Rituximab (RTX) untuk Multipel Sklerosis

Oleh :
dr.Wendy Damar Aprilano

Berbagai studi telah menunjukkan efikasi rituximab dalam pengobatan multiple sclerosis (MS), suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf pusat. Rituximab memiliki kemampuan dalam menargetkan sel B, yang berperan penting dalam patogenesis MS. Rituximab diharapkan akan mengurangi inflamasi dan memperlambat perkembangan penyakit pada pasien yang tidak berespon baik terhadap terapi MS konvensional.[1-3]

MS menyebabkan demielinasi dan degenerasi sel saraf yang menimbulkan gangguan neurologis berat pada pasien. Berdasarkan komponen kekambuhan dan perjalanan penyakit, spektrum klinis MS dimulai dari clinically isolated syndrome (CIS), relapsing-remitting MS (RRMS), primary progressive MS (PPMS), hingga secondary progressive MS (SPMS). Fase penyakit yang berbeda ini dapat memberi respon terapi berbeda karena menargetkan mekanisme yang berbeda pula.

3d,Rendering,Of,Cancer,Drugs,Vial,Rituximab.,Injection,Medical,Vial

Secara umum, MS berkaitan dengan aktivitas Sel B CD20+ di dalam cairan serebrospinal (CSF). Terapi antibodi monoklonal telah dilaporkan efektif mengurangi tingkat kekambuhan MS. Terapi antibodi monoklonal yang telah digunakan antara lain rituximab, ocrelizumab, ofatumumab, dan ublituximab. Ocrelizumab, ofatumumab, dan ublituximab telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat sebagai terapi pilihan untuk MS, tetapi ketiga obat ini tidak tersedia secara luas di seluruh dunia seperti rituximab.[1,2,4]

Mekanisme Kerja Rituximab (RTX) pada Multiple Sclerosis

Rituximab merupakan antibodi monoklonal IgG1 tipe 1 yang menargetkan CD20 seperti ocrelizumab, ofatumumab, dan ublituximab. Rituximab merupakan terapi antibodi monoklonal anti-CD20 generasi pertama. CD20 merupakan molekul yang diekspresikan pada permukaan sel B. Stimulasi pada molekul ini akan berkontribusi pada aktivasi dan diferensiasi sel B.

Pada saat domain antigen binding (Fab) berikatan dengan CD20, rituximab akan menghasilkan jalur pensinyalan yang akan menyebabkan kematian sel dan fagositosis. Bagian crystallizable (Fc) dari rituximab akan berikatan dengan komplemen C1q dan mengaktivasi complement-dependent cytotoxicity (CDC) melalui pembentukan membrane attack complex (MAC). Ini akan menghambat presentasi antigen, sitokin, dan produksi autoantibodi yang berkontribusi pada inflamasi dan kerusakan mielin pada MS.[1,2,4]

Rituximab intravena memiliki bioavailabilitas 100%. Rituximab juga dapat berikatan dengan CD20 pada sel B yang ada di darah perifer, sumsum tulang, hingga nodus limfa.[1,4,5]

Efikasi Penggunaan Rituximab pada Terapi Multiple Sclerosis

Efikasi penggunaan rituximab pada terapi multiple sclerosis (MS) telah ditunjukan oleh beberapa penelitian. Hasil penelitian fase 1 yang mengevaluasi efikasi rituximab pada pasien RRMS selama 72 minggu menunjukan bahwa rituximab 1000 mg yang diberikan intravena pada hari ke-1 dan 15, diikuti dengan infus berulang pada minggu ke-24 dan 26 dapat mengurangi angka kekambuhan tahunan (ARR) dari 0,25 menjadi 0,22 dengan 80,8% bebas kekambuhan.

Sebuah studi komparatif dari pusat MS di Swedia menunjukan bahwa rituximab lebih unggul dibandingkan interferon beta dan glatiramer asetat dalam menurunkan ARR dengan angka kekambuhan menurun sebesar 87%. Beberapa studi observasional lainnya pun mendukung efikasi rituximab pada pasien RRMS yang ditunjukan dengan penurunan ARR dan peningkatan Expanded Disability Status Scale (EDSS) bagi pasien MS.[1-3]

Perlu diketahui bahwa tidak ada terapi yang menghasilkan penurunan EDSS pada pasien PPMS, termasuk rituximab. Rituximab juga dilaporkan tidak menurunkan EDSS pada pasien SPMS. Namun, sebuah uji klinis yang membandingkan rituximab dengan glatiramer asetat pada SPMS menunjukan tidak ada penurunan EDSS signifikan pada kedua kelompok.[1,3]

Aspek Keamanan Rituximab pada Terapi Multipel Sklerosis

Sebuah studi retrospektif yang membandingkan efikasi rituximab dengan fingolimod setelah beralih dari terapi natalizumab pada pasien RRMS positif antibodi virus John Cunningham (JCV) menunjukan angka kekambuhan klinis yang lebih rendah (1,8% vs 17,6%) pada kelompok rituximab. Beberapa studi observasional juga menunjukkan bahwa rituximab menghasilkan kekambuhan, aktivitas penyakit, dan kejadian efek samping yang lebih rendah dibandingkan terapi lain.[1,3,5]

Meski begitu, beberapa uji klinis telah melaporkan bahwa efek samping yang paling sering ditemukan pada penggunaan rituximab adalah demam, menggigil, kelelahan, nyeri kepala, mual, hingga gatal, yang terjadi pada beberapa jam pertama setelah pemberian. Kejadian efek samping ini dilaporkan mengalami penurunan pada pemberian sesi berikutnya.

Risiko lain yang perlu diperhatikan adalah kejadian infeksi, termasuk infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, influenza, hingga herpes. Rituximab telah dikaitkan dengan angka kejadian infeksi yang lebih tinggi dibandingkan interferon beta, glatiramer asetat, atau natalizumab. Durasi terapi, pria, riwayat penggunaan imunosupresi atau kemoterapi, limfopenia, dan hipogammaglobulinemia merupakan faktor risiko lain untuk kejadian infeksi pada pasien yang mendapat rituximab.[1,3]

Meski ada potensi efek samping tersebut, perlu diketahui bahwa rituximab memiliki tingkat toleransi yang baik pada MS. Angka putus obat dari rituximab termasuk yang paling rendah dibandingkan dengan pilihan terapi modifikasi lainnya. Studi observasi skala besar pada pasien MS juga menunjukan bahwa angka kejadian efek samping serius sangat rendah. Tetapi, sebagai pencegahan, penting untuk melakukan evaluasi sebelum terapi diberikan, seperti infeksi hepatitis B, tuberkulosis, dan HIV.[1,2,5]

Kesimpulan

Bukti yang tersedia menunjukkan bahwa rituximab memiliki efikasi dan tingkat toleransi yang cukup baik untuk digunakan dalam penanganan multiple sclerosis. Beberapa studi menunjukkan bahwa rituximab mampu menurunkan angka kekambuhan dan aktivitas penyakit pada multiple sclerosis. Sementara itu, angka kejadian efek samping serius juga relatif lebih rendah dibandingkan terapi modifikasi penyakit lainnya. Beberapa efek samping yang bisa terjadi adalah kejadian infeksi dan reaksi infus seperti demam, menggigil, mual, dan nyeri kepala.

Referensi