Skrining hipotiroid kongenital harus dilakukan dengan cepat karena keterlambatan penatalaksanaan akan berujung pada defisit neurologis irreversible, yaitu hambatan pertumbuhan atau stunted dan disabilitas intelektual. Hormon tiroid berperan penting dalam metabolisme energi, pertumbuhan, dan perkembangan neuron.[1-3]
Insiden hipotiroid kongenital secara global bervariasi antara 1:2.000 hingga 1:4.000 pada kelahiran bayi. Insiden di Indonesia sendiri cukup tinggi, yaitu 1:2.736 dari data di 11 provinsi sejak tahun 2000–2013.[3,4]
Karena insiden yang tinggi tersebut, pemerintah Indonesia menggalakkan program Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK). Tujuannya adalah untuk meningkatkan upaya deteksi dan terapi dini untuk menghindari dampak sosial dan gangguan perkembangan anak yang dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.[3,4]
Sekilas tentang Penyebab Hipotiroid Kongenital
Hipotiroid kongenital dapat bersifat transien atau permanen. Kasusnya diklasifikasikan berdasarkan letak gangguannya, yaitu primer di kelenjar tiroid atau sekunder/sentral di hipofisis dan/atau hipotalamus. Kasus permanen membutuhkan pengobatan seumur hidup, sedangkan kasus transien tidak.[2,4,5]
Kegagalan perkembangan kelenjar tiroid (disgenesis tiroid) adalah penyebab utama hipotiroid kongenital primer permanen pada 85% kasus. Penyebab hipotiroid kongenital primer permanen lainnya adalah defek sintesis hormon tiroid (dishormogenesis tiroid) pada 15% kasus.[2,4,5]
Hipotiroid kongenital sekunder/sentral sering disebabkan oleh isolated TSH (thyroid stimulating hormone) deficiency atau hypopituitarism. Hipotiroid kongenital transien bisa terjadi pada beberapa kondisi, seperti paparan iodine berlebih, defisiensi iodine, konsumsi obat anti-tiroid maternal, antibodi maternal yang memblokade reseptor TSH, dan mutasi heterozigot.[2,4,6]
Ibu dengan pengobatan anti-tiroid dapat menghambat sintesis hormon tiroid fetal yang dapat berlangsung hingga 2 minggu setelah kelahiran. Antibodi anti-tiroid maternal juga dapat melewati plasenta menyebabkan blokade reseptor TSH pada bayi yang dapat berlangsung 3-6 bulan setelah kelahiran.[2,4,6]
Tanda dan Gejala Hipotiroid Kongenital
Lebih dari 95% bayi dengan hipotiroid kongenital tidak memperlihatkan gejala saat lahir. Namun, bila tidak diobati, gejala akan semakin terlihat seiring bertambahnya usia. Gejala dan tanda hipotiroid kongenital bisa berupa letargi, ikterus, makroglosia, hernia umbilikalis, hidung pesek, dan konstipasi. Gejala dan tanda lain bisa berupa kulit kering, skin mottling, mudah tersedak, suara serak, hipotoni, ubun-ubun melebar, perut buncit, intoleransi terhadap dingin, miksedema, dan edema scrotum.[3]
Manifestasi klinis hipotiroid akan mulai tampak nyata pada usia 3–6 bulan. Bila tidak segera dideteksi dan diobati, bayi akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik secara keseluruhan dan keterbelakangan perkembangan mental yang irreversible.[3]
Strategi dan Metode Skrining Hipotiroid Kongenital
Kesulitan mendiagnosis hipotiroid kongenital berdasarkan gejala klinis menitikberatkan pemeriksaan laboratorium sebagai penanda diagnostik. Pemeriksaan SHK dilakukan menggunakan darah kapiler (whole blood) dengan metode pengambilan heel prick berupa dried blood spot (DBS) pada kertas saring yang dikirim ke laboratorium.[4]
Pemeriksaan SHK dapat juga dilakukan dengan sampel vena (serum). Namun, perlu diingat bahwa nilai rujukan yang digunakan harus disesuaikan berdasarkan sampel yang diperiksa, karena sampel serum TSH akan lebih tinggi 2,2 kali lipat dibandingkan sampel DBS.[4]
Metode pemeriksaan dan protokol SHK dapat bervariasi antar negara, yang meliputi pemeriksaan TSH dan/atau FT4 atau T4, dengan kriteria diagnosis dan batas nilai normal yang berbeda-beda.[6,7]
Pemeriksaan SHK idealnya dilakukan antara hari ke-2 hingga ke-4 kehidupan. Namun, jika tidak memungkinkan, pemeriksaan SHK boleh dilakukan sebelum bayi dipulangkan dari rumah sakit.[1]
Terdapat 3 strategi SHK secara global, yaitu:
- Pemeriksaan inisial TSH dengan refleks T4 sebagai pemeriksaan lanjutan
- Pemeriksaan inisial T4 dengan refleks TSH sebagai pemeriksaan lanjutan
- Pemeriksaan TSH dan T4 secara bersamaan[1,4]
Strategi dan Metode Skrining Hipotiroid Kongenital di Indonesia
Di Indonesia sendiri, deteksi dini hipotiroid kongenital dilakukan dengan pemeriksaan TSH pada bayi aterm saat usia 2–4 hari atau saat bayi dipulangkan dari rumah sakit. Skrining hipotiroid kongenital primer bersifat efektif pada usia >24 jam, dengan waktu terbaik antara 48–72 jam setelah lahir. Pemeriksaan saat usia <48 jam bisa menaikkan angka positif palsu karena adanya TSH surge pada bayi baru lahir.[4,5]
Skrining dinyatakan positif bila kadar TSH serum ≥20 mU/L. Bayi dengan hasil skrining positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan ulang serum TSH dan FT4, di mana diagnosis hipotiroid kongenital ditegakkan bila kadar TSH tinggi dan FT4 rendah.[4,5]
Gambar 1. Algoritme Diagnosis Hipotiroid Kongenital. Sumber: Niken Prita Yati, et al. 2017.
