Dokter di layanan primer memiliki peranan penting dalam deteksi dan manajemen dini substance use disorder. Pasien yang telah diberikan penanganan awal kemudian dapat dirujuk ke fasilitas khusus untuk penanganan lanjutan. Deteksi dan manajemen dini yang dilakukan dokter layanan primer akan bermanfaat untuk mencegah komplikasi dan mortalitas pasien.
Substance use disorder atau penyalahgunaan zat, misalnya amphetamine and cocaine use disorder atau cannabis use disorder, adalah gangguan psikiatri kronis berulang yang ditandai oleh perilaku mencari dan mengonsumsi zat secara persisten, meskipun mengetahui adanya konsekuensi negatif. Substance use disorder menimbulkan disabilitas berat dan berbagai komorbiditas fisik maupun psikiatri.[1]
Substance use disorder adalah gangguan yang membutuhkan monitoring rutin dan bisa dicegah perburukannya. Namun sebagian besar kasusnya tidak terdeteksi dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Dokter-dokter di layanan primer bisa menjadi lini pertama dalam deteksi dan manajemen dini gangguan substance use disorder.[2]
Pasien yang datang ke layanan primer akibat stigma sosial umumnya enggan untuk membicarakan substance use disorder yang dialaminya secara terbuka. Walau demikian, mereka dapat memperlihatkan tanda-tanda yang menunjukkan adanya masalah substance use disorder. Deteksi dan manajemen dini bisa mengurangi disabilitas dan komorbiditas yang dialami oleh pasien-pasien ini.
Penanganan paripurna gangguan substance use disorder membutuhkan spesialis dan fasilitas khusus yang tidak bisa dilakukan di layanan primer. Namun deteksi dini dan intervensi awal bisa dilakukan di layanan primer. Di samping itu, layanan primer juga bisa digunakan sebagai alat untuk menjangkau pasien-pasien dengan gangguan substance use disorder yang tidak bisa dijangkau fasilitas khusus untuk substance use disorder.[3]
Deteksi Dini Substance Use Disorder
Skrining untuk gangguan substance use disorder belum menjadi prosedur rutin di layanan primer, sekalipun di daerah-daerah dengan potensi substance use disorder tinggi.
Kondisi layanan primer, khususnya di Indonesia, tidak memungkinkan proses skrining atau intervensi yang terlalu lama atau rumit untuk diaplikasikan. Untuk itu, perlu dikembangkan instrumen skrining yang sederhana dan bisa diaplikasikan dengan cepat.
McNeely, et al mengembangkan instrumen untuk skrining gangguan substance use disorder di layanan primer yang disebut Tobacco, Alcohol, Prescription Medication, and Other Substance use (TAPS). TAPS ditemukan bisa mendeteksi masalah substance use disorder yang relevan secara klinis di layanan primer di Amerika Serikat.[4] Instrumen lain yang bisa digunakan sebagai skrining substance use disorder di layanan primer adalah Drug abuse screening test yang terdiri dari 10 pertanyaan mengenai penggunaan zat.[5]
Instrumen yang direkomendasikan WHO untuk skrining masalah substance use disorder di layanan primer adalah Alcohol, Smoking and Substance Involvement Screening Test (ASSIST).[6]
Alcohol, Smoking and Substance Involvement Screening Test (ASSIST)
ASSIST adalah instrumen yang dikembangkan dan direkomendasikan oleh WHO untuk skrining gangguan substance use disorder. Instrumen ini terdiri dari 8 pertanyaan mengenai penggunaan alkohol, tembakau, dan penggunaan zat (termasuk zat yang disuntikkan). Pertanyaan-pertanyaan dalam instrumen ini akan memberikan informasi mengenai penggunaan zat yang berbahaya, substance use disorder atau adanya dependensi.
Instrumen ini dikembangkan untuk digunakan di layanan primer dan bisa digunakan dalam format wawancara atau self report. ASSIST bisa digunakan oleh semua petugas kesehatan yang ada di layanan primer.[3,6]
Pertanyaan-pertanyaan dalam ASSIST adalah:
- Tanyakan zat/obat apa saja yang pernah digunakan oleh subyek
- Tanyakan mengenai frekuensi penggunaan dalam 3 bulan terakhir, yang akan memberikan indikasi zat manakah yang paling relevan dengan kondisi kesehatan subyek saat ini
- Tanyakan mengenai frekuensi subyek mengalami keinginan atau dorongan yang kuat untuk menggunakan masing-masing zat dalam 3 bulan terakhir
- Tanyakan mengenai frekuensi masalah kesehatan, sosial, hukum, atau finansial akibat penggunaan zat dalam 3 bulan terakhir
- Tanyakan mengenai frekuensi dimana zat yang digunakan telah mengganggu peran dan tanggung jawabnya dalam 3 bulan terakhir
- Tanyakan apakah pernah ada yang menyatakan kekhawatiran mengenai masalah penggunaan zatnya dan kapankah hal itu terakhir kali terjadi
- Tanyakan apakah subyek pernah mencoba untuk mengurangi atau menghentikan penggunaan zat, dan gagal dalam usahanya untuk itu. Tanyakan kapan hal tersebut terakhir terjadi
- Tanyakan apakah subyek pernah menggunakan zat dengan cara disuntikkan, dan tanyakan kapan hal tersebut terakhir kali terjadi.[6]
Intervensi Dini Substance Use Disorder
Dilaporkan bahwa intervensi gangguan substance use disorder di layanan primer bisa dilakukan dan efektif [2]. Namun intervensi dini substance use disorder di layanan primer, khususnya di Indonesia, membutuhkan metode yang secara khusus didesain untuk dilakukan di layanan primer. Hal ini karena adanya keterbatasan tenaga dan sumber daya yang tersedia di layanan primer.
