggunaan DOAC pada populasi pasien dengan penyakit ginjal kronis berat. Bahkan sejumlah landmark trial DOAC mengeksklusikan pasien dengan penyakit ginjal kronis berat dari penelitian mereka.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian retrospektif ini menggunakan data rekam elektronik Optum Labs Data Warehouse dari pasien-pasien yang tersebar di seluruh pelosok Amerika Serikat. Semua pasien dewasa yang terdiagnosis atrial fibrilasi dan nondialysis-dependent PGK tahap 4 atau 5 (estimasi laju filtrasi glomerular <30 ml/menit/1,73m2) yang mulai mendapat warfarin atau DOAC antara 4 november 2011 hingga 31 desember 2021 masuk dalam penilaian.
Index date didefinisikan sebagai tanggal peresepan pertama untuk warfarin atau DOAC. Guna memastikan bahwa partisipan studi benar-benar pengguna awal antikoagulan oral, peneliti mensyaratkan periode wash out (minimal 1 tahun) sebelum index date tanpa adanya peresepan antikoagulan apa pun. Pasien yang membutuhkan atau sedang menjalani dialisis, riwayat transplantasi ginjal, mitral stenosis atau katup mekanis, pasien dengan deep vein thrombosis (DVT) atau emboli paru dieksklusikan.
Untuk meniru pengelompokkan grup terapi secara acak, peneliti menerapkan inverse probability of treatment weighting (IPTW) yang berbasis propensity score sehingga karakteristik dasar antar grup serupa. Adapun propensity score model yang diterapkan meliputi umur, jenis kelamin, ras dan etnis, indeks massa tubuh, status merokok, status asuransi, karakteristik klinis (termasuk tekanan darah, skor CHA2DS2-VASc, dan skor HAS-BLED), komorbiditas, dan obat yang digunakan.
Ulasan Hasil Penelitian
Penelitian ini melibatkan 6794 pasien dewasa dengan atrial fibrilasi dan penyakit ginjal kronik tahap 4/5 non-dialisis, yang mengawali terapi dengan warfarin (n=3454), apixaban (n=2740), atau rivaroxaban (n=600). Pasien pengguna apixaban dan rivaroxaban dibagi berdasarkan dosis, dengan sebagian besar pasien menerima dosis rendah sesuai kondisi fungsi ginjal mereka. Rata-rata usia populasi penelitian adalah 78,5 tahun dan rata-rata laju filtrasi glomerulus (eGFR) 24,7 mL/menit/1,73 m².
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengguna apixaban memiliki risiko perdarahan mayor yang lebih rendah dibandingkan warfarin (HR, 0,53), tanpa perbedaan signifikan dalam risiko stroke atau emboli sistemik dan kematian. Sebaliknya, pengguna rivaroxaban mengalami peningkatan risiko perdarahan mayor dibandingkan warfarin (HR, 1,65), sementara risiko stroke atau emboli sistemik dan kematian tetap serupa.
Analisis tambahan mendukung bahwa dosis apixaban, baik 2,5 mg maupun 5 mg, dikaitkan dengan risiko perdarahan yang lebih rendah daripada warfarin, sementara rivaroxaban dosis 15 mg meningkatkan risiko perdarahan tanpa meningkatkan risiko stroke/embolisme atau kematian.
Kelebihan Penelitian
Studi ini merupakan satu-satunya studi real world yang merepresentasikan kohort paling besar hingga kini, yang mengevaluasi perbandingan langsung antar warfarin, apixaban, dan rivaroxaban pada pasien PGK derajat berat. Identifikasi pasien PGK berat dengan menggunakan eGFR sejalan dengan diagnosis dan pedoman KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes).
Selain itu, penggunaan metode inverse probability of treatment weighting (IPTW) memungkinkan penyamaan karakteristik dasar antara kelompok yang menerima warfarin dan kelompok DOAC (apixaban atau rivaroxaban). Hal ini meningkatkan validitas internal studi dan meminimalkan potensi bias seleksi yang biasanya ada pada studi observasional.
Penggunaan data dari Optum Labs Data Warehouse menyediakan data longitudinal dari berbagai sistem kesehatan di Amerika Serikat. Hal ini menghasilkan cakupan yang luas dan potensi generalisasi yang baik untuk populasi pasien dengan atrial fibrilasi dan PGK stadium lanjut.
Limitasi Penelitian
Akibat sifat retrospektif dan non-acak dari studi ini, risiko adanya residual confounding tetap ada, walaupun IPTW telah diterapkan. Di samping itu, keterbatasan dalam data klaim dan rekam medis elektronik sering mencakup ketidaklengkapan data klinis, misalnya informasi mengenai komorbiditas atau alasan medis yang mendasari pemilihan terapi antikoagulan.
Penggunaan obat yang diobservasi juga hanya dievaluasi melalui peresepan. Hal ini tidak dapat menjawab aspek adherence penggunaan obat tersebut. Dibutuhkan studi dengan time-updated approach untuk memitigasi faktor yang mempengaruhi adherence penggunaan obat sehingga dapat lebih mereplikasi decision-making process pada praktik klinis sebenarnya.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Temuan penelitian ini menyokong penggunaan DOAC untuk tujuan terapi antikoagulasi pada populasi pasien atrial fibrilasi dengan PGK tahap lanjut. Hasil studi mendukung penggunaan apixaban dibandingkan rivaroxaban dan warfarin karena memiliki profil keamanan lebih baik dan risiko perdarahan serius lebih rendah, sehingga dapat digunakan untuk memandu keputusan klinis. Meski demikian, uji klinis acak terkontrol lebih lanjut masih diperlukan untuk membandingkan pilihan DOAC terbaik bagi populasi ini.