Bayi dengan TSH ≥20 mU/L dan FT4 rendah dianggap sebagai hipotiroid kongenital primer dan harus segera diperiksa dan diberikan levotiroksin. Bayi dengan kadar TSH ≥10 mU/L pada usia ≥2 minggu adalah abnormal, sehingga harus diberikan terapi serta diminta pengulangan pemeriksaan TSH dan FT4 dalam 2 minggu dan 4 minggu. Terapi diberikan jika kadar TSH dan FT4 menunjukkan hasil tidak normal.
Kadar TSH skrining yang tinggi sebaiknya dikonsultasikan dengan tim endokrin anak untuk ditelusuri lebih lanjut dengan pemeriksaan radiologi skintigrafi ataupun USG tiroid untuk mencari ada tidaknya kelenjar tiroid, kelenjar tiroid ektopik, dan ukuran kelenjar tiroid.[4,5,8]
Skrining Hipotiroid Kongenital pada Bayi dengan Kondisi Khusus
Pemeriksaan SHK sedikit berbeda pada bayi dalam kategori khusus yang berpotensi mengalami hipotiroid kongenital transien. Walaupun hasil pemeriksaan TSH awal pada bayi dengan kategori khusus adalah normal, dokter dianjurkan untuk memeriksa spesimen lanjutan.[3,4,6]
Bayi dengan kategori khusus antara lain bayi prematur (umur kehamilan <37 minggu), bayi berat lahir rendah (BBLR), bayi berat lahir sangat rendah, bayi sakit yang dirawat di NICU, bayi dengan malformasi kongenital, bayi dengan abnormalitas kromosom (misalnya Down syndrome), dan bayi kembar terutama dengan jenis kelamin yang sama.[3,4,6]
Pengambilan spesimen sebaiknya dilakukan segera sebelum mendapatkan tindakan pengobatan (transfusi, nutrisi parenteral, dan pemberian antibiotik) pada bayi sakit. Pengambilan spesimen dilakukan 2 atau 3 kali tergantung umur kehamilan dan berat ringannya penyakit.[3,4,6]
Spesimen pertama diambil secara rutin atau saat pengambilan darah untuk tes lain. Spesimen kedua diambil saat bayi berusia 2 minggu atau saat 2 minggu setelah pengambilan spesimen pertama. Bila diperlukan, spesimen ketiga dapat diambil pada umur 28 hari atau sebelum bayi dipulangkan. Pengambilan spesimen ini terutama untuk bayi dengan umur kehamilan <34 minggu atau berat lahir <2.500 gram.[3,4,6]
Tindak Lanjut Setelah Skrining Hipotiroid Kongenital
Jika kadar TSH tinggi disertai kadar T4 atau FT4 rendah, diagnosis hipotiroid kongenital primer dapat ditegakkan dan pasien harus segera diberikan terapi tiroksin. Pemberian tiroksin dikonsultasikan dengan dokter spesialis anak konsultan endokrin. Penanganan kasus oleh dokter konsultan endokrin anak tergantung pada kondisi klinis, laboratoris, dan pemantauan selanjutnya.[5,8]
Jika kadar TSH serum >20 mU/L, terapi harus dimulai meskipun FT4 normal. Jika kadar TSH serum ≥6–20 mU/L sesudah usia 21 hari, bayi sehat dan kadar FT4 normal, dokter direkomendasikan untuk melakukan:
- Investigasi lebih lanjut dengan pencitraan untuk mencari diagnosis pasti, atau
- Diskusi dengan keluarga untuk memberikan suplementasi levotiroksin segera dan dievaluasi ulang di kemudian hari saat tidak mendapatkan pengobatan (usia 3 tahun), atau
- Terapi ditunda dan pemeriksaan laboratorium diulang 2 minggu kemudian. Bila tetap meragukan, maka terapi segera diberikan[5,8]
Kesimpulan
Skrining hipotiroid kongenital (SHK) memegang peran penting dalam deteksi dan terapi dini bayi dengan kelainan hipotiroid kongenital. Pemeriksaan SHK umumnya dilakukan dengan sampel kapiler heel prick dried blood spot (DBS) dengan menggunakan kertas saring. Namun, pemeriksaan juga dapat dilakukan menggunakan darah serum (vena).
Di Indonesia sendiri, deteksi dini hipotiroid kongenital dilakukan dengan pemeriksaan TSH pada bayi aterm saat usia 2–4 hari atau saat bayi dipulangkan dari rumah sakit. Skrining hipotiroid kongenital dinyatakan positif jika kadar TSH serum ≥20 mIU/L. Kadar TSH skrining yang tinggi sebaiknya dikonsultasikan dengan tim endokrin anak untuk diinvestigasi lebih lanjut berdasarkan usia bayi saat pengambilan sampel, prematuritas, dan manifestasi klinis.