Risiko menggunakan synthetic cannabinoid (kanabinoid sintetik) menciptakan efek psikoaktif yang lebih kuat, oleh karena itu lebih berbahaya dibandingkan dengan cannabis natural. Meskipun kadang dipromosikan sebagai alternatif dari ganja yang aman. Di Indonesia mulai dikenal luas tahun 2015 dengan nama tembakau gorilla. Cannabinoid sintetik mulai populer pada tahun pada awal 2000 di Eropa dan tahun 2008 di Amerika Serikat berupa merek spice.[1-4]
Cannabinoid sintetik adalah substansi psikoaktif baru (Novel Psychoactive Substances) yang banyak dikonsumsi. Secara struktur kimia, cannabinoid sintetik berbeda dengan delta-9-tetrahydrocannabinol (THC), namun keduanya bekerja sebagai agonis reseptor endocannabinoid CB1 dan CB2. Paparan yang berlebihan dalam waktu lama terhadap cannabinoid sintetik menurunkan ekspresi dari CB1, membuat efek toleransi, dan gejala putus obat ketika pemakaian dihentikan.[1,2]
Zat ini awalnya dikembangkan untuk penelitian medis, namun karena efek psikoaktifnya kuat maka kemudian perlahan-lahan disalahgunakan. Umumnya produk-produk cannabinoid sintetik disemprotkan pada material tumbuhan atau dalam bentuk cairan yang bisa dihisap dan diseduh seperti teh. Dewasa ini, cannabinoid sintetik dikenal dengan berbagai nama: black mamba, bliss, fake weed, K-2, spice, skunk, atau tembakau gorilla. Meskipun kadang dipromosikan sebagai alternatif dari ganja yang aman, namun pemakaian cannabinoid sintetik menciptakan efek psikoaktif yang lebih kuat, oleh karena itu lebih berbahaya dibandingkan dengan cannabis natural.[3,4]
Cara Kerja Cannabinoid Sintetik
Cannabinoid sintetik memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor endocannabinoid CB1 dan CB2, berbeda dengan kanabis natural yang merupakan agonis parsial. Ketika reseptor cannabinoid tereksitasi, terjadi stimulasi dopamin dan aktivasi dari G-protein-coupled-receptors yang kemudian meningkatkan aktivitas otak terutama pada pusat rasa senang. Aktivasi CB1 mengubah aktivitas pada pusat visual dan auditori sehingga menimbulkan gangguan dalam persepsi. Ikatan zat ini pada reseptor CB2 mempengaruhi efek adiksi pada penggunanya. Reseptor CB1 secara spesifik berperan pada modulasi GABA dan glutamat yang mempengaruhi kerja dari korteks prefrontal.[1,7]
Setiap generasi baru dari cannabinoid sintetik memiliki efek agonis yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Metabolit zat tersebut memiliki efek agonis parsial pada reseptor dan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan THC dan menghasilkan efek adiktif yang lebih tinggi, yang kemudian berpengaruh pada peningkatan kepopuleran zat ini. Selain itu, metabolit dari cannabinoid sintetik juga terikat pada CB2 yang mempengaruhi rasa senang dan adiksi pada penggunanya.[1]
Dalam tubuh, paparan metabolit cannabinoid sintetik dalam waktu lama dapat mengubah struktur neuron dan disfungsi aktivitas neuronal lewat peningkatan aktivitas inflamasi dan stress oksidatif. Aktivasi mediator inflamasi menyebabkan kerusakan sel dan penurunan viabilitas sel. Pada tahap selanjutnya, terjadi kerusakan DNA yang masif sehingga usia sel memendek. Kerusakan sel tidak terbatas pada persarafan saja namun juga sistem yang lain, misalnya pada hepatosit, limfosit, dan sistem reproduksi. Mekanisme adiksi pada penggunaan cannabinoid sintetik terjadi karena modulasi dan desensitisasi dari reseptor CB yang menurunkan efektivitas zat dalam pemakaian berulang, sehingga penggunanya membutuhkan dosis yang lebih tinggi demi mencapai efek yang sama.[1]
