Terapi antifungal oral yang aman untuk pasien lanjut usia (lansia) memiliki beberapa kriteria, di antaranya tidak menyebabkan efek samping pada organ yang terlibat dalam metabolisme obat, seperti ginjal dan hepar. Hal ini karena telah terjadi perubahan degeneratif pada organ tubuh pasien lansia. Untuk menjamin keamanan obat ini, pasien perlu diperiksa riwayat penyakit sebelumnya dan konsumsi obat, disertai pemeriksaan laboratorium yang diperlukan secara berkala.[1,2]
Tersedia berbagai pilihan terapi jamur, baik sebagai monoterapi maupun kombinasi. Kelompok pasien yang spesifik, seperti wanita hamil, anak-anak, dan lansia, memerlukan algoritma pengobatan khusus. Kondisi pasien spesifik ini tidak sama dengan pasien lainnya, sehingga memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap efek samping obat.[2,4]
Patogen Penyebab Infeksi Jamur
Infeksi jamur superfisial mencapai +25% dari infeksi jamur keseluruhan, sehingga dermatofitosis merupakan masalah yang umum ditemukan di seluruh dunia. Dermatofitosis adalah istilah infeksi jamur superfisial keratinofilik yang terdiri dari 3 kelompok, yaitu trichophyton (menginfeksi kulit, kuku, dan rambut), microsporum (menginfeksi kulit dan rambut), dan epidermophyton (kulit dan kuku).[1-3]
Prevalensi dermatofitosis meningkat khususnya pada area beriklim tropis, di mana patogen yang paling banyak adalah T. rubrum dan T. mentagrophytes pada tinea corporis dan tinea unguium. Sedangkan T. tonsurans, T. Violaceum, dan M. Canis adalah patogen yang paling banyak ditemukan pada tinea kapitis.[1-3]
Risiko Infeksi Jamur pada Pasien Lansia
Pasien lansia (usia >65 tahun) memiliki fungsi organ yang telah menurun, termasuk fungsi hematologi, ginjal, dan sistem imun alami pada kulit. Produksi kelenjar keringat dan minyak pada kulit akan berkurang sehingga pH permukaan kulit menurun. Selain itu, lansia seringkali memiliki penyakit komorbid, seperti diabetes mellitus, gangguan hepar, dan penurunan fungsi ginjal.[3,4,6]
Pasien dengan gangguan hepar berisiko mengalami onikomikosis dan dermatofitosis luas hingga ke lapisan dermis, bahkan bisa menyebar secara hematogen. Wu et al pernah melaporkan kasus dermatofitosis diseminata hematogen pada pasien sirosis hepatis, dengan pathogen T. rubrum. Penyebaran luas ini disebabkan oleh status imun pasien yang buruk.[3,4,6]
Indikasi Terapi Antifungal Oral pada Pasien Lansia
Indikasi terapi antifungal oral pada pasien lansia antara lain:
- Infeksi jamur di area tubuh yang luas, di mana terapi topikal menjadi kurang praktis
- Infeksi jamur yang melibatkan >1 regio/permukaan tubuh, misalnya tinea cruris dan tinea korporis yang terjadi bersamaan
- Infeksi jamur di kaki atau tinea pedis, khususnya tipe moccasin atau tipe vesikular
- Infeksi jamur yang rekalsitran atau terus berulang dengan terapi topikal[2-4]
Apabila lesi kulit hanya ada di satu area tubuh dan tidak luas, maka bisa diberikan terapi topikal saja. Terapi topikal juga lebih dipilih untuk pasien yang memiliki berbagai komorbiditas atau pasien dengan polifarmasi, sehingga berisiko terjadi efek samping atau interaksi obat.[1,2,4]
Pada pasien lanjut usia tanpa komorbid dan polifarmasi maka indikasi pemberian obat bisa disamakan dengan orang muda.[1,2,4]
Pilihan Antifungal Oral Berdasarkan Jenis Infeksi Jamur
Antifungal oral yang biasa digunakan adalah itrakonazol dan terbinafin. Pilihan terapi lain yang efektif adalah griseofulvin dan flukonazol. Efektivitas agen sistemik ini telah dilaporkan dari beberapa penelitian.
