Strategi pencegahan fraktur karena osteoporosis harus dipahami dan dilaksanakan, karena angka morbiditasnya yang semakin meningkat. Pasien yang telah terdiagnosis osteoporosis, agar tidak mengalami fraktur, dapat diberikan beberapa terapi obat yang bertujuan untuk mencegah resorpsi tulang, seperti bifosfonat, suplemen kalsium, juga vitamin D.[1-4]
Angka kejadian osteoporosis adalah sekitar 53,6 juta (54%) pada orang dewasa di Amerika Serikat pada tahun 2010. Sedangkan angka kejadian fraktur karena osteoporosis di Amerika Serikat pada tahun 2005 adalah 2 juta per tahun, dan diperkirakan akan bertambah hingga 3 juta per tahun pada tahun 2025.
Berdasarkan penelitian Perhimpunan Osteoporosis Indonesia tahun 2007, melaporkan prevalensi penderita osteoporosis pada penduduk Indonesia berusia >50 tahun adalah 32,3% pada wanita dan 28,8% pada pria. Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010 menunjukkan morbiditas fraktur femur akibat osteoporosis adalah sekitar 200 dari 100.000 kasus pada usia 40 tahun.[1-3,11]
Osteoporosis adalah penyakit yang ditandai dengan massa tulang yang rendah, kerusakan jaringan tulang, dan gangguan mikroarsitektur tulang. Hal itu dapat menyebabkan penurunan kekuatan tulang dan peningkatan risiko patah tulang. Osteoporosis dapat bermanifestasi sebagai fraktur yang terjadi di beberapa lokasi, paling sering di tulang vertebra, panggul, atau pergelangan tangan, dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.[1-3]
Tes standar baku emas untuk mendiagnosis osteoporosis tanpa patah tulang adalah dengan pemeriksaan dual-energy x-ray absorptiometry (DXA). Hasil DXA dinilai sebagai standar deviasi (SD) dari nilai normal orang muda yang sehat, dan dilaporkan sebagai skor T.
Standar rujukan internasional untuk mendiagnosis osteoporosis, pada wanita pascamenopause dan pria berusia 50 tahun ke atas, adalah kepadatan mineral tulang/bone mineral density (BMD) kolum femur <2,5 SD dibandingkan rata-rata wanita dewasa muda yang sehat. Semakin rendah hasil BMD, semakin tinggi risiko fraktur karena osteoporosis.[4]
Strategi Farmakologi untuk Mencegah Fraktur karena Osteoporosis
Mencegah fraktur pada pasien osteoporosis dapat diberikan beberapa terapi obat untuk mencegah resorpsi tulang, yaitu:
- Bifosfonat (alendronat, risedronat, ibandronat, asam zoledronat)
- Hormon peptida (teriparatide), merupakan fragmen asam amino dari hormon paratiroid dan kalsitonin
- Hormon estrogen untuk wanita pasca menopause
Selective estrogen receptor modulators/ SERM (raloxifene) untuk wanita pasca menopause
- Denosumab, agen biologis baru berupa human monoclonal antibody
- Strontium ranelate, yang mengandung garam strontium (II) dari asam ranelat
- Suplemen kalsium dan vitamin D[4,12]
Ulasan sistematis oleh American College of Physicians (ACP), yang dipublikasikan pada tahun 2017, membandingkan beberapa terapi farmakologis dengan plasebo untuk mengevaluasi efektivitas pencegahan fraktur karena osteoporosis. Hasil ulasan mendapatkan bahwa bifosfonat (alendronat, risedronat, dan asam zoledronat) efektif mengurangi risiko fraktur vertebra, nonvertebra, dan tulang pinggul, dibandingkan dengan plasebo pada wanita osteoporosis pascamenopause.[4]
Sementara untuk obat teriparatide, diketahui dapat mengurangi fraktur vertebra dan non vertebra yang dievaluasi secara radiografi dibandingkan dengan plasebo. Raloxifene secara signifikan mengurangi risiko fraktur vertebra pada wanita osteoporosis, namun tidak secara signifikan mengurangi risiko fraktur nonvertebra atau pinggul dibandingkan dengan plasebo. Denosumab terbukti mengurangi risiko fraktur vertebra, nonvertebra, dan pinggul secara radiografi dibandingkan dengan plasebo.[4]