Efek cannabinoid sintetik yang lebih hebat dibandingkan dengan THC disebabkan oleh beberapa hal. Cannabinoid sintetik menunjukan aktivitas pada reseptor selain cannabinoid, contohnya reseptor serotonin, GABA, glutamat dan opioid. Aktivitas cannabinoid sintetik yang luas terhadap neurotransmitter di otak berperan pada luasnya gejala klinis yang ditemukan pada pengguna zat. Selain itu, pada kanabis natural, efek THC dimitigasi oleh zat-zat lain, misalnya terpenoid, cannabidiol, dan tetrahydrocannabivarin. Namun zat ini tidak terdeteksi di cannabinoid sintetik sehingga tidak terjadi efek mitigasi. Zat cannabidiol secara spesifik bisa memitigasi gejala psikotik dan kecemasan pada kanabis natural, dan tidak adanya zat ini membuat efek psikosis yang lebih hebat pada pemakaian cannabinoid sintetik.[1,6]
Gejala Psikologis Cannabinoid Sintetik
Seiring dengan peningkatan konsumsi cannabinoid sintetik, terjadi juga peningkatan masalah psikologis pada pengguna zat. Masalah psikologis ini bisa terjadi pada pengguna tanpa riwayat gangguan mental sebelumnya. Efek psikoaktif yang lebih tinggi pada cannabinoid sintetik membuat zat ini jauh lebih mudah menyebabkan rasa senang dibandingkan kanabis natural, efek ini ditunjang dengan tidak adanya zat pemitigasi (seperti cannabidiol). Cannabinoid sintetik memiliki potensi 40-660 kali lebih tinggi dibandingkan dengan THC dari cannabis, dengan reseptor afinitas 4-5 kali lebih kuat.
Efek psikosis pada penggunaan cannabinoid sintetik dimediasi oleh aktivitas pada reseptor CB1 dan CB2 yang mengubah persepsi visual dan auditori serta peningkatan aktivitas di pusat rasa senang di otak (nukleus accumbens, amygdala, korteks prefrontal). Pada pencitraan, didapatkan peningkatan aktivitas dopamine di striatum (basal ganglia yang mengontrol kognisi dan perilaku sosial). Individu dengan riwayat gangguan mental sebelumnya juga dilaporkan mengalami perburukan gejala setelah menggunakan cannabinoid sintetik, beberapa diantaranya cukup berat hingga membutuhkan intervensi sedasi dan terapi kejut listrik.[1,5]
Cannabinoid Sintetik Eksaserbasi Gangguan Mental
Cannabinoid sintetik berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan mental seperti depresi, kecemasan, skizofrenia, dan gangguan mood. Usia onset episode mania berkurang pada penggunaan zat ini, serta berpotensi menyebabkan eksaserbasi gejala depresi. Efek ini diperparah dengan penurunan kualitas tidur dibandingkan dengan kanabis natural. Intoksikasi akut dari cannabinoid sintetik membutuhkan pemantauan berkala karena pasien dapat berperilaku agresif, halusinasi, dan ada percobaan bunuh diri yang terjadi hingga beberapa hari paska pemakaian zat ini.[1,6]
Risiko Psikosis dari Cannabinoid Sintetik