Terapi Tinea Corporis atau Tinea Cruris
Untuk tinea corporis atau tinea cruris pada lansia, pemberian flukonazol 150 mg, diberikan 1 kali/ minggu selama 3 minggu lebih unggul daripada pemberian ultramicronized griseofulvin 500 mg/hari selama 4‒6 minggu.[6]
Penelitian lain menunjukkan bahwa terapi tinea corporis selama 6 minggu dengan terbinafin memiliki rasio kesembuhan 87%, sedangkan dengan griseofulvin 73%.[6]
Terapi Onikomikosis/Tinea Unguium
Pilihan pertama antifungal untuk lansia dengan onikomikosis adalah terbinafin, dengan dosis 250 mg/hari, selama 6 minggu untuk kuku jari tangan dan 12 minggu untuk kuku jari kaki. Berdasarkan perkembangan klinis, durasi terapi bisa ditambah bila remisi total belum tercapai setelah 4 minggu.[4,5]
Pilihan kedua adalah itrakonazol 200 mg yang diberikan 2 kali/hari, setiap 1 minggu dalam 1 bulan. Ulangi 2 siklus untuk kuku jari tangan dan 3 siklus untuk kuku jari kaki. Bila belum terdapat remisi klinis secara total, maka diperlukan durasi ekstra sebanyak 1 siklus, yaitu pemberian itrakonazol 200 mg sebanyak 2 kali/hari setiap 1 minggu selama 1 bulan.[4,5]
Pilihan terapi alternatif adalah flukonazol 450 mg diberikan 1 kali/minggu, selama 3 bulan untuk kuku jari tangan dan 6 bulan untuk kuku jari kaki. Terapi ini sebaiknya disertai dengan terapi topikal, yaitu ciclopirox 8% kombinasi dengan amorolfin 5% yang diberikan 1 kali/hari selama seminggu, atau efinaconazole 10% 1 kali/hari selama 48 minggu.[4,5]
Tindakan Avulsi Kuku:
Tindakan avulsi kuku parsial atau total dapat dilakukan pada kondisi kerusakan kuku >50% untuk mempermudah regenerasi kuku, serta jika remisi klinis total tidak tercapai setelah selesai siklus pengobatan. Photodynamic therapy (PDT) dengan laser ND:Yag/CO2 dapat digunakan untuk membantu menghilangkan jaringan kuku yang rusak, sehingga jaringan kuku yang baru dapat tumbuh. Walaupun pada pasien lansia regenerasi kuku terjadi lambat.[4,5]
Terapi Tinea Kapitis
Tinea kapitis pada lansia sering dijumpai akibat penularan autologus dari tinea fasialis, atau dari bagian tubuh lainnya. Patogen yang sering ditemukan adalah Trichophyton. Pengobatan yang terbukti efektif adalah dengan terbinafin, itrakonazol, atau griseofulvin, tergantung dari jenis patogen yang ditemukan.[2,4,5]
Terbinafin terbukti lebih efektif terhadap Trichophyton sp., sedangkan griseofulvin lebih efektif mengeradikasi spesies Microsporum sp.[2,4,5]
Untuk pasien yang mengonsumsi obat lain, terbinafin 250 mg/hari selama 2−4 minggu lebih dipilih daripada itrakonazol atau griseofulvin. Terapi topikal bisa digunakan untuk mencegah penyebaran infeksi, tetapi tidak dapat menggantikan fungsi terapi oral.[2,4,5]
Risiko Efek Samping dan Interaksi Obat Antifungal
Pertimbangan keamanan terapi antifungal pada pasien lansia harus berdasarkan riwayat komorbid, penurunan fungsi organ yang mungkin sudah terjadi, serta obat-obatan yang sedang dikonsumsi. Pemeriksaan laboratorium terkait fungsi ginjal dan hepar perlu dilakukan secara berkala.[2-4]
Pasien dengan kelainan fungsi hepar dan ginjal tidak boleh menerima terapi oral terbinafin, flukonazol, dan itrakonazol. Sedangkan kontraindikasi pemberian griseofulvin adalah pasien dengan kelainan hepar, lupus eritematosus, dan porfiria.[2,3,4]
Risiko Interaksi Obat Itrakonazol
