Red flag atau tanda bahaya tinnitus perlu dikenali oleh dokter karena beberapa kasus tinnitus mungkin memerlukan rujukan ke fasilitas kesehatan lebih lanjut secara segera. Tinnitus didefinisikan sebagai adanya persepsi suara di salah satu atau kedua telinga meskipun tidak ada stimulus auditori dari luar.[1-3]
Tinnitus dapat terjadi dengan atau tanpa kehilangan pendengaran. Kondisi ini mungkin bersifat pulsatil maupun nonpulsatil. Persepsi suara yang dialami oleh penderita dapat menyerupai suara berdenging, bergumam, bersiul, atau bertiup.[1-3]
Sekilas tentang Etiologi Tinnitus
Kemungkinan etiologi tinnitus cukup luas. Untuk memudahkan identifikasi, dokter dapat memikirkan kemungkinan etiologi berdasarkan jenis tinnitus.[4]
Tinnitus pulsatil dibedakan menjadi tinnitus pulsatil sinkron dan tidak sinkron. Tinnitus pulsatil sinkron umumnya berhubungan dengan etiologi vaskular, seperti hipertensi intrakranial, hipertensi sistemik, malformasi arteri-vena, dan tumor vaskular. Sementara itu, tinnitus pulsatil tidak sinkron berkaitan dengan etiologi mekanik, seperti mioklonus otot di telinga tengah, kontraksi otot palatum, dan kontraksi tuba Eustachius.[1-4]
Tinnitus nonpulsatil dibedakan menjadi tinnitus dengan kehilangan pendengaran yang unilateral atau bilateral. Tinnitus nonpulsatil dengan kehilangan pendengaran unilateral dan abnormalitas pada hasil otoskopi mungkin disebabkan oleh impaksi serumen, otitis media kronis, perforasi membran timpani, dan kolesteatoma.[1-4]
Tinnitus nonpulsatil dengan kehilangan pendengaran unilateral dan tanda neurologis dapat disebabkan oleh infark batang otak, tumor cerebellopontine-angle, dan multiple sclerosis. Sementara itu, tinnitus nonpulsatil dengan kehilangan pendengaran unilateral tanpa gejala neurologis mungkin disebabkan oleh trauma akustik, penyakit Meniere, dehisensi kanalis semisirkularis, ataupun paparan bising kronis.[1-4]
Tinnitus nonpulsatil yang disertai kehilangan pendengaran bilateral dan hasil otoskopi normal mungkin disebabkan oleh presbikusis (paling sering), paparan bising kronis, trauma akustik, trauma kepala, konsumsi obat ototoksik, hingga otosklerosis.[1-4]
Red Flag Tinnitus
Kasus tinnitus yang harus segera dirujuk ke dokter spesialis THT yang sedang bertugas atau sedang on-call adalah kasus dengan red flag berikut:
- Tinnitus pulsatil yang muncul mendadak
- Tinnitus dengan gejala neurologis signifikan, misalnya paresis wajah
- Tinnitus dengan vertigo yang parah
- Tinnitus dengan kehilangan pendengaran mendadak yang tidak dapat dijelaskan
- Tinnitus yang terjadi setelah trauma kepala
- Tinnitus dengan distress fungsional ataupun distress psikologis serius[5]
Sementara itu, kasus tinnitus yang mungkin tidak memiliki red flag tetapi membutuhkan rujukan ke poliklinik THT adalah sebagai berikut:
- Tinnitus unilateral
- Tinnitus pulsatil dengan onset bertahap
- Tinnitus objektif yang dapat didengar secara eksternal oleh orang lain
- Tinnitus dengan otalgia dan otorrhea persisten yang tidak merespons terapi
- Tinnitus dengan kehilangan pendengaran intermittent atau progresif dengan atau tanpa rasa pusing[5]
Sekilas tentang Manajemen Pasien dengan Red Flag Tinnitus
Manajemen pasien dengan red flag tinnitus dimulai dari anamnesis serta pemeriksaan fisik yang terarah untuk menentukan etiologi dan tata laksana yang tepat.[1,3]
Anamnesis
Anamnesis perlu meliputi onset tinnitus, durasi tinnitus, gejala unilateral atau bilateral, gejala dengan atau tanpa pulsasi (pulsasi sinkron atau tidak sinkron), dan ada tidaknya riwayat paparan suara keras. Selain itu, tanyakan juga persepsi suara yang dialami apakah bersifat high-pitch (berdenging atau berdesis) atau low-pitch (berdengung atau bergumam). Tanyakan juga riwayat trauma akustik dan gejala penyerta lain seperti penurunan tajam pendengaran, vertigo, dan gejala neurologis fokal.[1,3]
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan fisik dan penunjang dapat dilakukan untuk rule-in dan rule-out diagnosis banding. Pemeriksaan fisik dapat meliputi pemeriksaan nervus kranialis, otoskopi untuk melihat tanda infeksi telinga, perforasi membran timpani, ataupun tumor di telinga tengah, serta auskultasi bruit di regio leher, mastoid, dan pre-aurikular (terutama pada pasien dengan tinnitus pulsatil).[1,3]
Pasien tinnitus pulsatil disarankan untuk menjalani magnetic resonance angiogram (MRA) dan venogram kepala-leher. Pasien dengan tinnitus unilateral nonpulsatil dan pemeriksaan otoskopi normal disarankan untuk menjalani magnetic resonance imaging (MRI) nonkontras kanalis auditori interna. Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak dilakukan pada kasus tinnitus.[1,5]
Tata Laksana
Kasus tinnitus yang reversible dan tidak berbahaya, misalnya tinnitus akibat impaksi serumen, otitis media atau otitis eksterna, dan efek samping obat tertentu umumnya dapat ditangani di fasilitas kesehatan primer.[5]
Tinnitus kronis yang tidak berbahaya bisa membaik seiring berjalannya waktu karena pasien mulai terbiasa. Beberapa pasien mengalami perbaikan gejala dengan memakai alat bantu dengar untuk menyamarkan persepsi tinnitus. Gangguan tidur akibat tinnitus dapat dibantu dengan suara latar belakang seperti musik atau kipas angin.[1,3]
Namun, apabila dokter menemukan tinnitus dengan tanda bahaya seperti yang telah disebutkan di atas, dokter perlu merujuk pasien segera ke dokter spesialis THT setelah melakukan stabilisasi awal.[1,5]
Pembedahan kadang diperlukan sesuai etiologi. Contoh pembedahan dapat berupa reseksi neuroma akustik, reseksi tumor cerebellopontine angle, endolymphatic sac shunt pada penyakit Meniere, dan stapedektomi pada otosklerosis. Mioklonus stapedius dan tensor timpani dapat dikoreksi juga dengan operasi pada otot terkait. Pada pasien dengan penyakit meniere, injeksi kortikosteroid intratimpani saat ini menjadi perdebatan dalam pilihan tata laksana.[1,3]