Ropivacaine and Ketorolac Wound Infusion for Post–Cesarean Delivery Analgesia: A Randomized Controlled Trial
Barney EZ, Pedro CD, Gamez BH, Fuller ME, Dominguez JE, Habib AS. Ropivacaine and Ketorolac Wound Infusion for Post-Cesarean Delivery Analgesia: A Randomized Controlled Trial. Obstet Gynecol. 2020 Feb;135(2):427-435. doi: 10.1097/AOG.0000000000003601. PMID: 31923061.
Abstrak
Latar Belakang: Wanita yang menjalani operasi Cesar berisiko 2,5 kali lebih besar untuk mengalami nyeri kronik dan tiga kali lebih besar untuk mengalami depresi pasca persalinan. Hal tersebut dapat mempengaruhi proses perawatan neonatus oleh ibu yang mempengaruhi perkembangan kognitif neonatus. Meskipun regimen analgetik untuk mengatasi nyeri pasca operasi Cesar sudah menggunakan pendekatan multimodal, yang mencakup opioid neuroaksial kerja panjang, obat anti inflamasi steroid (OAINS) terjadwal, dan opioid oral kerja pendek, nyeri tetap tidak teratasi pada sebagian wanita.
Tujuan: Mengevaluasi efektivitas wound infusion menggunakan kombinasi ropivacaine dan ketorolac dibandingkan dengan plasebo sebagai analgetik pasca operasi Cesar pada wanita yang menerima regimen analgetik multimodal, termasuk morfin intratekal.
Metodologi: Studi ini merupakan uji acak buta ganda, pada wanita yang menjalani operasi Cesar terjadwal dalam anestesi spinal atau kombinasi spinal epidural yang diacak untuk mendapatkan wound infusion kombinasi ropivacaine 0,2% dan ketorolac, atau plasebo saline menggunakan pompa elastometrik selama 48 jam. Luaran utama yang dievaluasi adalah skor nyeri akibat pergerakan pada 24 jam pasca operasi, skor nyeri saat istirahat, dan skor nyeri akibat pergerakan pada jam ke-2 dan 48, konsumsi opioid, dan waktu untuk menggunakan analgetik tambahan. Besar sampel yang direncanakan adalah sebesar 35 sampel per kelompok (n=70). Uji klinis ini terdaftar dalam ClinicalTrials.gov, dengan nomor NCT02829944. Selain itu, perkembangan depresi postpartum pada minggu ke 8 dan bulan ke 6 pasca operasi juga dievaluasi.
Hasil: Antara 8 November 2016 dan 17 Mei 2019, sebanyak 247 menjalani skrining, dan 71 subjek menyelesaikan studi sesuai dengan protokol: 38 subjek dalam kelompok plasebo dan 33 subjek dalam kelompok kombinasi ropivacaine dan ketorolac. Karakteristik demografi dan intraoperatif pasien serupa antar kelompok. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok dalam hal luaran utama, yakni skor nyeri akibat pergerakan pada 24 jam (perbedaan skor median 0, 95% IK -1 sampai dengan 2, p=0.94). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada skor nyeri antara kelompok plasebo dan kombinasi ropivacaine dan ketorolac pada waktu yang lain, dengan total konsumsi opioid (perbedaan median konsumsi -12,5 mg, 95% IK -30 sampai dengan 5, p=0.11), atau dalam waktu pemberian analgetik tambahan (median [rentang interkuartil] 660 [9-1496] vs 954 [244-1710] menit, hazard ratio 0,69, 95% IK 0,41 – 1,17, p=0.16).
Kesimpulan: Pada wanita yang mendapatkan morfin intratekal dan regimen analgetik multimodal, pemberian wound infusion menggunakan kombinasi ropivacaine dan ketorolac tidak memberikan manfaat tambahan.
Ulasan Alomedika
Studi ini membandingkan efektivitas wound infusion dengan menggunakan obat anestesi lokal dan OAINS dibandingkan dengan plasebo setelah operasi Cesar pada pasien yang mendapatkan morfin neuroaksial. Tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi penggunaan wound infusion dengan obat anestesi lokal ditambah OAINS dalam mengurangi nyeri pasca operasi Cesar akibat pergerakan dalam 24 jam dibandingkan dengan pemberian plasebo. Studi ini dilakukan karena masih terbatasnya bukti yang menyatakan efektivitas pemberian obat anestesi lokal ditambah OAINS pada pasien yang telah mendapatkan morfin intratekal. Diketahui dari studi sebelumnya bahwa pemberian analgetik tambahan pada pasien yang telah mendapatkan morfin intratekal tidak berpengaruh signifikan pada nyeri yang dirasakan pasien. Namun, sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Adesope et. al, menyimpulkan bahwa terdapat sedikit penurunan dalam skor nyeri tanpa adanya perbedaan efek samping terkait morfin pada pemberian analgetik tambahan pada pasien yang telah mendapatkan morfin intratekal. Adanya perbedaan kesimpulan pada studi sebelumnya mendorong studi ini untuk dilakukan.