Tujuan intervensi pada pasien dengan gangguan substance use disorder adalah:
-
Mengurangi penggunaan zat dan craving
-
Meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, dan fungsi sosial pasien dengan gangguan substance use disorder
-
Mencegah harm dengan cara menurunkan risiko komplikasi dan relaps[3]
Sebuah penelitian oleh Saitz et al mengenai skrining dan intervensi singkat gangguan substance use disorder di layanan primer menemukan bahwa inervensi yang mereka lakukan tidak efektif. Hal ini karena metode yang mereka berikan tidak didesain untuk diberikan di layanan primer.[7] Sehingga intervensi substance use disorder di layanan primer membutuhkan pendekatan khusus yang disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki dan kebutuhan pasien.
Screening, Brief Interventions, and Referral to Treatment (SBIRT)
SBIRT adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi, menurunkan, dan mencegah gangguan substance use disorder di fasilitas kesehatan yang tidak didesain secara khusus untuk menangani substance use disorder (misalnya layanan primer, unit gawat darurat, atau penjara).[3,8] Metode ini bisa dilakukan oleh semua tenaga kesehatan yang ada di fasilitas kesehatan primer. Newhouse et al dalam penelitiannya melaporkan bahwa metode ini efektif diberikan oleh perawat di fasilitas kesehatan.[9]
SBIRT adalah kerangka kerja penanganan pasien dengan substance use disorder melalui proses identifikasi dengan menggunakan instrumen, intervensi risiko penyalahgunaan dengan tepat secara klinis, dan merujuk apabila masalah klinis tidak bisa ditangani.[9]
Alat skrining yang digunakan bisa dibagi menjadi 2 kategori:
-
Instrumen self report (kuesioner, wawancara), dan
- Marker biologis (pemeriksaan urine atau serum)
Instrumen yang dikembangkan oleh WHO untuk skrining adalah ASSIST. Marker biologis digunakan untuk pasien yang tidak sadar atau tidak mau melakukan wawancara. Pasien yang tidak sadar kemudian perlu distabilisasi dan segera dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar.
Perlu diingat bahwa marker biologis hanya memiliki peranan terbatas dalam mendeteksi substance use disorder karena tingkat akurasi yang rendah dan kesulitan untuk menentukan substansi yang digunakan karena reaksi silang antar substansi dapat terjadi.
Intervensi singkat dalam SBIRT adalah terapi terstruktur yang berdurasi singkat (biasanya 5-30 menit) yang bertujuan untuk membantu pasien menghentikan atau mengurangi penggunaan zat. Intervensi ini bisa dilakukan oleh dokter umum di layanan primer, sebelum merujuk ke layanan spesialis.
Intervensi singkat diawali dengan membahas masalah penggunaan zat dalam konteks kesehatan dan kesejahteraan pasien, untuk kemudian menantang pasien untuk berubah. Pasien diminta untuk berbicara mengenai keinginan untuk berubah dan menetapkan tujuan terapi yang realistis. Pada akhir sesi, dokter membuat rangkuman dan memberikan umpan balik positif untuk mendorong pasien mengambil tanggung jawab dalam perubahan perilakunya.[3]
Komponen-komponen intervensi singkat ini disingkat sebagai FRAMES, yaitu:
-
Feedback: umpan balik diberikan kepada individu mengenai risiko atau gangguan personal
-
Responsibility: tanggung jawab untuk perubahan diletakkan pada diri pasien
-
Advice: saran untuk berubah diberikan oleh dokter
-
Menu: dokter memberikan alternatif terapi atau pertolongan yang ada
-
Empathic: wawancara dilakukan secara empatik
-
Self efficacy: mendorong optimisme pasien
Pasien-pasien yang berdasarkan hasil skrining dan wawancara ternyata mempunyai masalah substance use disorder yang signifikan secara klinis atau mempunyai kondisi komorbiditas yang serius harus dirujuk ke fasilitas yang sesuai untuk mendapatkan penanganan yang tepat.[3,5]
Kesimpulan
Substance use disorder adalah gangguan kronis berulang yang membutuhkan penanganan rutin. Gangguan ini menimbulkan disabilitas berat dan berbagai komorbiditas fisik dan psikiatri. Deteksi dan intervensi dini bisa mengurangi hal ini.
Kasus substance use disorder sering kali tidak terdeteksi di layanan primer. Untuk itu, dibutuhkan metode skrining sederhana dan intervensi singkat untuk meningkatkan deteksi dan manajemen gangguan substance use disorder di layanan primer.
Telah banyak instrumen yang dikembangkan untuk deteksi dini gangguan substance use disorder di layanan primer, seperti Tobacco, Alcohol, Prescription Medication, and Other Substance use (TAPS), Drug abuse screening test, dan Alcohol, Smoking and Substance Involvement Screening Test (ASSIST). ASSIST merupakan instrumen skrining yang direkomendasikan oleh WHO.
Screening, brief interventions, and referral to treatment (SBIRT) merupakan metode yang dikembangkan untuk identifikasi, manajemen awal, dan rujukan pasien-pasien dengan gangguan substance use disorder di berbagai fasilitas kesehatan, termasuk layanan primer. Metode skrining, intervensi, dan rujukan dalam SBIRT bisa dilakukan oleh semua tenaga kesehatan yang ada di layanan primer.