Red flags atau tanda bahaya disfungsi ereksi perlu dikenali untuk membedakan penyebab dasar jinak dan penyebab lain dengan risiko luaran yang buruk. Disfungsi ereksi merupakan kondisi seksual yang tidak berbahaya, tetapi kondisi ini dapat merupakan kondisi penyerta dari permasalahan kesehatan yang lain. Oleh sebab itu, pengetahuan akan penyebab disfungsi ereksi sangat penting dimiliki oleh tenaga kesehatan. Melalui anamnesis terarah dan pemeriksaan fisik, tenaga medis diharapkan dapat menentukan kemungkinan adanya kondisi lain yang mendasari disfungsi ereksi.[1,2]
Sekilas tentang Etiologi Disfungsi Ereksi
Kondisi disfungsi ereksi merupakan kondisi dengan etiologi multifaktorial dan memiliki diagnosis banding penyebab dasar yang luas. Penyebab dari disfungsi ereksi dapat berupa kondisi psikogenik, vaskular, neurologis, faktor lokal organ, hormonal, dan penggunaan obat-obatan. Kondisi vaskular, seperti arteriosklerosis, dapat mmenyebabkan adanya sumbatan pada pembuluh darah yang memperdarahi penis. Gangguan lain yang mungkin terjadi adalah kebocoran dari pembuluh darah vena, sehingga ereksi tidak dapat dipertahankan.[3,4]
Gangguan neurologis yang dapat berkaitan dengan disfungsi ereksi mencakup permasalahan pada saraf pusat maupun perifer yang menyebabkan gangguan pada hantaran saraf dan refleks pasien. Gangguan tersebut dapat berupa stroke, massa intrakranial, atau gangguan pada korda spinalis seperti trauma. Trauma pada penis dapat menyebabkan kondisi Peyronie yang dapat mengganggu ereksi.[4-6]
Red Flags Disfungsi Ereksi
Adanya red flags disfungsi ereksi berkaitan erat dengan kondisi lain yang mendasari. Kelainan neurologis, vaskular, hormonal, dan organ lokal menjadi tanda diperlukannya evaluasi lebih lanjut. Beberapa red flags disfungsi ereksi adalah:
- Riwayat trauma pada tulang belakang
- Gangguan neurologis, termasuk rasa kebas pada area bokong dan genital
- Tidak terdapat ereksi saat malam hari atau saat terbangun pagi hari
- Nyeri dada
- Nyeri saat ereksi
- Sesak napas
- Nyeri kepala
- Nyeri atau kram pada tungkai setelah beraktivitas.[3,6-8]
Sekilas tentang Manajemen Pasien dengan Disfungsi Ereksi
Investigasi lanjutan diperlukan pada pasien dengan red flags disfungsi ereksi. Ini penting untuk mendeteksi penyebab dasar yang bermakna, seperti adanya tumor otak atau kelainan korda spinalis.
Anamnesis
Anamnesis pasien disfungsi ereksi dilakukan dengan menekankan profesionalisme dan kerahasiaan informasi yang disampaikan oleh pasien. Tenaga kesehatan perlu untuk mengetahui frekuensi terjadinya disfungsi ereksi dan lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ereksi. Ereksi pada kondisi lain juga perlu diketahui oleh tenaga kesehatan, seperti ereksi pada saat bangun tidur di pagi hari atau saat bersama dengan pasangan atau masturbasi. Hal tersebut perlu diketahui untuk mengarahkan etiologi merupakan kondisi organik atau psikologi. Masalah dengan pasangan mungkin dapat ditanyakan untuk menentukan adanya kondisi psikologis yang mendasari.[2,5]
Melalui anamnesis lebih dalam, ditanyakan tanda-tanda kelainan pada sistem organ lain. Kelainan pada korda spinalis dapat menyebabkan rasa kebas pada area saddle, gangguan berkemih, dan defekasi. Riwayat trauma pada daerah tulang belakang juga perlu diketahui. Gangguan neurologis pada sistem saraf pusat juga dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi ereksi. Selain itu, kelainan seperti klaudikasio menggambarkan masalah pada sistem vaskular. Gejala angina juga dapat menjadi tanda adanya masalah pada sistem kardiovaskular. Kelainan dari organ lokal seperti Peyronie akan menyebabkan rasa nyeri yang terjadi saat ereksi.[1,2]