Metabolisme itrakonazol membutuhkan inhibitor enzim CYP3A4 di hepar, sehingga dapat berinteraksi dengan banyak obat. Itrakonazol pernah dilaporkan memiliki interaksi dengan obat berikut:
- Statin: risiko rhabdomyolysis dan drug induced hepatotoxicity
Amiodaron: risiko gagal sistolik akut hingga henti jantung
- Antiretroviral seperti nevirapin: meningkatkan kadar obat antifungal dalam serum, sehingga meningkatkan risiko efek samping
Digoxin: meningkatkan kadar digoxin dalam darah
- Terfenadin: risiko torsades de pointes[1,4,6,7]
Risiko Interaksi Obat Flukonazol
Flukonazol banyak dimetabolisme di ginjal, sehingga waktu paruhnya tergantung dari renal klirens. Pada pasien lansia, pasti harus dilakukan penyesuaian dosis flukonazol akibat penurunan fisiologis fungsi ginjal, di mana laju filtrasi glomerulus (LFG) akan menurun 1% setiap tahun.[1,2,4]
Pada pasien dengan insufisiensi renal akut (GFR <20 mL/ menit), gangguan fungsi ginjal, dan transplantasi ginjal, dosis flukonazol perlu disesuaikan/diturunkan 50%. Selain itu, flukonazol menghambat CYP3A4 paling lemah sehingga obat-obatan yang dapat berinteraksi dengan golongan azol antara lain:
- Obat kejang (fenitoin, karbamazepin, fenobarbital): mengurangi efikasi obat azol
- Obat gangguan kecemasan benzodiazepin (alprazolam, chlordiazepoxide, clonazepam, diazepam, estazolam, flurazepam, halazepam, quezepam, triazolam): mengurangi efektivitas obat azol
- Obat golongan statin (lovastatin, simvastatin, atorvastatin): meningkatkan risiko hepatotoksisitas
- Antihistamin H2 (ranitidin, simetidin): mencetuskan aritmia
Warfarin: meningkatkan metabolisme obat antifungal sehingga efektivitas terapi berkurang[1,4,6,7]
Risiko Interaksi Obat Griseofulvin
Konsumsi griseofulvin memiliki risiko hepatotoksisitas jika dikonsumsi bersama alkohol, atau obat lain yang dimetabolisme di hepar, seperti golongan statin. Selain itu, adanya komorbid penurunan fungsi hati, seperti hepatitis atau sirosis hepatis, dapat mempengaruhi farmakokinetik obat griseofulvin.[1,4]
Obat-obatan yang dapat berinteraksi dengan griseofulvin antara lain:
- Golongan statin: meningkatkan risiko hepatotoksisitas
- Barbiturat: mengganggu metabolisme griseofulvin sehingga mengganggu penyerapan dan konsentrasi obat
- Warfarin: meningkatkan metabolisme obat antifungal sehingga mengurangi efektivitas terapi[1,4]
Risiko Interaksi Obat Terbinafin
Obat-obatan yang dapat berinteraksi dengan terbinafin antara lain:
- Antidepresan: meningkatkan konsentrasi serum nortriptilin, amitriptilin, dan despiramin
- Antipsikosis: meningkatkan kadar serum perfenazin
- Antihistamin H2 (cimetidine): meningkatkan kadar serum terbinafin dan menurunkan klirens plasmanya, dan meningkatkan risiko efek kardiovaskular yang serius (torsades de pointes)
- Antiepilepsi: menurunkan metabolisme carbamazepine sehingga meningkatkan kadarnya dalam darah
- Amiodaron: risiko mencetuskan cardiac arrest[1,4,6,7]
Pemilihan Terapi Antifungal pada Pasien dengan Komorbid
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pilihan obat antifungal oral untuk lansia harus mempertimbangkan riwayat komorbid dan penurunan fungsi organ yang telah terjadi. Beberapa komorbid yang harus diperhatikan adalah gangguan hepar, ginjal, kardiovaskular.
