Tingginya prevalensi gangguan mental pada dokter membuat dokter perlu melakukan skrining kesehatan mental secara berkala. Salah satu metode skrining yang dapat dilakukan adalah menggunakan kuesioner Physician Well Being Indeks. Walau demikian, hasil kuesioner ini tidak bersifat diagnostik dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut oleh psikiater atau psikolog.
Masalah kesehatan mental seperti depresi, alcohol use disorder, dan substance use disorder lainnya ditemukan lebih tinggi pada dokter dibandingkan populasi umum. Depresi dilaporkan terjadi pada 30% dokter muda dengan puncak gejala depresi pada tahun pertama bekerja. Walau demikian, terdapat prevalensi depresi yang juga cukup besar pada dokter yang lebih senior. Selain itu, studi lain juga menemukan adanya ide bunuh diri yang lebih tinggi pada dokter dibanding populasi umum pada kelompok usia di atas 45 tahun.[1,2]
Tingginya prevalensi gangguan mental tersebut tidak diikuti oleh adanya upaya untuk mencari pengobatan. Sebuah studi menemukan sebanyak 17% dokter yang sudah bekerja selama 3-4 tahun merasa membutuhkan konsultasi mengenai kesehatan mental. Walau demikian, hanya 5,4% dokter yang melakukan konsultasi dengan psikiater atau psikolog, dan hanya 0,5% dokter yang mendapatkan perawatan rawat inap. Pada studi lain ditemukan bahwa dari sekitar 22% dokter yang terskrining depresi, hanya 42% yang melakukan upaya mencari pengobatan.[3,4]
Kesehatan Mental Dokter dalam Hukum Indonesia
Masalah dokter dengan gangguan mental di Indonesia secara tidak gamblang sudah diatur dalam Kode Etik Kedokteran (Kodeki). Pasal 16 Kodeki menyebutkan bahwa “setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik”. Pada pedoman pelaksanaan Kodeki, penjelasan yang diberikan memang lebih menyangkut kesehatan fisik dibanding kesehatan mental dokter.[5]
Peraturan yang ada di Indonesia saat ini lebih banyak menyangkut penatalaksanaan dokter dengan masalah kesehatan mental dibanding upaya preventif yang dilakukan. Perkonsil no 4 tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi misalnya, pada pasal 3 menyebutkan bahwa menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien dinyatakan sebagai pelanggaran disiplin.[6] Kemudian sebagai turunan dari peraturan tersebut, dokter yang melakukan registrasi harus menyertakan surat keterangan fisik dan mental dari dokter pemeriksa. Selain itu, dokter yang sudah teregistrasi yang diadukan mengalami masalah kesehatan mental yang dapat membahayakan pasien harus diperiksa sebelum dinyatakan layak atau tidak layak melakukan praktek kedokteran.[7]
Dalam peraturannya, dokter yang mengalami masalah kesehatan mental (yang disebut disabilitas pada peraturannya) yang membahayakan pasien dan harus diperiksa kelayakan bekerjanya adalah dokter dengan gangguan mental sebagai berikut:
-
Gangguan jiwa berat (psikosis) termasuk schizophrenia
- Gangguan mood dengan gambaran psikosis
- Gangguan waham menetap
- Gangguan psikotik akut
- Gangguan neurosis berat
- Gangguan otak organik dengan defek kognitif
- Gangguan kepribadian
- Alcohol use disorder
-
Substance use disorder selain alkohol atau riwayat substance use disorder selain alkohol dalam 5 tahun terakhir[8]
Isu kesehatan mental ini memunculkan pertanyaan mengenai perlu tidaknya dokter melakukan skrining kesehatan mental secara berkala.
Skrining Kesehatan Mental untuk Dokter
Program skrining kesehatan mental untuk dokter merupakan isu yang kontroversial. Di satu sisi, terdapat manfaat dari diagnosis dan penatalaksanaan dini. Di sisi lain, terdapat stigma dan keterbatasan akses yang akan menyulitkan dokter untuk melakukan skrining kesehatan mentalnya.
