Pungsi lumbal selama ini dilakukan untuk mendiagnosis pasien suspek perdarahan subarachnoid yang memiliki gambaran computed tomography (CT) otak normal. Hal ini dilakukan untuk menghindari false negative. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa hasil CT scan otak yang dilakukan dalam rentang waktu 6 jam sejak onset memiliki sensitivitas sangat tinggi sehingga pungsi lumbal mungkin tidak diperlukan.[1]
Perdarahan subarachnoid merupakan salah satu perdarahan intrakranial yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah di otak karena trauma maupun penyebab nontrauma. Sekitar 85% perdarahan subarachnoid nontrauma disebabkan oleh ruptur aneurisma. Gejala utama dari perdarahan subarachnoid adalah sakit kepala hebat yang mencapai intensitas maksimal dalam 60 detik (thunderclap headache) dan gejala lainnya dapat berupa kaku kuduk, kejang, penurunan kesadaran, dan defisit neurologis fokal.[1-3]
Diagnosis Perdarahan Subarachnoid
Selama ini klinisi mendiagnosis perdarahan subarachnoid dengan modalitas seperti CT scan kepala, magnetic resonance imaging (MRI) kepala, CT/MR angiografi, dan pungsi lumbal. CT scan kepala merupakan pemeriksaan lini pertama yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis perdarahan subarachnoid karena pemeriksaan ini dapat menilai ekstravasasi darah dan memperkirakan lokasi aneurisma. CT scan kepala memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik yaitu sekitar 92,9% dan 100%.[3]
Biasanya, pungsi lumbal dilakukan untuk memastikan diagnosis pada pasien dengan tanda klinis perdarahan subarachnoid yang tidak memiliki gambaran perdarahan pada CT scan. Bila terdapat perdarahan subarachnoid, pemeriksaan laboratorium cairan serebrospinal akan menemukan tampilan xanthochromia. Namun, terkadang terjadi kesulitan untuk membedakan perdarahan subarachnoid dengan perdarahan yang terjadi akibat trauma pungsi lumbal sendiri.[3,4]
Pungsi lumbal juga bersifat invasif sehingga memiliki risiko menimbulkan kecemasan pada pasien, infeksi, dan rasa nyeri pasca prosedur. Selain itu, pungsi lumbal juga dirasakan kurang praktis dan lebih menyita waktu dibandingkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologi.[5-10]
Efektivitas CT Otak dan Implikasinya pada Pungsi Lumbal
Sebuah penelitian prospektif di Kanada pada tahun 2011-2016 mempelajari efektivitas peraturan yang disebut 6-hour Computed Tomography Rule. Dalam peraturan ini, CT scan otak dilakukan dalam rentang waktu 6 jam sejak onset sakit kepala pada pasien suspek perdarahan subarachnoid.[5]
Penelitian ini melibatkan 3672 pasien yang memiliki keluhan nyeri kepala nontrauma, memiliki kesadaran penuh, dan memiliki onset sakit kepala kurang dari 14 hari. Pasien yang membutuhkan investigasi lebih lanjut (dicurigai sebagai perdarahan subarachnoid) adalah pasien yang mengalami minimal satu kondisi dalam Ottawa Clinical Decision Rule, yakni:
- Berusia 40 tahun atau lebih
- Mengalami nyeri leher atau kaku leher
- Kehilangan kesadaran
- Onset saat aktivitas fisik
- Mengalami thunderclap headache (nyeri kepala yang memuncak segera)
- Pada pemeriksaan fisik ditemukan kaku kuduk[5,11]
Pada pasien-pasien tersebut, investigasi lebih lanjut dengan CT scan kepala yang dilakukan dalam rentang waktu 6 jam setelah onset memiliki sensitivitas yang sangat tinggi untuk menapis diagnosis perdarahan subarachnoid (95.6%). Oleh karena itu, pedoman 6-hour Computed Tomography Rule dapat digunakan untuk mendiagnosis perdarahan subarachnoid tanpa melakukan pungsi lumbal.[5]
Suatu studi retrospektif yang dipublikasikan pada tahun 2018 juga menyatakan bahwa dari 342 pungsi lumbal yang dilakukan selama 5 tahun, tidak didapatkan kasus positif perdarahan subarachnoid pada pasien sakit kepala yang tidak memiliki defisit neurologis dan memiliki CT scan kepala normal. Hasil ini mendukung teori bahwa pungsi lumbal tidak memiliki manfaat tambahan dalam diagnosis dan justru memiliki resiko meningkatkan morbiditas dan lama perawatan di rumah sakit.[8]
Beberapa studi lain juga menyatakan hasil serupa yaitu risiko perdarahan subarachnoid adalah kurang dari 1 % pada pasien dengan hasil CT scan kepala normal dalam onset 6 jam setelah sakit kepala. Oleh karena itu, pemeriksaan pungsi lumbal tidak lagi diperlukan. Hal ini memiliki banyak manfaat seperti mempersingkat waktu perawatan di rumah sakit, menghindari biaya yang tidak diperlukan, dan menghindari risiko tindakan pungsi lumbal itu sendiri.[12,13]
Pengecualian pada Kelompok Pasien Tertentu
Sebuah tinjauan sistematis dan meta analisis menyatakan bahwa pada pasien tanpa defisit neurologis, pemeriksaan CT scan yang diinterpretasikan oleh seorang radiolog berpengalaman memiliki sensitivitas hingga 99%. Hal ini menyebabkan pungsi lumbal tidak lagi diperlukan. Namun, pengecualian perlu diperhatikan pada pasien berikut:
- Pasien dengan presentasi thunderclap headache tidak jelas
- Pasien dengan gejala atipikal seperti (nyeri leher primer, sinkop, kejang)
- Pasien dengan defisit neurologis
- Pasien dengan onset sakit kepala tidak jelas [1]
Pengecualian juga diperlukan bagi pasien dengan anemia berat karena densitas darah akan tampak berkurang pada gambaran CT scan.[5] Selain itu, sensitivitas CT scan dilaporkan semakin berkurang seiring bertambahnya waktu. Suatu penelitian kohort retrospektif di Finlandia pada tahun 2018 yang melibatkan 647 pasien mengatakan bahwa setelah 24 jam onset, hasil CT scan mungkin kurang akurat sehingga pungsi lumbal masih direkomendasikan.[9]
Kesimpulan
Berdasarkan hasil berbagai studi, pungsi lumbal tidak lagi diperlukan untuk diagnosis perdarahan subarachnoid bila hasil CT scan kepala yang dilakukan dalam rentang waktu 6 jam sejak onset terlihat normal. Namun, di Indonesia sendiri ketersediaan alat diagnostik seperti CT scan belum merata, sehingga penggunaan CT scan kepala tanpa pungsi lumbal hanya bisa diterapkan di kota-kota besar dengan fasilitas memadai. Untuk daerah tanpa fasilitas CT scan, pemeriksaan laboratorium cairan serebrospinal untuk deteksi xanthochromia setelah pungsi lumbal masih memegang peranan penting.