Ulasan Hasil Penelitian
Luaran utama dari studi ini adalah skor nyeri akibat pergerakan (duduk di atas tempat tidur dari posisi berbaring terlentang) pada 24 jam pasca operasi. Luaran sekunder yang telaah dalam studi ini mencakup skor nyeri saat istirahat pada jam ke-2, 24, dan 48 pasca operasi Cesar; skor nyeri akibat pergerakan pada jam ke-2 dan 48, konsumsi opioid pada 0-2 jam, 2-24 jam, serta 24-48 jam pasca operasi Cesar; kepuasan pasien terhadap analgetik pasca operasi; kebocoran atau diskoneksi dari pompa elastometrik dalam 48 jam; adanya nyeri kronik dan depresi pasca persalinan pada minggu ke-8 dan bulan ke-6 pasca operasi Cesar. Karena nyeri bersifat subjektif dan skor nyeri dilaporkan sendiri, penting bagi pasien dan staf perawatan kesehatan untuk tidak mengetahui intervensi tersebut. Meskipun demikian, luaran ini sesuai dengan tujuan metode penelitian dan penilaian dilakukan tanpa pasien maupun tenaga kesehatan yang merawat pasien mengetahui pasien berada dalam kelompok pengobatan atau plasebo. Selain itu, obat maupun plasebo disiapkan oleh staf farmasi dalam sediaan yang sama, sehingga tidak memungkinkan tenaga kesehatan untuk mengetahui pasien diberikan obat atau plasebo.
Kelebihan Penelitian
Kelebihan penelitian ini adalah mengevaluasi wound infusion dengan kombinasi oxycodone sebagai anestetik lokal dan OAINS (ketorolac) pada pasien yang mendapatkan analgetik dengan regimen multimodal yang mencakup pemberian morfin intratekal dan OAINS terjadwal, serta parasetamol sebagai tata laksana nyeri pasca operasi Cesar. Meskipun pemantauan mengenai adanya depresi pasca persalinan dalam studi ini dilakukan melalui panggilan telepon, tenaga kesehatan menggunakan penilaian yang terstandar yaitu Edinburgh Postnatal Depression Scale. Hal ini merupakan suatu kelebihan dari studi ini karena penilaian oleh semua tenaga kesehatan serupa dan mencakup semua poin penilaian yang tercantum dalam Edinburgh Postnatal Depression Scale tersebut.
Limitasi Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah kekuatan studi dihitung berdasarkan skor nyeri dalam 24 jam pasca operasi Cesar dan bukan pada skor nyeri pada 24-48 jam. Ini menjadi keterbatasan penelitian karena dalam studi ini, konsumsi opioid tambahan lebih sedikit pada 24-48 jam pada kelompok yang mendapatkan kombinasi ropivacaine dan ketorolac. Meskipun penilaian depresi pasca persalinan dilakukan menggunakan penilaian yang terstandar, persepsi pasien terhadap setiap poin penilaian bisa berbeda, sehingga dapat menimbulkan bias penilaian. Selain itu, limitasi dari penelitian ini adalah jumlah sampel yang sedikit dan studi kecil.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Depresi postpartum yang dialami di Indonesia mempunyai prevalensi 2,3% yang sangat kecil dibanding dengan seluruh dunia yaitu 13%.[1,2] Dengan prevalensi ini kemungkingnan di Indonesia banyak kasus yang tidak terdiagnosa depresi postpartum karena merupakan keadaan dimana pasien merasa malu untuk menyampaikannya dan karena itu kemungkinan tidak dilaporkan atau kurang terdiagnosis. Namun diketahui bahwa wanita yang mengalami komplikasi akibat persalinan memiliki risiko 6 kali lebih besar mengalami depresi pasca persalinan dalam penelitian di Indonesia.[1] Nyeri luka kronis setelah operasi caesar telah dikaitkan dengan depresi pasca persalinan.
Menggunakan infus anestesi lokal (bupivacaine) dan NSAID (ketorolac) di samping manajemen nyeri lainnya tidak memberikan manfaat yang lebih baik dalam penelitian ini, dan oleh karena itu kecuali bukti yang lebih meyakinkan tersedia dari uji coba yang lebih besar, ini tidak boleh diadopsi di Indonesia. Namun meminimalkan komplikasi persalinan termasuk memberikan manajemen nyeri luka yang baik pasca operasi caesar harus berdampak pada prevalensi depresi postpartum.