Manfaat Skrining Kesehatan Mental
Skrining kesehatan mental yang lebih dini akan memungkinkan diagnosis dini dapat dilakukan sehingga penatalaksanaan dapat segera diberikan. Tujuan penatalaksanaan dini tidak hanya mengatasi masalah mental yang ada, tetapi juga mencegah terjadinya permasalahan yang lebih berat. Penatalaksanaan dini pada dokter yang mengalami depresi misalnya akan mencegah adanya upaya percobaan bunuh diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, terutama untuk mencegah dokter memberikan pelayanan kesehatan saat dinilai tidak kompeten secara mental.[9]
Skrining Kesehatan Mental secara Berkala
Tidak ada aturan mengenai kapan pemeriksaan kesehatan mental harus dilakukan terhadap dokter, tetapi pemeriksaan kesehatan mental dapat dipertimbangkan pada beberapa kondisi berikut:
- Dokter muda pada tahun-tahun pertamanya
- Dokter yang sudah pensiun dan kehilangan pendapatannya
- Dokter yang bekerja pada IGD dan ICU
- Dokter yang mengeluh stres dan menunjukkan tanda dan gejala gangguan mental
- Dokter dengan riwayat gangguan kesehatan mental sebelumnya dan riwayat gangguan kesehatan mental pada keluarga
- Dokter yang ingin mengurus registrasi dokter sesuai mandat KKI
Metode Skrining Kesehatan Mental
Salah satu upaya skrining kesehatan mental yang dapat dilakukan adalah dengan kuesioner Physician Well Being Index. Kuesioner terdiri atas 7 pertanyaan ya/tidak yang direfleksikan pada keadaan 1 bulan terakhir untuk mengetahui kondisi stres pada tenaga medis, termasuk dokter. Setiap jawaban ya mendapat nilai 1 sedangkan jawaban tidak mendapat nilai 0. Nilai di atas 4 dinyatakan sebagai kualitas kehidupan mental yang rendah. Namun, kuesioner ini bukan merupakan metode diagnostik. Sehingga dokter yang terskrining positif disarankan untuk memeriksakan diri pada psikiater atau psikolog untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.[10]
Tantangan Dokter untuk Melakukan Pemeriksaan Kesehatan Mental ke Psikiater/Psikolog
Alasan utama mengapa dokter tidak mau melakukan skrining dan penanganan kesehatan mental adalah adanya stigma negatif yang melekat. Selain masalah stigma, pendokumentasian rekam medis dan tingkat kepercayaan menjadi salah satu pertimbangan oleh dokter. Hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi pandangan masyarakat dan teman sejawat terhadap dokter tersebut, serta menyebabkan masalah terhadap pengurusan perizinan praktik yang diperlukannya.[2,3,9,11]
Keinginan dokter untuk mencari bantuan psikiater atau psikolog juga dipengaruhi oleh tilikan dokter tersebut. Dokter yang sadar bahwa dirinya mengalami gangguan mental dan membutuhkan pertolongan akan lebih mungkin mencari pertolongan dibandingkan yang tidak. Sebaliknya, dokter yang tidak memiliki tilikan bahwa dirinya membutuhkan pertolongan akan cenderung menatalaksana diri sendiri.[2,4,9]
Faktor lain yang juga mempengaruhi dokter tidak melakukan pemeriksaan mental adalah akses yang terbatas. Studi menemukan bahwa hanya 35% dokter yang memiliki akses pada fasilitas kesehatan mental. Berkaca pada kondisi Indonesia, akses yang terbatas dialami pada daerah-daerah terpencil yang tidak memiliki psikiater/psikolog. Selain itu, keterbatasan akses, masalah pendanaan dan waktu juga merupakan tantangan untuk dokter memeriksa kesehatan mentalnya.[3]
Kesimpulan
Dokter merupakan populasi yang berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental. Untuk itu, skrining kesehatan mental sebaiknya perlu dilakukan secara berkala. Berkaca pada data-data yang tersedia, pemeriksaan kesehatan mental berkala merupakan salah satu upaya menjaga kesehatan yang dilakukan dokter. Skrining dapat dilakukan mandiri, namun harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan yang semestinya oleh psikiater/psikolog.
Walau demikian, terdapat hambatan bagi dokter untuk mau memeriksakan dirinya ke psikiater/psikolog. Keterbatasan akses, biaya, serta masalah pendokumentasian rekam medis, kepercayaan dan stigma merupakan hambatan yang harus ditangani supaya dokter mau memeriksakan kesehatan mentalnya. Hal utama yang harus diatasi adalah masalah kekhawatiran dokter bahwa hasil pemeriksaan akan mempengaruhi praktik kedokterannya, terutama terkait izin praktik.