Psikosis pada pemakaian cannabinoid sintetik bisa terjadi pada pemakaian pertama dengan gejala klinis yang sangat bervariasi, baik pada spektrum gejala positif, negatif, dan kognitif. Gejala positif lebih dominan terjadi dan meliputi peningkatan mood, gangguan persepsi (halusinasi dan ilusi), depersonalisasi, disosiasi, delusi paranoid, agitasi, ide bunuh diri. Gejala negatif meliputi afek tumpul, retardasi psikomotor, dan penurunan emosi. Psikosis pada pemakaian cannabinoid sintetik umumnya terjadi lebih lama dari onset intoksikasi dengan didominasi gejala positif dan ide bunuh diri. Pemakaian cannabinoid sintetik pada usia muda berhubungan dengan disfungsi dari korteks prefrontal dan risiko rawat inap yang lebih besar.[1,3]
Gejala Fisik pada Cannabinoid Sintetik
Gejala fisik pada penggunaan cannabinoid sintetik disebabkan oleh efek sitotoksik dan neurotoksik akibat metabolitnya. Disfungsi oksidatif dan inflamasi terjadi secara luas pada berbagai sistem organ tubuh dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan cannabis natural. Gejala toksisitas yang muncul adalah depresi napas, perdarahan paru difus, masalah pada jantung (infark miokard, pemanjangan interval QT, henti jantung), masalah pada saluran cerna (hiperemesis), cedera ginjal akut, rhabdomiolisis, hipertermia, kejang tonik-klonik, iskemia serebral akut, penurunan kesadaran, delirium, hingga kematian. Cannabinoid sintetik juga berpengaruh terhadap sistem reproduksi dengan merusak gonad dan menurunkan kesuburan.[1,2,7]
Gejala Putus Cannabinoid Sintetik
Gejala putus zat pada pemakaian cannabinoid sintetik mirip dengan kanabis natural, namun dengan onset yang lebih cepat dan gejala yang cenderung lebih berat. Gejala ini bisa terjadi sesaat setelah mengonsumsi zat. Tanda dan gejala yang bisa ditemukan bervariasi dan diduga bergantung pada pemakaian cannabinoid sintetik sehari-hari. Umumnya gejala putus obat meliputi craving, nyeri kepala, kecemasan, susah tidur, mual muntah, penurunan nafsu makan, dan diaforesis. Penghentian cannabinoid sintetik secara mendadak berpotensi menyebabkan gejala putus zat yang berat seperti kejang, takikardia, nyeri dada, palpitasi, dan sesak.[2,7]
Penggunaan Cannabinoid Sintetik di Indonesia
Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional tahun 2020, sebanyak 3,4 juta penduduk Indonesia pernah memakai narkoba dalam 1 tahun terakhir, dengan ganja sebagai narkoba yang paling banyak dikonsumsi. Status ganja yang ilegal di Indonesia membuat fenomena cannabinoid sintetik meningkat pada tahun 2015 sehingga Badan Narkotika Nasional mendorong agar cannabinoid sintetik dimasukkan dalam UU Narkotika No. 35 tahun 2009. Di Indonesia sendiri, cannabinoid sintetik dikenal dengan beberapa nama yaitu tembakau gorilla, tembakau super, sinte, Hanoman, Natareja, atau Sun Go Kong. Sebanyak 30 jenis cannabinoid sintetik sudah teridentifikasi di Indonesia, beberapa diantaranya adalah antara lain JWH-018, XLR-11, 5-fluoro AKB 48, MAM 2201, FUB-144, AB-CHMINACA (gorilla), AB-FUBINACA, dan CB-13.[8,9]
Sejak tahun 2017, tembakau gorilla telah masuk dalam daftar Narkotika Golongan 1, sehingga pengguna dan pengedarnya bisa mendapatkan sanksi pidana sesuai undang-undang terkait. Berdasarkan data survei penyalahgunaan narkoba, pemakaian jenis cannabinoid sintetik berupa tembakau gorila adalah 3,5% dari seluruh pemakaian narkoba pada tahun 2019. Umumnya zat ini dipakai dengan cara dihirup dan ditelan. Penggunaan substansi psikoaktif baru cannabinoid sintetik di Indonesia berhubungan dengan persoalan mental dan emosional seperti rasa takut, cemas, panik, paranoid, dan gangguan memori.[8,9]