Komorbid Gangguan Hepar
Obat antifungal yang berisiko tinggi hepatotoksisitas adalah griseofulvin, itrakonazol, dan ketokonazol, sedangkan yang berisiko lebih kecil adalah terbinafin. Jadi pada pasien dengan kelainan hepar sebelumnya, antifungal yang harus dihindari adalah golongan azol dan griseofulvin. Terapi pilihannya adalah terbinafin.[2-4]
Komorbid Gangguan Ginjal
Dari semua obat antifungal, yang paling banyak dimetabolisme di ginjal adalah flukonazol dan flusitosin. Dosis flukonazol dan terbinafin harus diturunkan 50% pada pasien dengan klirens kreatinin <50 mL/menit. Sedangkan dosis itrakonazol hanya perlu disesuaikan bila laju filtrasi glomerulus (LFG) <10 mL/menit.[2-4,6]
Minimum inhibitory concentration (MIC) bbat antifungal oral yang paling sedikit terpengaruh oleh penurunan fungsi ginjal adalah terbinafin. Walaupun obat ini masih memerlukan penyesuaian dosis berdasarkan klirens kreatinin dan pengawasan efek samping, tetapi memiliki risiko nefrotoksisitas yang paling kecil. Jadi pilihan utama pengobatan antifungal pada pasien dengan insufisiensi ginjal adalah terbinafin, kemudian itrakonazol.[2-4,6]
Komorbid Penyakit Kardiovaskular
Pasien dengan komorbid penyakit kardiovaskular harus waspada dalam penggunaan antifungal golongan azol (flukonazol, vorikonazol), karena dapat menyebabkan pemanjangan interval gelombang QT dan torsades de pointes melalui inhibisi reseptor potasium.
Laporan kasus oleh Okuyan et al menyebutkan bahwa itrakonazol dapat menyebabkan gagal jantung pada pasien tanpa riwayat hipertensi, kardiomiopati atau penyakit kardiovaskular lain sebelumnya. Mekanisme yang dicurigai adalah penurunan kontraktilitas jantung, inotropik negatif pada jantung, penurunan aliran darah koroner, sehingga menyebabkan pemanjangan interval PR dan QRS.[1,4,6,7]
Upaya Pengawasan Klinis terhadap Efek Samping Obat Antifungal Oral
Obat antifungal oral memiliki risiko toksisitas, terutama hepatotoksisitas dan nefrotoksisitas. Selain itu, terdapat risiko efek samping kardiovaskular akibat konsumsi antifungal golongan azol. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya pengawasan klinis saat memberikan obat pada lansia, yang dimulai sejak anamnesis sebelum menulis resep.[4,5]
Semua antifungal oral, termasuk golongan azol, griseofulvin, dan terbinafin, berisiko hepatotoksik. Oleh karena itu, sebelum dan selama penggunaan harus dilakukan tes fungsi hati, terutama jika penggunaan antifungal dalam jangka waktu lama.[2-5]
Kesimpulan
Infeksi jamur mencakup 16% penyebab kelainan kulit pada pasien lanjut usia. Hal ini dipengaruhi adanya kondisi komorbid dan penurunan imunitas. Terapi dermatofitosis antara lain terapi topikal dan oral dengan monoterapi, terapi kombinasi, atau terapi sekuensial.
Risiko efek samping obat antifungal sangat mungkin terjadi akibat durasi terapi yang panjang dan berulang. Risiko ini lebih rentan terjadi pada lansia karena imunitas yang rendah, polifarmasi, usia tua, dan kondisi komorbid. Gangguan fungsi hepar dan ginjal pada lansia dapat mempengaruhi farmakokinetik dan interaksi obat. Oleh karena itu, infeksi jamur pada lansia sedapat mungkin diobati dengan sediaan topikal.
Namun, pasien lansia kadang membutuhkan terapi oral karena remisi klinis yang tidak tercapai dengan terapi topikal saja. Pada kondisi ini, pilihan obat antifungal oral harus mempertimbangkan indikasi obat, jenis infeksi jamur, risiko efek samping dan interaksi obat, serta komorbid dan pengawasan klinis pasien.
Obat antifungal oral yang dianggap aman untuk lansia dengan penurunan fungsi ginjal adalah terbinafin karena risiko nefrotoksisitas yang kecil, dan itrakonazol dengan penyesuaian dosis. Sedangkan antifungal untuk gangguan hepar adalah terbinafin, di mana golongan azol dan griseofulvin harus dihindari karena berisiko tinggi hepatotoksisitas.
Obat antifungal yang paling banyak menyebabkan interaksi adalah golongan azol, termasuk gangguan kardiovaskular seperti aritmia jantung sampai henti jantung jika digunakan bersama amiodaron. Risiko rhabdomyolysis dan drug induced hepatotoxicity meningkat jika golongan azol dikonsumsi bersama obat statin. Riwayat komorbid dan polifarmasi harus diketahui pasti sebelum pemberian antifungal pada lansia.