Kebiasaan mencuci tangan pada kalangan medis sangat penting untuk mencegah health care-associated infection (HAI). WHO mendefinisikan HAI sebagai infeksi yang diperoleh pasien yang dirawat atas indikasi penyakit noninfeksi yang terjadi 48 jam setelah pasien masuk ke rumah sakit, 3 hari setelah pasien pulang dari rumah sakit, atau 30 hari pasca menjalani operasi.[1]
Faktor utama terjadinya HAI adalah kontak langsung petugas kesehatan yang terpapar kuman dengan pasien. Data CDC pada tahun 2011 menunjukan bahwa terjadi 721.800 kasus HAI di Amerika Serikat, dengan angka kematian per tahun mencapai 80.000 jiwa. Kondisi ini juga diketahui telah menghabiskan dana negara sebesar USD 35.000.000.000. Dilaporkan bahwa 100-1000 Colony Forming Unit (CFU) ditemukan pada tangan petugas kesehatan ketika melakukan pekerjaan ‘bersih’, seperti melakukan pengukuran suhu, memeriksa denyut nadi, dan memeriksa tekanan darah.[2,3]
HAI dapat menyebabkan pengobatan di rumah sakit lebih lama, kecacatan jangka panjang, resistensi antibiotik, peningkatan biaya kesehatan, dan kematian. Penelusuran lebih lanjut terkait masalah HAI dilakukan di berbagai belahan dunia untuk mencari penyebab utama kejadian tersebut, Hasil penelusuran menunjukkan bahwa angka kepatuhan cuci tangan di kalangan tenaga medis sangat rendah, yakni hanya mencapai 39%.[2,4]
Di Indonesia sendiri, terdapat berbagai data mengenai angka kepatuhan cuci tangan yang rendah pada tenaga medis, khususnya dokter, seperti yang dilaporkan pada penelitian di salah satu rumah sakit di Semarang dimana angka kepatuhan cuci tangan dokter hanya mencapai 21,22%. Studi lain di salah satu rumah sakit di Bali menunjukan bahwa angka kepatuhan cuci tangan pada dokter hanya mencapai 45,1%.[5,6]
Prinsip dan Prosedur Cuci Tangan
Penelitian yang dilakukan oleh WHO menyebutkan terdapat beberapa mikroba yang dapat ditransmisikan melalui higienitas tangan yang buruk, yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, dan Vancomycin-resistant Enterococcus.[1] Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau dengan handrub diharapkan dapat membantu mencegah transmisi mikroba dari tangan petugas kesehatan, sehingga dapat mengurangi kejadian health care-associated infection (HAI). [7]
WHO mengemukakan ada 5 waktu penting bagi tenaga medis untuk mencuci tangan, yaitu:
- Sebelum kontak dengan pasien
- Sebelum tindakan aseptik
- Setelah terkena cairan tubuh pasien
- Setelah kontak dengan pasien
- Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien
WHO juga merekomendasikan cara cuci tangan yang meliputi 6 langkah cuci tangan berikut:
- Tuang cairan handrub atau sabun pada telapak tangan, kemudian usap dan gosok kedua telapak tangan secara lembut dengan arah memutar.
- Usap dan gosok juga kedua punggung tangan secara bergantian
- Gosok sela-sela jari tangan hingga bersih
- Bersihkan ujung jari secara bergantian dengan posisi saling mengunci
- Gosok dan putar kedua ibu jari secara bergantian
- Letakkan ujung jari ke telapak tangan, kemudian gosok perlahan
WHO juga menyebutkan 3 prinsip cuci tangan yang perlu diperhatikan, yaitu:
- Dilakukan dengan menggosokkan tangan menggunakan cairan antiseptik (handrub) atau dengan air mengalir dan sabun antiseptik (handwash).
