Meskipun banyak yang menganggap bahwa durasi rawat inap yang lebih lama berarti pasien keluar rumah sakit dalam keadaan lebih sehat, faktanya berbagai studi menunjukkan sebaliknya. Pemanjangan lama rawat inap justru telah banyak dilaporkan berkaitan dengan luaran klinis yang lebih buruk, termasuk peningkatan risiko infeksi nosokomial, readmisi, dan mortalitas.[1-4]
Jumlah hari rawat inap yang melebihi indikasi medis merupakan masalah yang banyak ditemukan di praktik. Pada beberapa kasus, dokter kerap menunda pemulangan pasien karena masih adanya gejala klinis, meskipun gejala tersebut ringan ataupun tidak mengancam nyawa.
Sebuah studi di Australia menunjukkan bahwa pemanjangan lama rawat inap terjadi pada hampir 10% admisi rumah sakit dan menyita 44,2% dari seluruh hari okupansi ranjang (bed days). Studi lain di Manila, Filipina, melaporkan adanya pemanjangan lama rawat inap pada hampir 20% admisi rumah sakit.[3,4]
Hal ini menjadi perhatian karena lama rawat inap yang lebih panjang tentunya berkaitan dengan beban biaya medis yang lebih tinggi, bed turnover rumah sakit lebih rendah, dan risiko kesehatan seperti infeksi nosokomial. Rawat inap juga akan menurunkan produktivitas pasien, menyebabkan stres, serta meningkatkan risiko efek samping seperti penurunan kualitas hidup, delirium, dan tingkat mortalitas.[5-8]
Faktor Risiko Pemanjangan Lama Rawat Inap
Beberapa studi telah mengidentifikasi berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami pemanjangan lama rawat inap atau excess length of stay (eLOS). Ini mencakup usia lanjut, manajemen alur penangan pasien yang buruk di rumah sakit, dan adanya komplikasi klinis.[7-12]
Sebuah studi di Australia melibatkan lebih dari 5 juta kasus rawat inap dengan berbagai indikasi medis dan berbagai kelompok usia. Studi ini mengidentifikasi beberapa faktor yang berkaitan dengan pemanjangan lama rawat inap, yakni usia lanjut, perokok, tingkat komorbiditas yang lebih kompleks, dan riwayat rawat inap sebelumnya dalam 12 bulan.[3]
Lebih spesifik pada pasien usia lanjut, sebuah studi yang melibatkan 77.144 pasien rawat inap akibat fraktur panggul melaporkan bahwa jenis kelamin pria, penggunaan ventilator, penyakit paru obstruktif kronis, serta waktu antara masuk rumah sakit dan operasi yang lebih lama merupakan prediktor pasien mengalami pemanjangan lama rawat inap.[13]
Lama Rawat Inap yang Lebih Panjang Berkaitan dengan Tingkat Mortalitas Lebih Tinggi
Telah banyak studi yang menunjukkan bahwa durasi rawat inap yang lebih panjang justru berkaitan dengan tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Dalam suatu studi di Inggris yang melibatkan 32.270 partisipan, pasien segala umur yang memiliki durasi rawat inap yang lebih panjang dilaporkan memiliki risiko kematian dalam 30 hari yang nyaris 3 kali lebih tinggi, serta risiko kematian dalam 2 tahun yang 2 kali lebih tinggi.[1]
Berbagai studi lain juga menunjukkan hasil serupa. Sebuah studi yang mengevaluasi 22.094 admisi pasien menyebutkan tingkat kematian dalam rumah sakit (in-hospital death) lebih tinggi pada pasien dengan durasi rawat lebih panjang, yakni 8,2% dibandingkan 3,1% pada kelompok durasi rawat pendek. Studi di Australia yang telah disebutkan sebelumnya juga melaporkan tingkat mortalitas mencapai 5% untuk pasien yang dirawat inap dalam waktu lama dibandingkan 1,8% pada pasien yang tidak.[3,14]
Lama Rawat Inap yang Lebih Panjang Berkaitan dengan Tingkat Komplikasi Lebih Tinggi
Perawatan di rumah sakit juga telah dikaitkan dengan berbagai komplikasi, termasuk trauma rawat inap, gangguan tidur, gangguan mobilitas, ketidakseimbangan nutrisi, dan gangguan mood. Pasien dengan durasi rawat lebih lama juga telah dilaporkan justru akan mengalami peningkatan risiko rawat inap kembali (readmisi) atau kunjungan unit gawat darurat yang tidak direncanakan.[6,15]
Sebuah studi retrospektif juga menunjukkan bahwa pemanjangan lama rawat inap berkaitan dengan peningkatan risiko perawatan intensif dan peningkatan durasi kebutuhan ventilator. Selain itu, sebuah tinjauan sistematik yang mengevaluasi 35 studi menunjukkan bahwa penundaan keluar rumah sakit berkaitan dengan peningkatan risiko depresi dan gangguan aktivitas sehari-hari.[14,16]
Rawat inap yang lebih lama juga akan memaparkan pasien pada risiko infeksi nosokomial, seperti pneumonia nosokomial, yang lebih tinggi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa lama rawat inap merupakan faktor risiko signifikan dari infeksi nosokomial. Sebuah studi bahkan menunjukkan adanya peningkatan risiko infeksi nosokomial 3 kali lipat pada pasien yang dirawat lebih dari 8 hari.[17,18]
Lama Rawat Inap yang Lebih Panjang Berkaitan dengan Tingkat Stres Lebih Tinggi
Selama rawat inap, stres dapat terjadi akibat respons terhadap perubahan yang terjadi pada diri pasien. Stres selama rawat inap dapat menurunkan kualitas luaran klinis, termasuk pemanjangan waktu penyembuhan luka, peningkatan risiko gangguan kardiovaskuler, penurunan kesehatan secara umum, serta meningkatkan terjadinya post hospital syndrome (PHS).
Post hospital syndrome diartikan sebagai sekumpulan gangguan kesehatan pasca rawat akibat terjadinya peningkatan kerentanan pasien untuk mengalami efek samping. Ini dapat terjadi akibat adanya perubahan sistem imun, perubahan fungsi organ, ketidakseimbangan endokrin-metabolik, dan siklus tidur.[9,15,16]
Kesimpulan
Pada beberapa kasus, dokter kerap menunda kepulangan pasien dari rumah sakit karena masih adanya gejala klinis, sekalipun gejala yang dialami bersifat ringan dan tidak lagi mengancam nyawa. Di lain pihak, lama rawat inap yang lebih panjang telah dikaitkan dengan luaran klinis yang lebih buruk. Selain dari peningkatan kebutuhan biaya dan sumber daya kesehatan, lama rawat inap yang memanjang tanpa adanya indikasi klinis yang jelas banyak dilaporkan menyebabkan peningkatan angka mortalitas, infeksi nosokomial, komplikasi, serta menyebabkan stress pada pasien.