Riwayat pola hidup dan penyakit lain yang diderita pasien dapat memberikan petunjuk penyebab dari disfungsi ereksi. Diabetes melitus dan obesitas merupakan salah satu kondisi yang berhubungan dengan kejadian disfungsi ereksi. Dislipidemia dan riwayat penyakit kardiovaskular juga menjadi faktor risiko. Pasien dengan riwayat merokok dan adiksi diketahui memiliki risiko lebih tinggi mengalami disfungsi ereksi.[1,5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan melakukan pemeriksaan status generalis. Pemeriksaan status generalis dilakukan untuk menilai fungsi organ dan adanya faktor risiko dari disfungsi ereksi. Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan untuk mengetahui keterlibatannya sistem saraf. Pemeriksaan neurologis yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan reflek kremaster dan pemeriksaan motorik dan sensorik. Untuk mengetahui adanya masalah pada kondisi vaskular, dapat dilakukan palpasi pulsasi arteri femoralis dan melalui auskultasi dapat terdengar bruit.[1,4]
Inspeksi genital dapat menunjukkan adanya abnormalitas dari penis. Kondisi bentuk yang abnormal dapat mengarahkan diagnosis Peyronie sebagai penyebab disfungsi ereksi. Selain itu, ukuran penis dan testis, distribusi rambut pubis juga dapat memberi petunjuk akan adanya kelainan hormonal pada pasien.[1,5]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang kasus disfungsi ereksi dilakukan melalui laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk menegakkan adanya diabetes melitus, dislipidemia, dan kelainan metabolik lainnya. Pemeriksaan hormonal seperti kadar testosteron, tiroid, dan prolaktin dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kelainan pada metabolisme hormon atau gonad pasien.[5,9]
Pemeriksaan radiologi yang biasanya digunakan adalah USG doppler untuk menentukan adanya sumbatan pada aliran darah ke penis. Pemeriksaan doppler juga dapat menentukan adanya kebocoran vena pada penis yang dapat menyebabkan ereksi tidak bertahan lama. Kondisi seperti Peyronie, trauma penis, dan priapismus dapat dideteksi dengan penggunaan USG.[5,10]
Terdapat pemeriksaan lain, seperti nocturnal penile tumescence (NPT), untuk mendeteksi kejadian ereksi selama malam hari. Pemeriksaan ini awalnya hanya dapat dilakukan di rumah sakit. Seiring dengan berkembangnya teknologi, pemeriksaan ini menjadi lebih nyaman dan dapat dilakukan di rumah dengan alat yang portable.[1,11]
Pasien dengan disfungsi ereksi disarankan untuk menjalani skrining risiko penyakit kardiovaskular. Pada pasien dengan stratifikasi risiko sedang, sudah perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa exercise stress test. Jika memang terdapat kelainan, pemeriksaan kardiovaskular dan pengobatannya diutamakan sebelum terapi disfungsi ereksi.[3,11]
Tata Laksana
Terapi disfungsi ereksi dilakukan sesuai dengan etiologi. Jika penyebab disfungsi ereksi adalah faktor organik, tata laksana faktor organik tetap perlu untuk dilakukan sebagai terapi utama. Perubahan pola hidup seperti berhenti merokok, penurunan berat badan, dan pola hidup sehat diharapkan dapat memperbaiki kondisi disfungsi ereksi. Pada pasien yang mengonsumsi obat-obatan, dapat dipertimbangkan penghentian obat atau mengganti obat dengan golongan lain.
Terapi simtomatik yang dapat dilakukan dalam menangani disfungsi ereksi antara lain pengobatan dengan inhibitor fosfodiesterase-5 seperti sildenafil, vardenafil, dan tadalafil jika tidak ada kontraindikasi. Terapi lain yang dapat diberikan berupa suplemen testosteron, prostaglandin intrauretral atau intrakavernosa, dan penggunaan vakum eksternal.
Terapi bedah direkomendasikan sebagai terapi akhir bila terapi sebelumnya tidak menunjukkan hasil. Terapi bedah dapat berupa pemasangan protesa, revaskularisasi, angioplasti, dan berbagai intervensi lain sesuai dengan etiologi.[9,12,13]