Handrubdilakukan selama 20-30 detik, sedangkan handwash selama 40-60 detik
- 5 kali melakukan handrub sebaiknya diselingi 1 kali handwash
Cuci tangan merupakan tindakan yang murah dan efektif dalam membantu menurunkan risiko kejadian HAI. Penelitian di Yogyakarta menunjukkan bahwa dengan mencuci tangan menggunakan air mengalir dan sabun maka koloni kuman pada tangan dapat berkurang hingga menjadi 1/5 dari jumlah koloni semula. [8] Penelitian lain menyebutkan bahwa mencuci tangan menggunakan handrub juga dapat mengurangi koloni kuman di tangan hingga 60%, tetapi angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir (72%).[9]
Faktor Terkait Rendahnya Angka Kepatuhan Cuci Tangan Pada Kalangan Medis
Berbagai penelitian dilakukan guna mencari faktor pencetus rendahnya angka kepatuhan cuci tangan, khususnya di kalangan dokter. Faktor utama yang ditengarai menjadi penyebab rendahnya angka kepatuhan cuci tangan di kalangan dokter adalah ketersediaan fasilitas cuci tangan yang jauh dari jangkauan dan tingginya beban kerja dokter.
Saragih dan Rumapia pada penelitiannya berargumen bahwa fasilitas yang tidak mendukung, termasuk lokasi wastafel yang sulit dijangkau, menjadi kendala bagi tenaga medis untuk melakukan cuci tangan sesuai anjuran WHO dan menyebabkan turunnya compliance rate dalam melakukan cuci tangan.[4] Selain itu, faktor lain mencakup belum adanya sistem pengawasan ataupun reward-punishment yang adekuat, serta masalah iritasi kulit atau hand dermatitis pasca penggunaan sabun cuci tangan dan handrub masih menjadi kendala yang dikemukakan petugas medis.[1,3]
Solusi untuk Meningkatkan Angka Kepatuhan Cuci Tangan Dokter
Ada beberapa cara yang dapat diupayakan untuk meningkatkan angka kepatuhan cuci tangan berdasarkan faktor pencetus rendahnya angka kepatuhan pada kalangan medis, yaitu:
- Samakan mindset bahwa selain mengurangi angka health care-associated infection (HAI), mencuci tangan sebetulnya juga bermanfaat untuk melindungi tenaga medis dari penularan penyakit. Dengan mencuci tangan, koloni kuman akan berkurang, sehingga kemampuannya untuk mencetuskan penyakit akan berkurang pula
- WHO mengemukakan bahwa pemasangan poster pengingat cuci tangan di ruang praktik, terutama pada sudut yang mudah terlihat, akan membantu mengingatkan tenaga medis untuk mencuci tangan di waktu-waktu yang telah dianjurkan WHO
- Mendekatkan sarana untuk cuci tangan seperti wastafel, serta menjamin ketersediaan handrub di meja praktik. Hal ini juga memudahkan dan meningkatkan efisiensi waktu
- Penyediaan krim pelembab tangan untuk mengurangi iritasi pasca penggunaan sabun antiseptik atau handrub
- Kebijakan dari pusat layanan kesehatan, berupa peraturan dengan sistem pengawasan yang kuat, akan memberi unsur ‘kewajiban’ bagi kalangan medis untuk melakukan praktik cuci tangan sesuai prosedur[1,2]
Kesimpulan
Kebiasaan cuci tangan pada kalangan medis dapat mencegah terjadinya health care-associated infection (HAI). Namun, berbagai studi telah melaporkan bahwa angka kepatuhan cuci tangan pada kalangan medis masih rendah. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor, seperti letak sarana cuci tangan atau handrub yang jauh dari jangkauan, kesibukan tenaga medis yang tinggi, dan iritasi yang sering terjadi setelah menggunakan handwash atau handrub.
Untuk meningkatkan kepatuhan, dapat dilakukan edukasi berkala pada petugas medis demi menyamakan mindset mengenai pentingnya kebersihan tangan yang tidak hanya bermanfaat bagi pasien tapi juga dapat mencegah penularan penyakit infeksius pada petugas medis. Selain itu, dapat diletakkan poster pengingat, mendekatkan sarana cuci tangan, menyediakan krim pelembab untuk mengurangi iritasi, dan pembuatan kebijakan yang lebih mengikat oleh pusat layanan kesehatan.