ACP juga mempublikasikan bahwa pemberian terapi hormon estrogen pada wanita pasca menopause yang sudah ditegakkan diagnosis osteoporosisnya, tidak memberikan manfaat yang signifikan untuk menurunkan risiko fraktur. Hal yang sama juga dilihat pada pemberian suplemen kalsium saja atau vitamin D saja, di mana tidak ditemukan hasil yang pasti dalam penurunan risiko fraktur. Studi menunjukkan tidak ada perbedaan antara kalsium saja dan plasebo untuk mengurangi risiko fraktur vertebra dan nonvertebra.[4]
Strontium ranelate sejak 2004 diberikan kepada pasien osteoporosis untuk mengurangi risiko fraktur vertebra dan pinggul pada wanita pascamenopause. Indikasinya kemudian diperluas untuk laki-laki yang berisiko tinggi mengalami fraktur. Pada tahun 2013, dari uji coba rutin yang melibatkan sekitar 7.500 pasien, ditemukan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular pada penggunaan ranelate jangka panjang dibandingkan plasebo, tapi tidak ada peningkatan risiko kematian.[12]
Namun, awal tahun 2019 ranelate kembali dapat digunakan untuk pengobatan osteoporosis berat pada wanita pascamenopause dan pria dewasa yang berisiko tinggi patah tulang. Obat ini dapat diberikan dengan syarat harus diresepkan dan diawasi ketat oleh dokter.[13]
Studi Efek Samping Terapi Farmakologi Osteoporosis Jangka Panjang
Terapi farmakologi osteoporosis memerlukan waktu pemberian yang cukup panjang sehingga perlu dipelajari mengenai efek sampingnya. Sudah ada beberapa studi yang mempelajari pemberian obat-obatan untuk terapi osteoporosis, disertai dengan anjuran cara pemberiannya.
Studi Terapi Bifosfonat
Suatu meta-analisis yang dipublikasikan tahun 2019, mempelajari penggunaan obat untuk mencegah fraktur pada wanita postmenopause dan pria, berusia > 50 tahun, dan telah didiagnosis osteoporosis. Beberapa hasil uji coba randomise terkontrol dengan placebo, menunjukkan pemberian alendronat selama 4 tahun dapat mengurangi risiko fraktur vertebra dan nonvertebra pada pasien osteoporosis. Sedangkan asam zoledronat dapat mengurangi risiko fraktur yang sama pada pasien osteoporosis setelah pemberian selama 6 tahun.[5]
Meta-analisis lain, mempelajari beberapa penelitian randomisisasi terkontrol pada wanita postmenopause yang osteoporosis dan diberi obat asam zoledronat atau alendronat selama 3-5 tahun. Pasien-pasien tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok; antara diberhentikan pengobatannya atau tetap dilanjutkan. Hasil studi menunjukkan bahwa pengobatan yang dilanjutkan pengobatannya (tanpa ada pemberhentian pengobatan) dapat mengurangi risiko fraktur vertebra tetapi tidak mengurangi risiko fraktur nonvertebra.
Namun, perlu diketahui bahwa ternyata pemberian bifosfonat jangka panjang, melebihi 3-5 tahun, juga dapat meningkatkan risiko fraktur lain seperti atypical femoral fracture (AFF), subtrochanteric or femoral shaft fractures (SF/FSF), atau osteonecrosis of the jaw (ONJ). Hal ini menyebabkan munculnya saran untuk menghentikan pengobatan bifosfonat setelah diberikan dalam jangka waktu 3-5 tahun, dan memulai kembali setelah berhenti selama 2- 3 tahun.[6,7]
Studi Terapi Denosumab (Agen Monoclonal Antibody)
Sebaliknya, dari studi acak terkontrol terhadap pemberian obat denosumab, disimpulkan bahwa penghentian obat denosumab tidak dianjurkan. Sebanyak 1001 peserta (wanita post menopause, usia 60-90 tahun, skor BMD <-2,5 di tulang lumbal atau total paha), yang diberikan denosumab atau plasebo kemudian dihentikan pemberiannya.
Ternyata pada hasil studi didapatkan bahwa tingkat fraktur vertebra pada kelompok denosumab meningkat dari 1,2 per 100 peserta-tahun selama masa pengobatan menjadi 7,1, per 100 peserta-tahun. Hal ini serupa dengan peserta yang menerima plasebo. Penghentian denosumab akan dengan cepat meningkatkan risiko kehilangan mineral tulang sehingga dapat meningkatkan risiko fraktur vertebra. [8]
Studi Terapi Raloxifene (Selective Estrogen Receptor Modulators/SERM)
Indikasi terapi SERM raloxifene jangka panjang mungkin terbatas karena hanya mengurangi risiko fraktur vertebra, tetapi tidak fraktur nonvertebra ataupun pinggul. Satu penelitian mengenai pemberian raloxifene jangka panjang pada wanita dengan osteoporosis atau osteopenia yang tidak spesifik, menunjukkan bahwa penggunaan raloxifene selama 4 tahun dibandingkan dengan plasebo dapat meningkatkan risiko kejadian trombosis di vena dalam sebesar 3 kali lipat, dan risiko emboli paru 3-4 kali lipat. Namun, hasil tersebut tidak signifikan secara statistik.[5]
Studi Terapi Hormon Estrogen Progesteron
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi pemberian terapi hormon pada wanita postmenopause dengan osteoporosis atau osteopenia tidak spesifik dan dibandingkan dengan plasebo. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, disimpulkan bahwa baik estrogen dan estrogen-progesteron per oral selama 5-7 tahun dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan gangguan kognitif.
Selain itu, tingginya rasio estrogen-progestin meningkatkan risiko kanker payudara invasif. Hasil ulasan sistematik untuk bukti keamanan kombinasi obat bazedoxifene (20 mg) dengan estrogen (0,45 mg) dalam jangka panjang lebih dari 3 tahun, yang telah diakui oleh FDA untuk mencegah osteoporosis, masih belum diketahui secara pasti.[5]
Strategi Nonfarmakologi untuk Mencegah Fraktur karena Osteoporosis
Sebuah systematic review terhadap beberapa uji acak terkontrol, dengan jumlah peserta sebanyak 1656 orang, terdiri dari laki dan perempuan yang mempunyai riwayat osteopenia ataupun risiko fraktur osteoporosis. Tinjauan sistematis ini mengevaluasi efektivitas latihan fisik dalam mencegah risiko fraktur karena osteoporosis.
Pada 3 penelitian disimpulkan bahwa latihan fisik untuk menguatkan otot punggung dapat menurunkan risiko fraktur vertebra, tetapi secara statistik tidak signifikan. Sedangkan olahraga jalan cepat tidak menunjukkan efek yang signifikan terhadap penurunan risiko fraktur vertebra.[9]
Sebuah studi acak terkontrol terhadap 160 wanita lansia berusia 70-73 tahun, yang diobservasi selama 7 tahun, menyimpulkan bahwa latihan fisik di rumah memberikan efek jangka panjang yang positif terhadap keseimbangan dan gaya berjalan, sehingga dapat mengurangi risiko jatuh dan mencegah risiko fraktur panggul pada wanita lansia.[10]
Kesimpulan
Dari beberapa studi berbasis bukti, dapat disimpulkan bahwa pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause, pemberian bifosfonat (termasuk alendronat, risedronat, dan asam zoledronat) efektif dalam mengurangi risiko fraktur vertebra, nonvertebra, dan fraktur tulang panggul. Teriparatide dapat mengurangi fraktur vertebra dan nonvertebra yang dievaluasi secara radiografi.
Raloxifene dapat mengurangi risiko fraktur vertebra, namun tidak secara signifikan mengurangi risiko fraktur nonvertebra atau pinggul. Denosumab terbukti mengurangi risiko fraktur vertebra, nonvertebra, dan pinggul secara radiografi.
Penggunaan bifosfonat jangka panjang dapat meningkatkan risiko atypical fractures, karena itu setelah digunakan selama 3-5 tahun, bifosfonat perlu dihentikan selama 2-3 tahun sebelum digunakan kembali. Sedangkan penggunaan raloxifene jangka panjang dapat meningkatkan risiko terjadinya trombosis vena dalam dan emboli paru.
Untuk penggunaan denosumab, tidak dianjurkan untuk menghentikan penggunaan, karena penghentiannya dapat mengakibatkan kehilangan tulang yang meningkat cepat. Terapi hormon estrogen oral jangka panjang dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, gangguan kognitif, dan meningkatkan risiko kanker payudara invasif.
Latihan fisik di rumah memberikan efek jangka panjang yang positif terhadap keseimbangan dan gaya berjalan, namun belum ada bukti yang cukup yang menunjukkan efek aktivitas fisik pada penurunan risiko fraktur.